TEL AVIV, WB – Rancangan Undang-Undang pelarangan suara azan di Israel, terus menimbulkan perdebatan sengit di sidang parlemen.
Sejumlah anggota memberikan persetujuan awal soal rancangan undang-undang (RUU) yang melarang penggunaan pengeras suara oleh institusi keagamaan, yang dilakukan pada Rabu (8/3/2017).
Namun keputusan tersebut, beberapa anggota parlemen keturunan Arab merobek salinan rancangan undang-undang yang disebut `RUU Muadzin` selama perdebatan dalam sidang lantaran RUU itu praktis akan mempengaruhi kumandang adzan bagi umat Muslim.
Karena terus menusi perdebatan, RUU itupun akan dibahas lebih lanjut sebelum diputuskan untuk yang terakhir kali di parlemen beberapa waktu mendatang.
Jika diberlakukan, aturan itu akan melarang penggunaan pengeras suara untuk adzan di masjid pada pukul 23.00 hingga pukul 07.00.
Sedangkan, aturan lainnya akan melarang penggunaan pengeras suara yang menganggap suaranya terlalu keras dan tidak masuk akal serta cenderung mengganggu setiap saat di sepanjang hari.
Dua versi RUU itu disetujui oleh kabinet Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada bulan November. Netanyahu mengatakan pada waktu itu bahwa ia menerima banyak keluhan dari semua lapisan masyarakat Israel tentang kebisingan dan penderitaan yang disebabkan oleh suara berlebih dari pengeras suara yang ada di rumah-rumah ibadah.
Salah satu yang mendukung RUU ini, Motti Yogev dari Partai Jewish Home, mengatakan bahwa RUU itu bagian penting dari legislasi sosial yang memungkinkan orang Arab dan Yahudi untuk bersantai selama jam istirahat.
“Tidak ada maksud untuk menyakiti orang-orang dari berbagai keyakinan,” tambahnya.
Para pengkritik menilai bahwa RUU ini merupakan serangan terhadap kebebasan beragama.
“Suara muadzin tidak pernah menyebabkan kebisingan lingkungan. Ini adalah soal ritual agama Islam penting, dan kami tidak pernah campur tangan dalam setiap upacara keagamaan terkait dengan Yahudi di parlemen ini. Anda telah melakukan tindakan rasis,” kata Ahmed Tibi dari partai yang didominasi warga keturunan Arab dalam perdebatan.
“Intervensi Anda sangat menyerang Muslim,” tambahnya. Ayman Odeh, pemimpin Partai Joint List, keluar dari ruangan sesaat setelah merobek salinan RUU. Warga Arab yang berada di Israel, yang juga dikenal sebagai Arab-Israel, merupakan keturunan dari 160.000 warga Palestina yang tetap tinggal setelah pemerintahan Israel dibentuk pada tahun 1948.
Jumlahnya mencapai 20% dari penduduk Israel. Sekitar 80% kaum Arab-Israel adalah Muslim, sisanya terbagi antara Kristen dan Druze, demikian lansir BBC.[]