JAKARTA, WB – Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan teknologi digital seperti pedang bermata dua. Di satu sisi dapat memberi dampak positif, tetapi di sisi lain juga bisa berdampak negatif.
Media sosial sebagai bagian dari teknologi digital bukan hanya sekadar ruang untuk eksistensi. Kemudahan akses dan kecepatan informasi, membuat banyak netizen menjadikannya sebagai acuan berita. Bahayanya, jika berita bohong atau hoax dipercaya dan disebar luaskan dengan masif.
Pentingnya peran media sosial ini menjadi perhatian khusus Kementerian Komunikasi dan Informasi. Dalam rangka peringatan Hari Kembangkitan Nasional (Harkitnas) ke-109 , Kemenkominfo melibatkan para penggiat media sosial, perusahaan rintisan (start up), komunitas digital dan masyarakat menggelar acara `Indonesia Bangkit` di area Hari Bebas Kendaraan (Car Free Day) di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Minggu (21/5/2017).
Menteri Rudiantara mengajak masyarakat untuk bangkit dalam pemanfaatan teknologi digital dengan bijak. Sehingga manfaatnya bisa berdampak positif pada bangsa dan negara. “Sisi positif dari penggunaan teknologi digital bisa kita lihat munculnta e-dagang (e-commerce), perusahaan rintisan (start up),” ujarnya.
Selain itu, dia juga mengingatkan supaya dalam penggunaan medsos, masyarakat untuk membangun hubungan sosial. Bukan justru menggunakannya untuk memecah belah bangsa. “Jangan dicari perbedaannya, tapi persamaannya. Kesatuan tetap harus kita jaga,” imbuh dia.
Lebih lanjut, Menkominfo mengapresiasi kreativitas anak bangsa dengan membuat inovasi memanfaatkan teknologi digital. “Lebih baik jika kita berkolaborasi bukan berkompetisi,” pungkasnya.
Terkait fenomena bahaya media sosial, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta masyarakat kritis terhadap informasi dan kabar yang tersebar di media sosial. Pasalnya akhir-akhir ini banyak informasi yang bersifat fitnah dan provokatif, salah satunya adalah kabar bentrok di Pontianak, Kalimantan Barat.
Tjahjo membenarkan adanya kegiatan budaya dan kegiatan organisasi masyarakat. Dua kegiatan itu sudah dikawal petugas keamanan. Situasinya, kata dia, kondusif dan aman.
“Tapi berita yang muncul seperti mengerikan, inilah yang memang diciptakan oleh provokator untuk konflik,” katanya. Padahal, kata Tjahjo, video dan foto yang beredar di media sosial itu kejadian setahun lalu.
Ia meminta masyarakat hati-hati dengan segala upaya penggiringan opini dan kegiatan yang dilakukan oleh pihak-pihak anti-Pancasila dan tak menginginkan adanya ketenangan di Indonesia.
“Kita bagian dari elemen bangsa Indonesia harus berani bersikap `Siapa Kawan Siapa Lawan` terhadap perorangan atau yang terang-terangan atau terselubung menentang Pancasila, UUD45, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika di wilayah Indonesia yang menginginkan instabilitas keamanan,” ujarnya.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini berpendapat perlu filter untuk mengunggah gambar dan video di media sosial. Masyarakat disarankan mampu menyaring pemberitaan dan informasi yang ada. Bila konten tidak jelas, sebaiknya jangan ikut menyebarluaskan.
“Mari kita masyarakat Indonesia Pancasilais sejati untuk membantu aparat Kepolisian dan TNI, sebagaimana perintah bapak Presiden Joko Widodo untuk gebuk dan tegas kepada elemen yang anti-Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, dan segala bentuk organisasi yang dilarang,” paparnya.
Pada Sabtu 20 Mei 2017, di Pontianak berlangsung dua acara berbeda dalam saat yang bersamaan. Pertama, Festival Gawai Dayak, dan kedua Aksi Bela Ulama 205. Massa peserta Aksi Bela Ulama 205 berkonsentrasi di Masjid Raya Mujahidin, Pontianak, Jalan Ahmad Yani. Festival Gawai Dayak yang merupakan kegiatan kebudayaan tahunan Provinsi Kalimantan Barat berpusat di Rumah Adat `Radakng`.
Melihat fenomena tersebut, pengamat media sosial Enda Nasution mengimbau agar masyarakat lebih kritis menghadapi setiap konten dan informasi yang terdapat di media sosial. Terlebih, kata dia, jangan mudah mengamini konten pada media sosial tersebut sebagai suatu kebenaran informasi.
“Jangan percaya begitu saja informasi yang ada di media sosial. Karena kita tidak tahu berita tersebut benar atau bohong. Jadi penggunanya yang dituntut kritis,” kata Enda.
Fungsi media sosial salah satunya adalah untuk share, misal Facebook ada fitur bagikan, Twitter ada re-tweet, dan lain-lain. Namun fungsi share tersebut, tidak dibarengi dengan kewajiban atau keharusan pengguna untuk mengecek kebenaran berita tersebut sebelum kemudian dibagikan.
Oleh sebab itu, fungsi kontrol media sosial ada pada penggunanya. Pengguna harus bisa menyaring berita apapun sebelum dibagikan atau diamini sebagai suatu pembenaran informasi.
Pengguna media sosial juga harus bisa menahan diri untuk memposting suatu informasi yang dinilai tidak baik, tidak benar atau tidak berguna. Karena setiap polah yang dilakukan di media sosial pun bisa terjerat hukum. []