JAKARTA, WB – Jelang kongres PDI Perjuangan pada 9 April 2015 di Bali, tiba-tiba muncul hasil Poltracking Institute yang peluang Megawati menjadi Ketua Umum sangat tipis. Ada nama-nama lain yang potensial menjadi calon ketua umum, yaitu Joko Widodo, Ganjar Pranowo, Pramono Anung, Maruarar Sirait, Tjahjo Kumolo, dan Hasto Kristianto.
Menurut sosiolog dari Universitas Indonesia Hamdi Muluk, putri sulung Soekarno itu telah memimpin PDI Perjuangan selama empat periode. Kini, masyarakat menginginkan adanya regenerasi. Walaupun hal ini sangat sulit untuk direalisasikan.
“Yang terjadi degenerasi. Yang dipilih yang tua-tua lagi. Ini degenerasi namanya. Bahkan derontokrasi,” ungkapnya Hamdi Muluk di, Jakarta Pusat, Minggu (22/3/2015).
Menurutnya, berdasarkan hasil survei lembaga survei Poltracking Indonesia, prioritas dalam kelembagaan PDI Perjuangan adalah regenerasi kepemimpinan partai. Dukungan responden untuk regenerasi partai sebesar 41,6 persen, demokratisasi partai sebesar 26,4 persen, ideologis partai sebesar 15,4 persen, akuntabilitas dan transparansi partai sebesar 13,1 persen, dan desentralisasi partai sebesar 3,5 persen.
Hamdi menjelaskan, tidak adanya regenerasi di tubuh partai, termasuk PDI Perjuangan membuat masyarakat sinis dan pesimis. Apalagi, belakangan juga muncul isu adanya dinasti politik demi mempertahankan klan mereka dalam kekuasaan partai politik.
“Megawati menjadi yang tidak paling direkomendasikan untuk menjadi pemimpin PDIP ke depan,” ujar Koordinator Poltracking Indonesia Hanta Yuda.
Tidak Ilmiah
Menanggapi hasil survei tersebut, politisi PDI Perjuangan, Tubagus Hasanuddin menganggap, hasil survei yang dimaksud tidak berdasar kaidah ilmiah.
“Hasilnya menurut saya aneh. Karena survei ini (poltracking) tak sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah dalam menentukan respondennya. Metodologinya ngawur. Sebagai contoh untuk mengetahui bagaimana tingkat pelayanan PT Kereta Api , agar valid dan hasilnya dapat dipertanggung jawabkan, maka respondennya ya pelanggan atau penumpang KA, bukan penumpang pesawat yang tidak pernah naik kereta api,” ujar Tubagus Hasanuddin, Senin (23/3/2015).
Tubagus Hasanuddin kemudian menegaskan, untuk mengetahui siapa yang didukung oleh kader PDIP untuk menjadi ketua umumnya , mestinya respondennya adalah kader PDIP dan bukan pakar. Para pakar, tegasnya, tak mewakili kader PDIP. Oleh karena itu, ia yakin, lantaran tak sesuai dengan kaidah ilmiah yang berlaku maka, ia anggap hasilnya tidak valid dan tidak bisa dipertanggung jawabkan.
“Saya mencurigai survei ini adalah survei pesanan untuk memecah belah kader PDIP menjelang kongresnya bulan depan. Pemilihan para pimpinan di PDIP mulai dari ketua anak ranting, ketua ranting ( tingkat desa ) , ketua PAC , DPC , DPD sampai Ketum dijaring dan dimulai dari usulan yang paling bawah, setiap kader boleh mengusulkan calon pemimpinnya,” papar Tubagus Hasanuddin.
Sementara itu, Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Maruarar Sirait memberikan apresiasi terhadap hasil survei Poltracking Institute yang menyebut Megawati tidak ideal lagi untuk memimpin partai berlambang banteng moncong putih.
“Kita hargai semua hasil survei. Tapi PDIP punya mekanisme dan ideologi sendiri dalam menentukan pilihan terhadap pimpinannya,” kata Maruarar Sirait, di Gedung DPR, Senayan Jakarta, Senin (23/3/2015).
Menurut Maruarar, kesepakatan untuk menetapkan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP melalui forum tertinggi partai dengan alasan hanya Megawati yang bisa menyatukan semua kader, di samping kenegarawanannya.
“Faktanya, Ibu Mega dalam kongres di Bali dipercaya jadi calon presiden, tapi Ibu Mega menyerahkan ke Mas Jokowi,” ungkapnya.
Tapi lanjutnya, lihat partai lainnya yang sering mengalami goncangan internal setelah melakukan forum tertingginya, selalu diiringi dengan keributan. []