WARTABUANA – Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang sedang dibahas Pemerintah bersama DPR saat ini dikhawatirkan bisa menjadi jebakan atau bumerang bagi Pemerintah sendiri. Malah bisa saja RUU ini menyeret pemerintah ke ranah hukum.
Guru Besar bidang Ilmu Hidrogeologi Vulkanik Fakultas Teknik Geologi yang juga Dekan Fakultas Teknik Geologi Unpad Prof. Hendarmawan mencontohkan soal izin penggunaan sumber daya air dalam RUU SDA, di mana pihak swasta harus memenuhi syarat yang ketat.
Dalam hal ini, dia melihat jika setelah UU ini disahkan dan negara tidak bisa memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat, maka pemerintah bisa ditutut secara hukum.
“Pasalnya, Undang-Undang SDA ini kan mengacu kepada UUD 1945 Pasal 33, di mana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” kata Hendarmawan melalui keterangannya.
Karena itu, Hendarmawan mengingatkan agar pemerintah jangan terjebak kepada sesuatu yang disetujuinya sendiri.
“Di RUU SDA ini kan disebut bahwa setiap masyarakat harus mendapatkan akses atas air bersih. Kan itu harus dilaksanakan pemerintah. Lalu dengan bahasa itu berarti kalau ada yang tidak dapat akses air bersih dan pemerintah tidak ada di situ, pemerintah sudah kena dari sisi hukum,” ucapnya.
Menurutnya, itu bumerang bagi pemerintah sendiri. Di Bandung saja, kata Hendarmawan, ada sekitar 56 desa yang tidak memiliki akses air bersih, belum di daerah-daerah lainnya. “Jadi jangan sampai substansi dari hukumnya itu nanti menjadi bumerang atau malah merugikan pemerintah sendiri. Di situ rakyat bisa menuntut,” tandasnya.
“Siapa yang harus tanggung jawab? Kan negara. Nah kalau UU SDA sampai terjebak sampai situ, mungkin mulai dari presiden sampai menterinya bisa di hukum, itu kalau sudah ada klausul tadi.”
Untuk itu, menurut Hendarmawan, RUU SDA jangan menutup kemungkinan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan air bersih itu perlu bantuan swasta juga. “Tapi tentunya harus dengan pengawasan dari pemerintah,” katanya.
Pasalnya, kehadiran pihak swasta itu juga masih dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur perpipaan air bersih yang harganya relatif mahal.
“Jadi kalau pemerintah tidak punya uang bisa ke swasta untuk membangun infrastrukturnya. Tapi harganya nanti harus yang terjangkau rakyat, tidak boleh terlalu mahal. Jadi namanya jangan disebut untuk menjual air tapi pemeliharaan pipa,” ujarnya.
Soal adanya keterlibatan BUMN dalam pengelolaan air bersih di RUU SDA, Hendarmawan melihat itu sesuatu hal yang sangat normatif karena untuk menunjukkan negara tampil di dalamnya.
“Itu sah-sah saja.Tapi pada saat yang sama, yang tidak bisa dikuasai oleh BUMN sebaiknya tetap ada kolaborasi dengan swasta. Jadi saran saya sebaiknya di RUU SDA ini tidak usah disebutkan dengan syarat-syarat yang ketat untuk ditawarkan ke swasta,” ucapnya.
Karena yang namanya pelaku usaha, kata Hendarmawan, kalau dikasih syarat ketat dan intrik-intrik yang macam-macam,mereka pasti akan memilih untuk lebih baik bernvestasi ke luar. “Ini kan akan merugikan pemerintah sendiri kalau nanti mereka keluar dari Indonesia dan berinvestasi di negara lain,” ujarnya.
Selain itu, kata Hendarmawan, RUU SDA yang sedang dibahas ini juga berpeluang membuka praktek-praktek korupsi. “Kenapa? Kalau BUMN nanti tidak punya kemampuan untuk melayani akses air bersih masyarakat, lantas daerah-daerah yang tidak terlayani sama siapa. Ini kan menjurus kepada praktek-praktek korupsi,” tukasnya.
Tidak hanya itu, bisa-bisa pengelolaan air bersih ini juga akan dikuasai pemerintah asing ujung-ujungnya karena ketidakmampuan negara untuk mengelolanya. “Saya khawatir, UU SDA ini nantinya malah akan menjual sumber daya air kita ke asing. Apalagi air di Indonesia itu berlimpah,” pungkasnya.[]