JAKARTA, WB – Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang memiliki konstitusi yang kental dengan religi dan etika. Sudah seyogyanya perundang-undangan yang dikembangkan tidak hanya berdasar pada hukum semata.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Panel Serial (DPS) seri ke-6 dengan tema Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan (ATHG) dari Dalam Negeri. Hadir sebagai narasumber dalam acara yang digelar di Merak Room JCC, Senayan pada Sabtu (7/10/2017) diantaranya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Prof. Dr. M. Kaelan, MS dan Yudi Latif, Ph.D.
Hadir pula Ketua FKPPI sekaligus Ketua Aliansi Kebangsaan, dan Pembina YSNB Pontjo Sutowo, serta Ketua Panitia Bersama DPS Iman Sunario dan Prof. Dr. La Ode Kamaludin yang bertindak sebagai moderator.
Pada kenyataannya ATHG dari Dalam Negeri sangat banyak, seperti perang antar suku, korupsi, terorisme, pemberontakan, kemiskinan atau kesenjangan nasional, serta narkoba dan HIV/AIDS. Untuk mengelola ATHG tersebut perlu dilakukan pendekatan khusus agar tidak membahayakan kedaulatan negara.
Menurut Jimly Asshiddiqie, di dunia ini hubungan antara negara dan agama memiliki empat pola. Pertama, hubungan antara negara dan agama yang saling menafikan, biasanya terjadi di negara Komunis. Kedua, hubungan antara negara dan agama yang saling bermusuhan, seperti Jerman dan negara-negara Eropa lainnya.
“Ketiga, hubungan antara negara dan agama yang bersahabat, seperti Amerika Serikat. Keempat, hubungan antara negara dan agama yang bersaudara, seperti Indonesia,” ungkap Jimly Asshiddiqie.
Hebatnya menurut pakar hukum ini, hubungan antara negara dan agama yang bersaudara, hanya ada di Indonesia. “Hal itu terjadi karena Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki konstitusi yang sangat sarat akan relegi dan etika,” tegasnya.
Karena itu papar Jimly Asshiddiqie, sudah seyogyanya perundang-undangan yang dikembangkan tidak hanya berdasar pada hukum semata juga etika, agar permasalahan ATHG dalam negeri dapat diselesaikan dengan lebih baik.
“Saat hanya mendasarkan pada hukum, yang terjadi hanya menang dan kalah, sehingga menumbuhkan ketidakpuasan yang dapat memicu bangkitnya ATHG dalam negeri. Karena itu sudah seyogyanya pendekatan yang ada lebih kini harus lebih mengedepankan pendekatan etika,” kata Jimly Asshiddiqie.
Sementara itu menurut Yudi Latif, untuk mengurangi berkembangnya ATHG dalam negeri, maka pemerintah perlu membuat Pancasila menjadi lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan, sanggup memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis dan bersifat fungsional.
“Salah satu cara dalam mengoperasionalkan Pancasila adalah melalui cara meradikalisasi Pancasila. Radikalisasi Pancasila adalah mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara, mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, dan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara,” papar Yudi Latif.
Di tempat yang sama, M.Kaelan menyatakan jika banyak peraturan perundangan yang ternyata dapat menyebabkan munculnya ATHG dalam negeri. Seperti misalnya dihilangkannya kedaulatan rakyat dalam MPR, atau adanya lembaga tinggi negara seperti DPD yang merupakan lembaga yang tidak memiliki original power.
“Seharusnya segala potensi yang menyebabkan hadirnya ATHG dalam negeri yang lahir dari peraturan perundangan harus dicegah. Agar pelaksanaan kenegaraan kita dapat lebih terfokus”, kata Kaelan. []