JAKARTA, WB – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gagal menjemput paksa Ketua DPR RI Setya Novanto, tersangka dugaan korupsi mega skandal proyek KTP Elektronik (KTP-e). KPK menghimbau agar Ketua Umum Partai Golkar itu segera menyerahkan diri.
Setelah menyambangi rumah Setya Novanto di di Jalan Wijaya XIII Melawai Kebayoran Baru pada sejak Rabu (15/11/2017) malam, Kamis dini hari sekitar pukul 02.50 WIB penyidik meninggalkan lokasi dengan membawa sejumlah tas dan koper berwarna hitam.
Para penyidik KPK tiba di kediaman Setya Novanto sekitar 21.40 WIB untuk menjemput tersangka. Namun yang bersangkutan tidak ada di rumah. Penyidik KPK sempat memeriksa ruang bawah tanah atau “basement” kediaman Setya Novanto.
Menurut juru bicara KPK Febri Diansyah, KPK sudah menerbitkan surat perintah penangkapan untuk Ketua DPR RI Setya Novanto, tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi KTP-e.
Febri mengatakan bahwa segala upaya persuasif sesuai dengan aturan hukum yang berlaku sudah dilakukan terhadap Setya Novanto untuk pemanggilan, baik sebagai saksi maupun tersangka. KPK meminta agar Ketua DPR Setya Novanto, tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi KTP-e dapat menyerahkan diri.
KPK menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) kedua untuk Setya Novanto dalam kasus KTP-e pada 31 Oktober 2017 atas nama tersangka Setya Novanto.
Penerbitan sprindik itu dilakukan KPK setelah mempelajari dengan seksama putusan praperadilan yang diputus pada 29 September 2017 yang membatalkan sprindik untuk Setya Novanto pada 17 Juli 2017 lalu.
Untuk itu KPK pada 5 Oktober 2017 melakukan penyelidikan baru untuk pengembangan perkara KTP-e dan telah meminta keterangan sejumlah pihak serta mengumpulkan bukti-bukti yang relevan.
Proses penyelidikan tersebut telah disampaikan permintaan keterangan terhadap Setya Novanto sebanyak dua kali pada 13 dan 18 Oktober 2017 namun yang bersangkutan tidak hadir dengan alasan ada pelaksanaan tugas kedinasan.
Setelah proses penyelidikan terdapat bukti permulaan yang cukup kemudian pimpinan KPK bersama tim penyelidik, penyidik dan penuntut umum melakukan gelar perkara pada akhir Oktober 2017.
KPK lalu memanggil Setya Novanto sebagai tersangka pada Rabu (15/11/2017), namun pengacara tersangka, Fredrich Yunadi mengatakan kliennya itu tidak akan hadir memenuhi panggilan KPK dengan alasan putusan MK tentang pasal 245 ayat 1 UU MD3 yaitu harus ada izin Presiden dan pasal 20A UUD 1945 yaitu anggota Dewan memiliki hak imunitas, adanya permohonan uji materi tentang wewenang KPK memanggil Setya Novanto selaku Ketua DPR serta adanya tugas untuk memimpin dan membuka sidang Paripurna DPR pada 15 November 2017.
Setya Novanto selaku anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjono, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri dan Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitment (PPK) Dirjen Dukcapil Kemendagri dan kawan-kawan.
Mereka diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan sehingga diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara atas perekonomian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam pengadaan paket penerapan KTP-E 2011-2012 Kemendagri.
Setya Novanto disangkakan pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. []