JAKARTA, WB – Pelambatan ekonomi global dan nasional adalah fakta yang berujung pada maraknya kemiskinan sehingga membawa dampak genosida, sebab kemiskinan membuat generasi penerus kalah bersaing dengan negara lainnya.
Hal itu menjadi pembicaraan hangat di acara Diskusi Panel Seria (DPS) dengan tema Aktualisasi Trisakti Dalam Bidang Ekonomi di Merak Room, JCC, Senayan, Jakarta, Sabtu (4/11/2017).
Hadir sebagai pembicara dalam DPS Seri ke-6 ini, antara lain, Dr. Prasetiyono Widjojo, Dr. Bambang Subianto dan Harbrinderjit Singh Dillon. Hadir pula Ketua FKPPI sekaligus Ketua Aliansi Kebangsaan, dan Pembina YSNB Pontjo Sutowo, serta Ketua Panitia Bersama DPS Iman Sunario, dan Prof. Dr. La Ode Kamaludin yang bertindak sebagai moderator DPS.
Pelambatan ekonomi global dan nasional itu mewajibkan semua pihak untuk saling bergandeng tangan agar bangsa Indonesia mampu keluar dari masalah tersebut atau bahkan lebih survive dari keadaan sebelumnya.
Untuk keluar dari cengkeraman bahaya krisis ekonomi, diperlukan segera terjadinya penguatan ekonomi yang berujung pada kemandirian ekonomi, agar pelambatan ekonomi yang terjadi selama ini dapat di atasi.
Sinergi antara Transformasi Ekonomi dan Transformasi Sosial untuk meningkatkan Kesejahteraan Rakyat secara berkeadilan, dan political will terhadap prioritas pembangunan serta kebijakan afirmasi untuk mengatasi menurunkan tingkat kemiskinan, pengangguran, kesenjangan, dan untuk meningkatkan kualitas hidup, juga harus dikedepankan.
Menurut Prasetijono Widjojo, salah satu cara untuk mempercepat penguatan ekonomi yang berujung pada kemandirian ekonomi, adalah dengan cara mereview kembali berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi untuk melihat konsistensinya dengan ideologi Pancasila, UUD 1945 (penerapan pasal 33), serta mengkaji secara lintas sektor agar peraturan perundangan yang ada tidak saling tumpang tindih, dapat saling bersinergi, dan bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“Perlu segera diterjemahkan visi ideologis yang ada ke dalam program operasional khususnya dalam bidang politik, ekonomi dan budaya dengan tujuan utama penguatan ekonomi rakyat”, kata Prasetijono.
Sementara itu, menurut H.S. Dillon konsep kebijakan politik dan ekonomi terpimpin ala Deng Xiaoping, pada dasarnya mencontoh demokrasi dan ekonomi terpimpin yang dilakukan oleh Presiden Soekarno. Konsep ini mampu membuat Cina berhasil membawa ekonomi Cina yang sangat kuat menyaingi Amerika Serikat dalam waktu singkat. Konsep-konsep yang baik dari bangsa Indonesia tersebut, sayangnya tidak digunakan oleh bangsa Indonesia sendiri.
“Dengan tidak mengedepankan kebijakan ekonomi yang terukur tersebut, kini berakibat Sumber Daya Alam Indonesia berada dibawah cengkeraman mafia. Dan untuk mengatasinya negara kini harus segera memperkokoh landasan pertanian dan pedesaan yang ada. Kokohnya pertanian dan pedesaan akan mampu memperkuat ekonomi yang berujung pada mengurangi secara signifikan terhadap kemiskinan”, kata Dillon.
Sementara itu menurut Bambang Subianto, kecilnya jumlah pengangguran yang ada di Indonesia merupakan peninabobokan data yang menghalangi semangat pemberantasan kemiskinan.
Data ini terjadi karena ketidakjujuran data yang digunakan oleh BPS. BPS mendefinisikan bekerja sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu.
Kegiatan tersebut termasuk pola kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi. Definisi tersebut tentu saja sangat tidak lazim dan membuat angka pengangguran yang ada menjadi kehilangan kredibilitasnya.
“Ketidakjujuran data yang ada dan tidak adanya pemerataan menjadi kunci maraknya kemiskinan. Karena itu keterbukaan informasi dan pemerataan dalam segala hal, harus diutamakan agar kemiskinan dapat dikurangi, kemandirian ekonomi dapat diraih”, kata Bambang Subianto.[]