Memperjuangkan mobil Maung produksi PT PINDAD sebagai mobil nasional memang perlu keberpihakan Pemerintah, agar seluruh sumber-daya yang ada mampu menghasilkan sebuah produk yang bermartabat dan dapat dibanggakan secara nasional. Sejalan dengan pidato atau statement Presiden Prabowo Subianto di berbagai kesempatan agar Indonesia tidak hanya menjadi “Pasar” bagi kendaraan produksi asing, perlu didukung.
Banyak model yang dapat diterapkan untuk memajukan industri mobil nasional produksi PT PINDAD. India merupakan salah satu rujukan utama, dimana kebijakan Pemerintahnya yang konsisten dalam memberikan perlindungan terhadap industri otomotif lokalnya seperti TATA, MAHINDRA, BAJAJ dan HINDUSTAN Motors, dll yang dapat bertahan dan berkembang hingga kini. Sejak 1952 India telah membentuk Komisi Tarif yang bertugas melindungi industri Dalam Negerinya dari serbuan persaingan global di berbagai bidang, termasuk industri otomotif lokalnya.
Meski sejak tahun 1957 India melalui Hindustan Motors telah bekerjasama dengan Morris untuk mengeluarkan produk Hindustan Ambassador yg menjadi simbol otomotif India saat itu. Mobil tersebut hingga kini masih digunakan sebagai taksi di New Delhi dan Kolkata, meski tidak lagi diproduksi sejak tahun 2014. India memberikan kesempatan kerjasama patungan (Joint Venture) dengan industri otomotif Jepang dengan nama Maruti-Suzuki pada tahun 1981 yang kemudian pada 1983 memproduksi Maruti 800 dengan harga yang sangat terjangkau (dibawah seratus jutaan rupiah). Disusul kemudian BAJAJ bekerjasama dgn Germany Tempo dengan mengeluarkan produk Tempo Traveler tahun 1987 (sekelas Elf atau Hi-Ace di Indonesia).
Produksi mobil di India disesuaikan dengan kemampuan dan fungsinya. Sepanjang mobil tersebut terjangkau dan sesuai dengan fumgsinya masyarakat India akan membelinya. Sementara di Indonesia, masyarakat melihat mobil dari ketangguhan dan tingkat Luxury-nya. Tata Indica keluaran tahun 1998 dibanderol dengan harga sekitar dibawah 100 juta rupiah. Sementara Tata Safari SUV keluaran 1998 dibanderol dengan harga 180 jutaan.
Tahun 1985 – 1993 India melakukan liberalisasi ekonomi disektor otomotif dgn menerapkan De-Licensing merek-merek baru tahun 1993. jika dahulunya setiap model yang akan dikeluarkan oleh pihak Pabrikan harus mendapat persetujuan / ijin dari Pemerintah, setelah 1993 pemerintah India tidak lagi mengeluarkan ijin terhadap model-model baru yang akan dikeluarkan pihak pabrikan, akibatnya de-Licensing juga berdampak terhadap tarif dan bea masuk yang disesuaikan untuk importasi industri otomotif, sehingga penjualan mobil dalam negeri meningkat drastis pada tahun 1993 – 1996.
Kini kebijakan de-Licensing Pemerintah India berdampak positif bagi berkembanganya industri otomotif lokal seperti Tata, Mahindra dan Hindustan Motors yang memperoleh pangsa pasar yang significant di dalam negeri (diatas 20%). Sementara Maruti-Suzuki Motors (45% market share), Hyundai (15-20% market share), Toyota (market share 4-5%). Tata Motors dengan pangsa pasar 10-12% dan Mahindra dengan pangsa pasar 6-8% di posisi ke-3 dan ke-4 serta selebihnya pangsa pasar dipegang Hindustan Motors.
