JAKARTA, WB – Presiden Joko Widodo menegaskan bencana asap di berbagai daerah seperti di Sumatera, Jambi, Riau dan wilayah lainnya bukan merupakan bencana nasional. Namun, menurutnya bencana nasional terjadi saat tragedi gelombang tsunami di Aceh pada tahun 2004.
“Korban bencana saat itu lebih dari 200.000 jiwa tewas dan hilang. Kerugian lebih dari Rp 49 trilyun, Pemkab/Pemkot dan Pemprov Aceh dan Sumatera Utara lumpuh saat itu. Berdasarkan catatan sejarah kebencanaan di BNPB, hanya bencana tsunami Aceh 2004 yang dinyatakan Presiden sebagai bencana nasional,” ujar Kepala Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (30/9/2015).
“Bencana yang lain tidak ada yang diklarifikasikan sebagai bencana nasional atau ada penetapan Presiden mengenai bencana nasional. Bencana asap akibat karhutla tahun 1997 yang berdampak 47,6 juta jiwa terpapar, 4,5 juta hektar hutan dan lahan terbakar, dan kerugian ekonomi mencapai Rp 57,6 trilyun,” imbuh Sutopo.
Hal yang sama juga terjadi saat bencana gempa Yogya 2006 yang menimbulkan korban 5.716 jiwa tewas, kerugian Rp 29 trilyun, dan berdampak pada provinsi DIY dan Jateng. Gempa Sumbar 2009 menimbulkan korban 1.117 jiwa, kerusakan di 9 kab/kota, dan kerugian Rp 21 trilyun. Erupsi G.Merapi 2010 menimbulkan korban jiwa 386 orang tewas, 4 kabupaten dan 2 provinsi terdampak, pengungsi 0,5 juta jiwa dan kerugian Rp 3,56 trilyun.
Bagaimana dengan bencana asap akibat karhutla yang saat ini masih berlangsung di enam provinsi? Sutopo menegaskan jika menggunanakan indikator yang ada sesuai dengan UU No 24/2007 , maka ada yang memenuhi dan ada pula yang tidak memenuhi. Pemda Kabupaten/Kota dan Provinsi di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan masih utuh. Tidak lumpuh total, artinya pemerintahan masih ada, kepala daerah masih ada, pegawainya masih normal, anggaran APBD pun juga masih ada.
“Bupati/Walikota dan Gubernur beserta SKPD-nya masih mampu menjalankan pemerintahan sehari-hari. Tidak ada chaos yang menyebabkan pemerintahan lumpuh. Dampak yang ditimbulkan asap dari karhutla tahun ini memang luas. Lebih dari 25 juta jiwa terdampak asap, ratusan ribu jiwa menderita ISPA, sekolah libur, bandara lumpuh, kerugian ekonomi dan lainnya,” terang dia.
Pemerintah pusat, melalui BNPB dan Kementerian LHK sudah sejak awal memberikan pendampingan atau membantu Pemda. Hampir 95 persen pendanaan penanganan karhutla dari Pemerintah Pusat. BNPB mengerahkan 19 helikopter water bombing, 4 pesawat hujan buatan, memberikan peralatan pompa air, masker, bantuan dana operasional bagi personil di lapangan, mengerahkan 3.773 personil TNI dan 770 personil Polri dari pusat yang diperbantukan ke daerah.
“Minimnya APBD yang dialokasikan untuk penanganan karhutla di daerah memang salah satu kendala. Sudah tahu tiap tahun terjadi karhutla, namun tidak mengalokasikan APBD yang memadai,” tutur dia.
Saat ini ada kecenderungan setiap terjadi bencana diwacanakan menjadi bencana nasional. Ini tidak sesuai dengan visi Bangsa Indonesia yang ingin mewujudkan bangsa yang tangguh menghadapi bencana. Jika ditetapkan bencana nasional, Pemda akan menyerahkan sepenuhnya kepada pusat. Padahal bencana bisa diatasi asal kita kompak, serius, total dan dengan hati. Karhutla itu harusnya bisa dicegah selama tidak ada pembiaran dan lemahnya penegakan hukum.
“Jadi sampai saat ini tingkatan bencana asap masih bencana daerah. Belum ada pernyataan Presiden mengenai status bencana nasional dengan mempertimbangkan banyak hal. Yang perlu kita dorong adalah bagaimana karhutla tidak berulang setiap tahun. Ini adalah bencana akibat ulah manusia. 99 persen karhutla adalah disengaja. Kita dorong penanggulangan bencana menjadi prioritas pembangunan daerah, alokasi anggaran untuk bencana dari APBD ditingkatkan, personil pemda yang ahli dan profesional ditempatkan di BPBD dan lainnya. Bupati, Walikota dan Gubernur juga harus bertanggung jawab menangani bencana di daerahnya,” pungkas dia. []