WARTABUANA – Menyikapi lambannya proses pengembalian 400 persil sertifikat tanahnya oleh Direktur Utama PT. Sumber Sejahtera Logistik Prima (SSLP), Bambang Prayitno (BP), warga Desa Linau, Kecamatan Lingga Utara, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau (Kepri) mengancam akan melakukan aksi demo di depan istana Presiden RI, Joko Widodo.
“Jika semua proses, baik proses hukum maupun proses mediasi berjalan buntu, maka tak ada jalan lain kecuali demo ke istana presiden. Persoalan ini sudah bertahun-tahun, tapi tak ada juga penyelesaian. Semua upaya sudah ditempuh, tapi hasilnya nihil,” ungkap juru bicara warga Desa Linau, Distrawandi, belum lama ini.
Menurut Ketua Aliansi Gabungan Masyarakat Sudut Timur (AGMST) Lingga ini, upaya pengembalian 400 persil sertifikat tanah warga Linau tersebut, sudah dilakukan sejak tahun 2016 lalu. Melalui Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kabupaten Lingga, warga Linau berharap sertifikat tanahnya yang dikuasai PT. SSLP sejak tahun 2006, dapat dikembalikan lebih cepat.
Saat Pansus DPRD Kabupaten Lingga sedang melakukan proses penyelidikan dengan memanggil pihak-pihak terkait, jelas Distrawandi, Direktur Utama PT. SSLP, Bambang Prayitno tak pernah hadir. Sementara saat warga Linau menemuinya langsung di Jakarta, Ia tetap tak bersedia mengembalikannya.
“Alasannya, dia sudah banyak mengeluarkan biaya pengurusan sertifikat di kantor Badan Pertanahan Nasional. Jika warga Linau tetap ngotot minta sertifikat tanahnya dikembalikan, Bambang Prayitno menuntut warga menyerahkan uang tebusan sebesar Rp4 miliar sebagai pengganti biaya yang sudah dikeluarkannya,” katanya.
Sementara itu, Ketua Ikatan Mahasiswa Kabupaten Lingga, Norbaryansyah menyatakan kesiapannya mendukung rencana aksi demo warga Linau di depan istana presiden untuk menuntut pengembalian sertifikat tanahnya yang sudah bertahun-tahun tak juga menemui penyelesaian.
“Saya dan kawan-kawan mahasiswa Lingga sudah berkomitmen, siap memperjuangkan pengembalian sertifikat tanah warga Linau. Bahkan, jika warga memutuskan menggelar aksi demo di depan istana presiden, kami juga siap bergabung. Ini merupakan bentuk dukungan atas permasalahan yang dialami orang tua kami di Linau,” jelas Norbaryansyah.
Disis lain, Ketua Koperasi Unit Desa Usaha Bersama (KOPUMA), Yufik Safita mewakili warga Linau juga sudah membuat laporan polisi ke Polres Lingga dengan Surat Tanda Penerimaan Laporan (STPL) Nomor : STPL/ 22/ XII/ 2018/ SPKT-RESLINGGA, tanggal 31 Desember 2018. Namun, penyidik Polres Lingga dikabarkan mengalami kesulitan menghadirkan Direktur Utama PT. SSLP, Bambang Prayitno.
Menurut Yusfik, kasus penggelapan sertifikat yang dilaporkannya itu, bermula saat Bupati Lingga, Daria menerbitkan surat Izin Usaha Perkebunan (IUP) Kelapa Sawit kepada PT. SSLP di wilayah Desa Linau dengan Nomor : 26.a/ KPTS/IV/ 2005. Selanjutnya, perusahaan melakukan pembukaan lahan dan mendirikan pabrik pengolahan kayu di sekitar lokasi rencana perkebunan kelapa sawit.
Untuk meyakinkan warga Linau bahwa perusahaan tersebut serius akan membangun perkebunan kelapa sawit, Direktur Utama PT. SSLP, Bambang Prayitno membuat perjanjian kerjasama dengan Ketua Koperasi Unit Desa Usaha Bersama tentang Kemitraan Inti Plasma Proyek Pengembangan Usaha Budidaya Tanaman Kelapa Sawit Seluas 1.000 hektar di Desa Linau yang ditandatangani di hadapan notaris Yondri Darto, SH di Batam, pada tanggal 1 Maret 2006.
“Tujuan awalnya, kerjasama ini baik untuk membantu meningkatkan pendapatan petani transmigrasi. Makanya, dibuatlah kerjasama kemitraan. Salah satu kesepakatannya, warga memberi kuasa kepada Direktur Utama PT. SSLP untuk menjaminkan sertifikat tanahnya ke lembaga keuangan guna mendapatkan kredit untuk pembiayaan perkebunan kelapa sawit ini,” ungkap Yusfik.
Dalam perjanjian tersebut, jelas Yusfik, warga juga sudah menyetujui bertanggungjawab atas angsuran kredit melalui pemotongan setiap bulan oleh perusahaan dari hasil penjualan Tandan Buah Segar (TBS) selama 7 sampai 10 tahun. Sedangkan perusahaan bertanggungjawab atas pendanaan pembangunan perkebunan sampai pabrik kelapa sawit (PKS) dan pemasaran.
“Nah, sekarang perkebunan tidak ada, pabrik juga tidak ada, tapi perusahaan masih menahan 400 persil sertifikat tanah kami. Padahal, sesuai perjanjian di notaris, apabila perusahaan melalaikan kewajibannya, artinya tidak membangun perkebunan, PKS dan lainnya, maka seluruh biaya yang telah dikeluarkan menjadi tanggungjawab perusahaan dan sertifikat tanah petani dikembalikan tanpa syarat apapun,” bebernya.
Sementara itu, dalam kasus yang berbeda, penyidik Polda Metro Jaya dikabarkan telah menetapkan Direktur Utama PT. SSLP, BP ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) sebagai tersangka dugaan tindak pidana menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik dan atau penggelapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 266 KUHP dan atau pasal 372 KUHP.
Penetapan BP ke dalam DPO Polda Metro Jaya itu, diketahui melalui Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) Nomor : B/ 55/ I/ RES.1.9/ 2019/ Ditreskrimum, tanggal 9 Januari 2019 yang ditujukan kepada pelapor Laurence M. Takke.
Dalam SP2HP yang ditandatangani Kasubdit 2 Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, AKBP Nuredy Irwansyah Putra itu, disebutkan tersangka Bambang Prayitno telah dipanggil secara patut dan wajar, namun tidak memenuhi panggilan. Bahkan, pada saat dilakukan pencarian, tersangka tidak berada di tempat domisilinya.
Sedianya, tersangka BP diperiksa sebagai tersangka pada tanggal 31 Desember 2018 pukul 09.30 WIB berdasarkan surat panggilan penyidik Subdit 2 Ditreskrimum Polda Metro Jaya Nomor : S.Pgl/ 12482/ XII/ 2018/ Ditreskrimum, tanggal 27 Desember 2018. Namun, dengan alasan sudah punya keperluan di luar kota pada hari yang sama, tersangka meminta pemeriksaannya ditunda menjadi tanggal 7 Januari 2019.
Pria kelahiran Desa Rejai, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau tersebut, ditetapkan sebagai tersangka bersama Rianto alias Akwang dan Dwi Ria Abubakar berdasarkan Abubakar Laporan Polisi Nomor : LP/ 3095/ VI/ 2018/ PMJ/ Ditreskrimum, tanggal 7 Juni 2018.[]