Jakarta –Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mulai digunakan untuk menjangkau penyiaran telah mengundang polemik dan ikut dikritisi oleh Ahli Hukum Komunikasi dan Teknologi Informasi dan Ahli Hukum Media.
Ahli Hukum Komunikasi dan Teknologi Informasi Mustofa Haffas menyatakan, di dalam naskah akademik Rancangan Undang Undang (RUU) ITE jelas diterangkan bahwa jangkauan pengaturan RUU ITE adalah untuk mengatur tentang informasi elektronik dan dokumen elektronik yang berkaitan dengan bukti elektronik, pengiriman dan penerimaan surat elektronik (e-mail), tanda tangan elektronik, sistem elektronik dan transaksi elektronik yang berkaitan dengan perdagangan secara elektronik.
Selain itu, UU ITE juga mengatur soal perlindungan HaKI yang berkaitan dengan domain di dunia internet, perbuatan yang dilarang seperti penyebaran materi pornografi, pornoaksi, perjudian, tindak kekerasan, hacking atau cracking, penipuan lelang online, penipuan pemasaran berjenjang online, penipuan kartu kredit, pembajakan perangkat lunak, fraud, phising, cyber stalking, hate sites, dan criminal communication.
“Bidang penyiaran tidak termasuk pada jangkauan UU ITE karena itu diatur secara spesifik di dalam UU Penyiaran dan peraturan pelaksanaannya,” kata Mustofa pada saat dihubungi.
Pengajar Hukum Media Universitas Padjadjaran, Sudjana juga
menguatkan pendapat Mustofa Haffas. Sudjana menegaskan bahwa pembentukan UU ITE bukan untuk mengatur penyiaran. Menurutnya, soal penyiaran telah diatur di dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2002. ” Lembaga penyiaran tak bisa dijerat dengan UU ITE, kecuali tayangan yang dipublish di internet, baru bisa dikenakan UU ITE,” kata Sudjana.
Sudjana menambahkan, lembaga penyiaran yang telah mempunyai Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dari pemerintah dan telah mendapatkan Rekomendasi Kelayakan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan sedang menjalankan ketentuan izin tidak dapat dipidanakan menggunakan UU ITE.