JAKARTA, WB – Tim Kuasa Hukum mantan terpidana Nunun Nurbaeti mengkritisi dengan sikap dan pernyataan Menkumham Amir Syamsudin yang tidak konsisten. Di beberapa media, penytaan Amir terkesan mencla-mencle menanggapi surat terbuka Nunun kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait PP 99/2012.
“Saya sedih tapi juga tertawa dengan pembelaan demi pembelaan yang dilakukan oleh Kemenkumham. Terkesan tidak stabil,” ujar Ina Rachman SH, salah satu Tim Kuasa Hukum Nunun Nurbaeti.
Terkait ucapan Amir yang menyebut Nunun bukan Justice Collaborator, menurut Ina, pihaknya memang tidak mengajukan Pembebasan Bersyarat. “Kami mendapat surat balasan dari KPK bahwa Ibu Nunun tidak termasuk Justice Collaborator, makanya kami sangat tahu diri dengan hal ini sehingga kami tidak melakukan upaya aneh-aneh untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat karena kami selalu bertindak sesuai aturan hukum,” paparnya.
Tim Kuasa Hukum Nunun menilai, pernyataan Menkumham tidak konsisten dan selalu berubah. Dari mulai pengakuan bahwa PP 99/2012 itu kekeliruan dia selama menjabat menteri, kemudian Nunun tidak ada uang pengganti dan sekarang berlindung di balik Surat Edaran Menkumham bulan Juni 2014.
“Janganlah membela diri dengan alasan-alasan yang pada akhirnya hanya akan mempermalukan diri sendiri. Kalau memang pemberian pembebasan bersayarat itu suatu kekeliruan ya sudah, akui saja dan meminta maaf kepada masyarakat dan kejadian seperti itu jangan terulang lagi. Simple kan?,” tandas Ina.
Dari beberapa pernyataan Amir di beberapa media nasional itu membuat pihak Nunun menduga adanya kepentingan kelompok tertentu dengan dimunculkannya beberapa Surat Edaran. Surat Edaran pertama pada bulan Juli 2013 yang berisikan “PP 99/2012 diberlakukan bagi kasus kasus yang inkracht setelah 12 november 2012”. Kemdian putusan inkracht Nunun 21 November 2012 dan Surat Edaran 4 Juni 2014 tentang Nunun bebas murni 14 Juni 2014.
“Ada apa ini? Hanya Kemenkumham dan Tuhan yang tahu jawabannya,” ujar Ina.
Lebih jauh Ina menambahkan, boleh saja seorang menteri berpendapat bahwa persyaratan pembebasan bersyarat tidak perlu akumulatif, tetapi kita harus ingat bahwa negara kita adalah negara yang segala sesuatunya berdasarkan hukum.
“Apakah mungkin pemberian Pembebasan Bersyarat itu tidak melalui akumulatif persyaratannya? Sesuaikan saja dengan persyaratan yang tercantum pada PP 99/2012. Enak dong kalau syaratnya cukup satu tapi bisa langsung dapat Pembebasan Bersyarat. Dimana efek jeranya?,” celoteh Ina.
Mulyaharja, yang juga anggota Tim Kuasa Hukum Nunun, setuju dengan pendapat Bambang Widjoyanto yang menyatakan pemberian pembebasan bersyarat itu harus dicabut karena hal itu bertentangan dengan rasa keadilan di masyarakat dan bukan rasa keadilan narapidana.
Dan pencabutan pembebasan bersyarat pun dapat dilakukan berdasarkan Kepmenkeh tahun 1999 no. M.01-PK.04.10 pasal 29 ayat 1 huruf c dan d yang berbunyi : c. menimbulkan keresahan dalam masyarakat d. melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan asimiliasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas. []