JAKARTA, WB – Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sepakat bahwa Indonesia adalah negara kebangsaan, bukan negara yang berdasarkan salah satu agama. Kedua ormas terbesar di Indonesia ini menolak jika ada kelompok yang ingin mengembangkan khilafah sebagai pengganti Pancasila.
Kesepakatan itu dinyatakan dua petinggi ormas NU dan Muhammadiyah dalam sebuah diskusi tema “Negara Pancasila dan Khilafah” di Perpustakaan PBNU, Jl. Kramat Raya 164 Gedung PBNU, Jumat (19/5/2017). Pada diskusi tersebut keduanya sepakat untuk tidak memberi tempat kepada pengikut paham radikalisme tumbuh di Indonesia.
Meski Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Islam terbesar di dunia. Namun, pendiri bangsa telah memutuskan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai ideologi.
Dengan demikian,membuat Indonesia bisa hidup dengan beragam latar belakang masyarakatnya. Keputusan itu tepat. Beragamnya budaya dan latar belakang membuat Indonesia terlihat semakin kaya.
“NKRI adalah sebuah pilihan yang tepat untuk Indonesia yang majemuk. Indonesia yang beragam itu hanya bisa kita sinergikan kalau kita memiliki satu dasar negara yang mengikat semuanya,” tutur Sekretaris Umum PP Muhamadiyah Abdul Mu`ti.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, sejak dulu para pendiri NU dan Muhammadiyah sepakat menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi negara Indonesia. Dia juga menegaskan Indonesia adalah negara nasional bukan khilafah, serta mengedepankan konsep perdamaian.
“Negara ini negara nation kebangsaan. Kalau kyai-kyai NU tahun 30-an menyebutnya Darussalam atau negara damai, bukan negara agama, bukan negara suku,” kata Said Aqil Siradj.
Oleh karena itu ketika ada gerakan seperti menentang Pancasila atau menggeser dasar negara harus disikapi dengan tegas yaitu membubarkannya. Oleh karena itu Said Aqil Siradj meminta agar masyarakat tidak terpengaruh dengan ideologi lain selain Pancasila.
“Setiap gerakan yang mengarah bertentangan dengan prinsip itu harus disikapi dengan sikap yang tegas, jangan dibiarkan. Ya kalau masih kecil, ya kalau besar, jutaan anggotanya apa tidak merongrong itu? Minimal mengurangi rasa nasionalisme kita, mengurangi kecintaan kita pada Pancasila, komitmen kita pada Pancasila UUD 45. Minimal itu kan paling tidak di saat-saat sekarang kita butuh persatuan dan kesatuan yang lebih kuat lagi,” ujarnya.
Sementara itu, Abdul Muti mengatakan saat ini tantangannya bagaimana warga meyakini Pancasila sebagai dasar negara merupakan ideologi yang paling tepat.
“Indonesia ini majemuk bagaimana menyakini konsepnya Pancasia dan UUD ini 1945. Prinsip penting maka pembinaan generasi muda di level pelajar. Mahasiswa harus lebih sistematis kita lakukan untuk menjangkau mereka yang selama ini kurang dapat perhatian,” ujar Abdul.
Meski setuju pembubaran, Said Aqil Siradj meminta semua warga Indonesia tidak memusuhi bekas anggota HTI. Bahkan pihaknya siap menampung maupun berdiskusi mengenai masalah ini. “Orang-orangnya, anggotanya, aktivisnya tidak boleh kita musuhi. Sesama bangsa Indonesia,” ujarnya.
Upaya pemerintah membubarkan HTI telah menimbulkan sentimen negatif. Tak sedikit orang menganggap bahwa pemerintah tidak senang dengan keberadaan organisasi masyarakat berbasis agama Islam.
Di kesempatan lain, Menko Polhukam Wiranto menjelaskan bahwa dilakukan pemerintah merupakan upaya menjaga kedaulatan bangsa. Sehingga ketika kedaulatan bangsa terancam pemerintah harus bergerak.
“Kita enggak usah ribut, karena yang dilakukan pemerintah bukan kesewenang-wenangan, bukan kebencian terhadap ormas Islam, tapi untuk menjaga kedaulatan bangsa,” terang Wiranto.
Wiranto mengatakan bila pembubaran organisasi masyarakat seperti dilakukan pemerintah kepada HTI adalah sesuatu wajar. Pembubaran tersebut juga sudah didasari banyak bukti bahwa dalam praktiknya ormas tersebut membawa sebuah gerakan politik memengaruhi opini publik untuk mengganti dasar-dasar negara dengan konsep lain.[]