WARTABUANA – Provinsi Papua dan Papua Barat diibaratkan raksasa yang tidur. Jika raksasa itu kelak berhasil dibangunkan dan bergerak, dua provinsi itu tumbuh menjadi provinsi terkaya dan ikut membesarkan Indonesia.
Hal tersebut disampaikan konsultan politik Denny JA saat menjadi pembicara dalam diskusi “Merajuk Kembali Kebinekaan yang Mulai Terkoyak” di Cafe Tji Liwoeng, Condet, Jakarta, Jumat (23/8).
Menurut Denny, ada dua alasan Papua layak disebut raksasa. Pertama, hasil riset dari mining.com. Situs berita khusus tambang itu membuat daftar 10 tambang emas terbesar di dunia. Nomor satu adalah Grasberg di Papua, Indonesia.
Sumber daya yang ada di Papua melampaui semua sumber daya di belahan dunia lain baik di Muruntau, Uzbekistan, atau di Goldstrike, Amerika Serikat, ataupun di Olimpiada, Rusia.
Padahal, sudah pula menjadi pengetahuan umum. Grasberg itu hanya satu wilayah yang sudah kasat mata.
“Yang masih tersimpan, tersembunyi dalam kawasan Papua dan Papua Barat, siapa yang bisa duga?” ujarnya.
Kedua, hasil riset dari situs lingkungan hidup Conservation.org. Kawasan paling kaya untuk keragaman hidup bawah laut ada di Papua. Kekayaan flaura dan fauna di sana juga tak tertandingi wilayah lain di seluruh dunia.
“Provinsi mana lagi yang bisa menyaingi Papua dan Papua Barat untuk kekayaan tambang dan flora- fauna? Bukan hanya tak ada provinsi di Indonesia yang mendekati kekayaan itu, tak ada pula provinsi di kawasan dunia lainnya,” sambungnya.
Sementara itu, aktivis Agus Edy Santoso menilai potensi tanah Papua sangatlah kaya dengan aneka tambang, flora dan fauna. Namun sangatlah ironi, Papua dan Papua Barat menjadi provinsi yang paling besar prosentase kemiskinannya di Indonesia.
“Ada komponen ketidak adilan ekonomi dalam setiap pergolakan di Papua. Solusi apapun yang diambil harus juga ada upaya ekstra mempercepat kesejahteraan rakyat Papua.
Ia juga menyoroti isu ketidak adilan ekonomi jangan terlalu banyak dihadapi oleh pemerintah dengan jargon pentingnya nasionalisme, NKRI dan sebagainya.
“Sudah benar infrastuktur membuka isolasi di Papua. Namun infrastuktur harus cepat diikuti oleh peningkatan kualitas SDM, enterpreneurship dan perhatian pada lingkungan hidup,” ucapnya.
Hadir jugadalam diskusi itu para aktivis dan intelektual seperti Nursyahbani Katjasungkana, Soedarsono Harjasoekarto, Isti Nugroho, Elza Peldi Taher, dan Jonminofri.
Diskusi itu juga menandai dibukanya Cafe Tji Liwoeng sebagai simpul budaya di daerah Condet.[]