JAKARTA, WB – Meski dikenal sebagai negara kaya akan sumber daya alamnya, namun tidak membuat Indonesia bisa bangga berdaulat di bidang pangan, energi, obat-obatan dan industri. Hal inilah yang banyak membuat para analis dan pemerhati hanya bisa geleng-geleng kepala. Salah satunya pakar teknologi, Timbul Sinaga.
Menurut Timbul,devisa negara terkuras karena negara belum mengolah kekayaan alam melainkan masih menjual dengan mentah, membeli produk jadi dari hasil olahan yang dijual.
Sementara ada permasalahan di bidang pangan, yaitu kurangnya infrastruktur seperti irigasi, jalan dan jembatan. Petani dan nelayan masih bekerja secara tradisional belum menggunakan teknologi, kurang memiliki kompetensi atau keterampilan, kurang pasar, regulasi atau peraturan yang berpihak kepada mereka.
Permasalahan di bidang energi adalah tingginya impor bahan bakar minyak sehingga mengeluarkan devisa yang sangat besar, tingginya ketergantungan pada teknologi asing, belum termanfaatkannya potensi sumber daya energi dalam negeri seperti air, angin, matahari, panas bumi, minyak kelapa sawit, batu bara.
Belum lagi masalah di bidang obat-obatan antara lain tingginya ketergantungan obat paten dari luar negeri atau perusahaan farmasi nasional yang sangat tergantung pada teknologi asing dan bahan baku obat-obatan yang ada di dalam negeri belum dimanfaatkan. Di bidang industri, masalahnya adalah ketergantungan yang tinggi pada teknologi asing, kurangnya litbang di perusahan industri, kurangnya kerjasama atau koordinasi antara perusahaan industri , perguruan tinggi dan litbang pemerintah.
“Dari permasalahan di atas, maka yang paling utama adalah tidak dimanfaatkannya teknologi. Padahal dunia teknologi dapat merubah Indonesia dari negara yang tidak berdaulat menjadi negara yang berdaulat (mandiri),” ungkap Timbul yang bergelar Magister Hukum Bisnis dari UGM, dalam rillisnya kepada wartabuana.com, Rabu (1/10/2014).
Di sisi lain Timbul menerangkan soal Paten sebagai hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Paten, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat 1 UU 14/2001 Tentang Paten, diberikan untuk jangka waktu selama 20 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. Dan setelah masa perlindungan paten habis maka paten tersebut masuk ke dalam domain publik, artinya siapa saja bebas menggunakannya dan disebut sebagai paten-paten yang sudah milik umum.
Nah, menurut dia, ada sekitar tujuh juta Paten di seluruh dunia yang sudah milik umum. Informasi Paten dapat diakses di kantor-kantor Paten dunia seperti DJHKI (Indonesia), USPTO (Amerika), EPO (Eropa), JPO (Jepang) dan lainnya. Sebagai contoh Paten yang sudah milik umum adalah Paten JP2804390 (B2) dengan judul Farm Tractor (Traktor Pertanian) Applicant: KUBOTA KK Jepang tanggal penerimaan 26-01-1993 (di bidang pangan), Paten US4201060 (A) dengan judul Geothermal Power Plant (Tenaga Panas Bumi) Applicant: UNION OIL California Amerika Serikat tanggal penerimaan 06-05-1980 (di bidang energi). Paten JPH0459732 (A) dengan judul ANTI-CANCER DRUG (obat kanker) Applicant OKUBO SHINYA Jepang tanggal penerimaan 26-02-1992 (di bidang obat-obatan).
“Paten-paten ini sudah lebih dari 20 tahun, artinya sudah bebas menggunakannya. Dalam memanfaatkan paten-paten yang sudah milik umum tinggal melakukan kajian kemudian menerapkannya tanpa penelitian. Hal inilah yang seharusnya dilaksanakan Indonesia dalam menuju kedaulatan. Hal ini sudah dilaksanakan negara China dan Korea saat ini,” tandas Timbul[]