Kebjakan kolaborasi dgn perusahaan mobil Asing dgn mendirikan pabrik di India melalui Kerjasama dengan skema joint venture telah memberikan iklim atau environment yang kondusif bagi terjadinya transfer of knowledge dan teknologi seperti apa yang dilakukan oleh Maruti-Suzuki, Tata dengan Jaguar-Land Rover (2008), Mahindra – SangYong Motors Company, dan Hindustan Motors dengan Mitsubishi dalam memproduksi mobil Lancer dan Pajero di India,
Sementara Pemerintah Kerajaan Malaysia dibawah PM Mahathir Mohamad meluncurkan mobil nasionalnya Proton pada tahun 1985 dan mulai berproduksi secara massive pada tahun 1986 – 1990. Saat peluncuran Pemerintah Kerajaan Malaysia memberi insentif sebesar 5000 RM (lk. 15 juta Rupiah pada saat itu) kepada pemesan warga negaranya. Hal tersebut mengakibatkan pesanan jadi membludak dan antrian hingga mencapai 6 – 9 bulan baru mendapatkannya. Proton pernah merajai 50% pangsa pasar Malaysia pada awal tahun 1990-an dan menurun hingga ke level 21,2% di tahun 2013. Guna memperkuat keuangannya yang melemah dan kemampuan teknologinya, Proton bekerjasama dengan Pabrikan Zhejiang Geely Holding Group dari China pada tahun 2017 dan berdampak pada naiknya pembelian sebesar 39,7 % (62.637 unit) di tahun 2022 jika dibandingkan penjualan tahun 2021 yang hanya sebesar 87.481 unit.
Dari kedua pola pengembangan industri otomotif tersebut terdapat beberapa pola pengembangan industri yang perlu digaris bawahi, yakni :
- Perlu konsistensi dalam memberi perlindungan terhadap industri otomotif lokal, sebagaimana dilakukan India dalam bentuk pendirian Komite Tarif tahun 1952.
- Membuka peluang Kerjasama dengan indutri otomotif global/asing yang seluas-luasnya agar minimal terjadi transfer of knowledge dan transfer of technology, sebagaimana yang dialami oleh India maupun Malaysia.
- Memproduksi mobil sesuai dengan keterjangkauan harga dan fungsi dari kendaraan dimaksud. India telah memberi contoh betapa mobil Hindustan Ambassador telah merajai pasarnya beberapa dekade sejak di-launching pada tahun 1957 hingga kini masih dipakai sebagai taksi, khususnya di New Delhi dan Kolkata, meski sejak 2014 sudah tidak diproduksi.
- Membuka pasar dalam negeri setelah industri otomotif lokal menguasai minimal 20% pangsa pasar nasionalnya. Hal tersebut sudah dibuktikan oleh India yang baru membuka pasar dalam negerinya setelah TATA, MAHINDRA, BAJAJ dan Hindustan Motors secara bersama-sama menguasai lebih dari 20% pangsa pasar nasionalnya.
- Memberikan insentif atau keringanan harga kepada pemesan mobil nasional, khususnya pada awal berproduksi. Hal tersebut sudah dilakukan oleh Proton pada awal produksinya di tahun 1986 – 1990.
- Perlu stabilitas nasional, terutama stabilitas politik – ekonomi dan keamanan dalam menunjang industri mobil nasional. Indonesia telah tertinggal/terlambat dalam hal ini akibat dua kali chaos, G 30 S/PKI tahun 1965 dan Gerakan reformasi 1998. Kedua peristiwa politik tersebut membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk menjadi negara maju di berbagai sektor industri, khususnya di industri otomotif.
Agar mobil Maung Produksi PT PINDAD harganya dalam keterjangkauan masyarakat yang membutuhkannya (kompetitif), perlu insentif fiskal berupa Peraturan Presiden (Perpres), sebagaimana yang pernah diterapkan dalam pemberian insentif Rp. 75 juta kepada pemesan mobil Listrik (Perpres Nomor: 79 tahun 2023), guna mendongkrak kapasitas produksi mobil nasional dimaksud !!.
Oleh : Nasaruddin Siradz
Penulis adalah Sekjen Gabungan Studio Film Indonesia (GASFI)/Pemerhati masalah sosial-politik, tinggal di Jakarta.