WARTABUANA – Joko Soegiarto Tjandra (JST), terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, saat ini tengah mencuat. Banyak yang menuding proses hukum kasusnya dinilai terlalu didramatisir.
Hal tersebut mengacu pada, proses hukum JST yang seharusnya sudah berakhir di 2001, dimana putusan Kasasi yang dimohonkan Jaksa telah diputus ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
“Artinya dengan adanya putusan pengadilan negerilah yang berlaku dimana putusan tersebut menolak tuntutan jaksa dan JST dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau Onslag Van Rechtverfolging. Dengan demikan seharusnya perkara JST telah ditutup ataiu case closed,” beber Tim Pembela Hukum JST, Andi Putra Kusuma dalam konferensi persnya dibilangan Jakarta Selatan, Rabu (1/7/2020).
Namun Andi mengaku kecewa atas apa yang terjadi, sebeb setelah 8 tahun berjalan, kemudian Jaksa mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) Tanpa dasar hukum yang jelas.
“Ini jelas tanpa kendaraaan yang jelas, menabrak tatanan Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan tidak mengindahkan hukum yang telah diatur,” jelasnya.
Menurutnya, hal itu melanggar aturan hukum Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Lalu kemudian PK Jaksa dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA), padahal putusan kasasi MA jelas telah tolak kasasi Jaksa sebelumnya.
“Sehingga apa yang terjadi sekarang ini dengan mencuatnya kembali pemberitaan JST merupakan proses hukum yang berkepanjangan,” keluh Andi.
Dia menambahkan, masyarakat dapat melihat dengan jelas proses hukum yang berjalan ini. Iapun berharap ada ruang keadilan bagi kliennya.
“Untuk itu marilah kita memberikan ruang dan waktu kepada Pemohon PK yakni JST untuk mengembalikan hak-hak yang telah dirampas oleh kekuasaan hukum tanpa memperhatikan hak-hak JST yang semestinya, pada persidangan PK JST yang sedang digelar di PN Jaksel,” tandas Andi.[]