JAKARTA, WB – Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy tidak yakin pemerintahan Jokowi – JK mampu bersihkan mafia migas yang sudah menggurita di Indonesia seperti apa yang telah mereka gemborkan dengan semangatnya menciptakan kemandirian ekonomi dan revolusi mental.
Alasannya karena, mafia migas sudah memiliki bangunan struktur yang kuat yang melibatkan unsur pemerintahan dan pihak asing. Mereka juga sudah menguasai sektor-sektor riil di seluruh pertambangan di Indonesia yang notabene dimiliki oleh pihak asing.
“Saya nggak percaya coba tunjukkan caranya bagaimana? Jokowi selalu berbicara ketahanan ekonomi bukan kedaulatan ekonomi,” katanya di Jakarta, Selasa (9/9/2014).
Menurutnya, ketahanan ekonomi dan kedaulatan ekonomi adalah sesuatu yang berbeda. Ketahanan ekonomi hanya bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki ekonomi cukup. Sedangkan kedaulatan ekonomi menyangkut kemerdekaan dan hak-hak masyarakat seluruh Indonesia.
Berbicara kedaulatan ekonomi, kata Ichsanuddin Indonesia sudah jauh dari harapan. Semua kantong-kantong migas dengan sendirinya sudah menjadi perebutan geopolitik antar asing yang memiliki kapital. Misalnya saja Pertamina ia hanya menguasai 14,7 persen lebih dari pada minyak dan 11,6 persen dari pada gas.
“Saat kita impor BBM, muncul pertanyaan, apakah layak APBN yang dipakai untuk membeli BBM impor ternyata dinikmati oleh orang kaya,” tuturnya.
Ia mengatakan, dalam kasus minyak saja pemerintah sampai saat ini belum bisa menjelaskan kepada publik berapa sebenarnya biaya pokok produksi atas minyak yang diimpor. “Saya katakan sampai saat ini belum ada yang berani menjawab” ujarnya lantang.
Padahal sebenarnya, permainan migas itu sudah bisa ditemukan saat pertama pemerintah membuat kebijakan melalui undang-undang tentang Minerba, kemudian kontrak bagi hasil antara pemerintah Indonesia dengan pihak asing. Berlanjut ke produksi, distribusi, keuntungan, sampai ke pajak perusahaan.
“Kalau kita tahu, semua itu ada mafia migasnya yang bermain,” terangnya.
Dalam penjelasannya, Ichsanuddin mengatakan bahwa mafia migas bukan muncul saat ini saja, tetapi sudah ada sejak masa pemerintahan Soeharto. Dimana dalam era pemerintahannya Soeharto telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi asing untuk berinvestasi di Indonesia.
Hal itu ditandai dengan dibukanya undang-undang penanaman modal. Ini menjadi pintu masuk pertama investor migas dunia dan menjadikan Indonesia sebagai tempat yang menjanjikan untuk bisnis migas. “Sampai-sampai asing selalu mengatakan Indonesia selalu memberikan kepuasan mengenai kebijakan ekonomi liberal,” terangnya.
Bahkan, kejatuhan Presiden Soekarno disebut karena ia getol menolak liberalisasi ekonomi dan menolak undang-undang penanamanan modal. Padahal sebenarnya kata Ichsan dengan kebijakan membuka selebar-lebarnya investor asing masuk, maka tumbuhlah benih-benih mafia tersebut.
Kemudian, lanjut Ichsan, mafia migas juga sudah berhasil menciptakan kaderisasi yang masif di Indonesia, dengan menempatkan orang-orangnya di pemerintahan. Hal-hal tersebut bisa diliat dengan banyaknya kebijakan pemerintah lebih menguntungkan pihak asing dari pada kepentingan nasional.
“Kaderisasinya bagaimana, banyak orang Indonesia yang ditempatkan di Bank Dunia, di IMF itu kan jelas petanya kalau kita mau baca,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) Hendrajit juga mengatakan hal yang sama, bahwa dirinya belum yakin Jokowi mampu membersihkan mafia migas di Indonesia. Karena selama ini Jokowi tidak pernah menjelaskan mengenai strategi dan cara yang akan ia lakukan untuk melakukan hal yang demikian.
“Kalau saya lihat skemanya saja belum ada, mau seperti apa langkah yang ia akan lakukan,” katanya.
Padahal sebenarnya, kata Hendra pemerintah harus merujuk pada pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945, yang secara spesifik mengatur bahwa BBM adalah komoditas yang dikuasai negara yang merupakan hajat hidup orang banyak.
“Sekarang buktikan saja Jokowi hanya mampu tunduk pada konstitusi. Tapi persoalannya apakah orang yang akan diangkat menjadi pembantunya juga akan taat dengan konstitusi. Toh ternyata BBM mau dinaikan,” jelasnya.
Tetap saja, harapan untuk membersihkan Indonesia dari mafia migas sangat susah. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Tapi juga di negara-negara lain. Seperti halnya kata Hendra di Timur Tengah yang memiliki kekayaan minyak terbesar di dunia, sampai saat ini menjadi perebutan geopolitik. []