Pakar Pertahanan dan Pangan, Dina Hidayana, meminta Pemerintah mewaspadai masifnya loncatan inovasi dan teknologi futuristik dari berbagai negara, tak terkecuali dalam hal rekayasa pangan. Bukan hanya benih tanaman yang ditumbuhkan dalam kultur jaringan, bahkan saat ini daging sapi hingga salmon bisa diciptakan di laboratorium dengan rasa dan tekstur serupa asli, tingkat gizinya pun bisa diatur. Hal tersebut disampaikan Dina di sela menghadiri “Singapore International AgriFood Week” (19/11/2024).
Dina melihat dalam beberapa dekade terakhir, ada upaya serius dalam menggeser selera konsumen global, ke arah pangan yang serba instan dan praktis. Ironisnya, sementara Indonesia masih terjebak di urusan importasi bahan dasar pangan seperti Beras, Daging atau Gula yang semakin menggurita, negara (maju) telah menghasilkan produk pangan yang diklaim lebih efisien, tidak memerlukan luasan lahan atau jumlah SDM besar dengan terus memperkuat aras penelitian dan pengembangan teknologi modern.
Kebutuhan atas kuantitas produk pertanian dan gizi pangan masyarakat diatasi melalui inovasi yang mendukung ekosistem berkelanjutan. Beberapa produsen mancanegara menawarkan jenis pangan baru yang kaya gizi dari hasil rekayasa laboratorium. Nantinya, dengan alasan kepraktisan, ada trend baru konsumsi pangan tanpa harus melalui proses pemasakan atau penyajian yang rumit, gigi geligi pun bisa jadi tak lagi berfungsi karena semakin banyak pangan praktis diciptakan tanpa perlu dikunyah, cukup disuntikkan atau diminum berupa cairan, ujar Ketua Umum IKATANI ini.
Dina Hidayana, melihat fenomena ini sebagai bentuk kewaspadaan akan potensi Indonesia yang nampaknya tak lagi menarik investor. Teknologi nyata-nyata telah mampu mengatasi keterbatasan lahan, inefiesiensi air dan energi, juga kebutuhan akan Sumber Daya Manusia (SDM) secara fisik. Tawaran Indonesia atas bentangan daratan seluas nyaris 2 juta kilometer persegi dengan lebih dari 30% berupa areal pertanian juga berlimpahnya jumlah petani Indonesia, sekitar 40 juta dengan 70% nya adalah petani padi, ke depan bukan lagi nilai jual yang bisa dibanggakan.
Ketua Depinas SOKSI ini berharap Pemerintah perlu bergegas dalam mereorientasikan visi kebijakan dengan memperhatikan dinamika global yang semakin progresif dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Indonesia harus memiliki intuisi kuat dalam menentukan intervensi penguatan sektor pangan dan pertanian, bagian atau aktor mana yang perlu menjadi prioritas, semua penting tapi pasti ada yang terpenting untuk didahulukan, tegas Dina.
Inovasi dipercaya sebagai instrumen penting kemajuan bangsa. Berdasar pengukuran Indeks Inovasi Global Tahun 2024, Indonesia berada di peringkat 54 dari 133 negara, dengan skor 30,6. Nilai tersebut ditopang oleh dua kelebihan, yakni institusi dan pasar. Sementara dari indeks tersebut diketahui pula Indonesia masih sangat lemah dalam hal SDM dan riset, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kekuatan bisnis. Selain itu, di tingkat ASEAN, Indonesia peringkat ke enam dalam hal inovasi, masih kalah dibandingkan Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina.
Dina menganggap alur pikir dan pola kelola tradisional (bussiness as usual) mesti segera ditransformasikan dan dikongkritkan dalam wujud kebijakan yang proyektif terhadap teknologi futuristik. Indonesia harus segera beranjak dari perdebatan rente mafia pangan menuju substansi pembenahan yang spesifik terkait kinerja inovasi, sudahi menjadi follower saatnya bergerak menjadi inovator, pungkas Dina Hidayana yang juga alumnus Doktor Strategi Pertahanan UNHAN RI ini.