JAKARTA, WB – Peneliti dari lembaga Institut Public Indonesia (IPI), Karyono Wibowo, berpandangan bahwa munculnya berbagai data hasil quick count berbeda disebabkan oleh beberapa faktor. Untuk faktor yang pertama kata Karyono adalah, karena lembaga tersebut merupakan lembaga partisan, sehingga akan memihak salah satu pasangan kandidat, sehingga data yang disajikan hasil rekayasa.
“Perbedaanya ada yang mencolok, ada yang soft, model ini biasanya “bermain” di ambang batas margin error,” beber Karyono, melalui pesan singkatnya, Kamis (10/7/2014).
Untuk faktor kedua lanjut Karyono, karena adanya kesalahan metodologi. Kesalahan ini tak disengaja karena merupakan kesalahan metode.
Yang Ketiga, lanjut dia, adanya human error atau kesalahan yang disebabkan karena kesalahan atau keteledoran manusia.
“Setidaknya ketiga faktor itulah yang dapat memengaruhi data quick count bisa berbeda. Yang membahayakan, apabila selisih perolehan suaranya tipis, sehingga hal ini rawan dimanfaatkan untuk memanipulasi suara,” ucapnya.
Lebih jauh Karyono juga menjelaskan, hasil quick count yang berbeda, bisa digunakan untuk melegitimasi kecurangan baik melalui rekapitulasi suara atau dengan cara lain. Namun, yang tak kalah membahayakan adalah efek dari perbedaan data tersebut telah membuat resah masyarakat dan bisa memicu konflik sosial.
“Saya menghimbau kapada lembaga survei yang melakukan quick count harus mempertanggung jawabkan hasil quick countnya secara ilmiah. Jangan main-main dengan data quick count. Karena jika terjadi konflik sosial akibat perbedaan data, maka lembaga tersebut tidak hanya sekadar mempertanggung jawabkan secara ilmiah tapi harus mempertanggung jawabkan juga secara hukum,” ancam Karyono.
Lembaga survei, kata Karyono, harus mengawal proses demokrasi, bukan menodai proses demokrasi. Dirinya secara pribadi sebagai salah satu orang yang menekuni bidang riset cukup memahami bagaimana menilai hasil quick count yang lebih bisa dipercaya. []