ANKARA, WB – Recep Tayyip Erdoga terpilih kembali memimpin Turki dalam Pemilu Turki. Seperti dilansir Aljazirah, Selasa (26/6/2018), menurut hasil tidak resmi yang diumumkan oleh media pemerintah, Erdogan memenangkan 52,5 persen suara untuk menjadi presiden eksekutif pertama negara itu dengan kekuatan yang meningkat secara signifikan.
Paska pemilihan, Pemerintah Turki sekarang mulai menerapkan serangkaian amandemen konstitusi yang disetujui dalam referendum tahun lalu. Di bawah sistem baru, Erdogan dapat menunjuk wakil presiden, menteri, pejabat tingkat tinggi, dan hakim senior, serta membubarkan parlemen. Ia juga dapat mengeluarkan keputusan eksekutif dan memberlakukan keadaan darurat.
Erdogan, yang telah berkuasa selama lebih dari 15 tahun, telah berulang kali menekankan perlunya memiliki presiden eksekutif yang kuat untuk menciptakan negara yang memiliki kepercayaan diri dan stabil. Ini akan menentukan masa depan suatu negara dengan cara lebih kuat.
Oposisi, sekutu Barat Turki dan kritikus lainnya, bagaimanapun, mengatakan bahwa sistem ini memberikan kekuasaan baru kepada presiden. Namun, hal tersebut mengabaikan pemeriksaan dan keseimbangan yang diperlukan.
Analis dan kolumnis Avni Ozgurel mengatakan, sistem baru akan memungkinkan Turki untuk diatur dengan cara lebih efisien dan stabil dalam jangka panjang. Sistem ini akan mengalami masalah selama tahap awal pelaksanaan.
“Erdogan dan timnya akan mendapatkan pengalaman dan akan mencoba memperbaiki kekurangan sistem saat mengimplementasikannya,” katanya.
Ia menambahkan, akan ada keputusan baru dan undang-undang untuk mencapai itu.Situasi ekonomi mendominasi diskusi menjelang pemilihan. Mata uang Turki, lira, turun 20 persen terhadap dolar AS. Mata uang yang terdepresiasi, bersama dengan meningkatnya inflasi dan defisit transaksi berjalan, akan tetap menjadi isu yang paling mendesak untuk pemerintahan baru Erdogan. Sementara itu, secara internasional, fokusnya adalah pada hubungan Ankara dengan Barat yang dipenuhi ketegangan.
Sekutu Barat Turki dan kelompok-kelompok hak asasi manusia telah berulang kali mengutuk penahanan dan pembersihan pemerintah di tengah keadaan darurat yang telah ada sejak kudeta pada 2016.
Ankara, bagaimanapun, mengatakan bahwa langkah-langkah tersebut sejalan dengan aturan hukum dan bertujuan untuk menghapus para pendukung Fethullah Gulen dari lembaga-lembaga negara dan bagian lain dari masyarakat. Gullen merupakan ulama Muslim yang dituduh melakukan kudeta. Ia menetap di AS.[]