JAKARTA, WB – Masyarakat Indonesia bersorak setelah Jokowi-JK resmi dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai presiden dan wakil presiden periode 2014-2019 kemarin. Sorak-sorai pagelaran “pesta rakyat” pun jadi gambaran besarnya harapan publik di tangan presiden ke-7 Indonesia ini.
Namun masih ada persoalan yang kini jadi tanda tanya besar di benak publik. Pasalnya, banyak isu yang beredar jika kabinet Jokowi-JK bakal diisi oleh sejumlah nama menteri yang tidak bersih dan tidak pro kepada rakyat, serta politisi busuk.
Hal ini jadi tugas berat pertama Jokowi di hari keduanya menjadi orang nomor satu di Indonesia. Apalagi, mantan Gubernur DKI Jakarta itu sempat sesumbar untuk membentuk kabinet ahli, kabinet karya, atau zaken kabinet.
Namun nyatanya isu yang beredar ditengah masyarakat kalau Jokowi sudah memasukkan sejumlah nama yang merupakan lawan politiknya.
“Mengharap profesionalisme dari tokoh-tokoh partai politik seperti menegakkan benang basah, karena mereka jelas-jelas akan mengusung misi kepentingan partainya,” kata Koordinator Forum Relawan Pemenangan Jokowi–JK, Sukmadji Indro Tjahyono, di Jakarta, Selasa (21/10/2014).
Pria yang akrab disapa Indro ini juga mengatakan tentang “keramahan” Jokowi terhadap beberapa orang yang ditengarai sebagai jaringan mafia yang membegal perekonomian negara.
“Kekecewaan ini juga bertambah ketika muncul banyak susunan kabinet spekulatif yang memasukkan orang-orang yang dibenci dan menjadi musuh rakyat. Apalagi mereka tiba-tiba nangkring di jajaran kabinet Jokowi-JK,” sambungnya.
Indro menilai, perjuangan para relawan yang selama ini dengan jerih payah memenangkan Jokowi–JK pasti bakal kecewa, terlebih jika Jokowi-JK tetap memasukkan sejumlah nama yang notabennya merupakan musuh rakyat.
“Mungkin saja karena relawan umumnya adalah para loyalis, anomali-anomali dalam penyusunan kabinet tersebut ditolerir terus. Hal ini juga karena menghargai hak prerogatif presiden dalam menyusun kabinet. Namun jika hak prerogatif presiden tersebut menafikan harapan rakyat, maka kabinet yang disusun oleh presiden sangat berpotensi menjadi anti klimak bagi hubungan presiden dengan para relawan,” tuturnya.
Ibaratnya mengubah euforia menjadi satu tragedi, kata Indro, bisa saja sikap relawan jadi tidak lagi suportif terhadap pemerintahan saat ini.
“Kekecewaan seperti ini pernah terjadi pada saat kepemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai presiden 2004. Kekecewaan tersebut berlanjut menjadi trauma politik yang menyudutkan SBY sebagai seorang pecundang sampai ia lengser dari kekuasaannya,” ucap Indro yang juga merupakan koordinator People Power Front for Democracy (PPFD).
Menurutnya, meski tidak ada transaksi dengan hitung-hitungan yang bersifat kongkret, tetapi mengajak semua partai politik ikut dalam kabinet merupakan bentuk dari transaksi virtual. Apalagi hal tersebut pernah terjadi di era SBY dengan membentuk Sekretariat Gabungan para partai politik pendukungnya dan membiarkan mereka melakukan bacaan Anggaran Negara.
“Barangkali para relawan tidak akan memberi reaksi yang bersifat frontal begitu kabinet diumumkan. Tetapi setelah 100 hari kerja, keadaan bisa saja berbalik 180 derajat”, tukasnya.[]