JAKARTA, WB – Penyidik Direktorat Reskrimsus Polda Metro Jaya menetapkannya Habib Rizieq Syihab ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan chating berkonten pornografi pada Senin (29/5/ 2017) dengan tuduhan pelanggaran Pasal 4 ayat 1 jo Pasal 29 dan atau Pasal 6 jo Pasal 32 dan atau Pasal 8 jo Pasal 34 Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Menurut penyidik, penetapan tersangka dilakukan setelah diperoleh Alat bukti yang cukup. Adapun bukti yang dapat digunakan untuk penetapan tersangka, harus diperoleh dalam hal dan menurut cara yang ditentukan Undang-Undang. Pasca Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, frasa “bukti”, “bukti permulaan”, “alat bukti” dianggap sama dan dimaknai dengan minimal 2 alat bukti. Dalam hal ini yang menjadi minimal 2 alat bukti untuk dapat digunakan dalam penetapan tersangka, haruslah diperoleh dalam hal dan menurut cara yang ditentukan dalam Undang-Undang.
Dalam penyidikan kasus ini, keterangan saksi yang diperiksa yaitu Firza Husein (yang juga menjadi tersangka), Muchsin Alatas, dan Fatimah (Kak Emma) telah membantah pengetahuannya tentang tuduhan tersebut. Bahkan, Fatimah menyatakan bahwa ia ditekan secara psikologis dan digiring oleh penyidik untuk mengakui apa yang dituduhkan terhadap Habib Rizieq. Lantas keterangan saksi mana yang dijadikan dasar alat bukti bagi penyidik dalam menetapkan Habib Rizieq sebagai tersangka?
Bukti selanjutnya yang digunakan oleh penyidik adalah chat yang diduga berkonten pornografi. Bukti foto dengam tampilan screenshot yang diduga merupakan percakapan antara Habib Rizieq dan Firza Husein tersebut telah dibantah dengan tegas oleh yang bersangkutan dan dinyatakan merupakan rekayasa. Asli ataupun tidak asli, bukti tersebut merupakan alat bukti yang tidak sah karena diperoleh dengan cara yang tidak legal.
Bahwa, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 dinyatakan bahwa penyadapan yang dilakukan tanpa melalui prosedur yang ditentukan oleh Undang-Undang adalah tidak dibenarkan agar tidak terjadi pelanggaran HAM sebagaimana telah dijamin UUD 1945. Penyidik dalam hal ini telah menggunakan alat bukti rekaman yang diduga milik Firza Husein, dan foto percakapan yang diduga melibatkan Habib Rizieq secara tidak sah (illegal), maka telah nyata adanya pelanggaran terhadap due process of law yang merupakan refleksi dari prinsip negara hukum yang dianut Negara Indonesia.
Bahwa, alat bukti yang diperoleh penyidik telah jelas diperoleh secara illegal sehingga tidak memenuhi ketentuan alat bukti yang sah sebagai dasar menetapkan tersangka, sebagaimana tegas disebutkan dalam aturan-aturan sebagai berikut:
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi yang menyatakan “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun”
Pasal 31, Undang-undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
Putusan MK No. 5/PUU-VIII/2010 paragraf [3.21] menyatakan “… bahwasanya penyadapan memang merupakan bentuk pelanggaran terhadap rights og privacy yang bertentangan dengan UUD 1945…”
Pasal 17 Kovenan International Hak-Hak Sipil dan Politik sebagaimana diratifikasi dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2015 dinyatakan, “Tidak boleh seorangpun yang dengan sewenang-wenang atau secara tidak sah mencampurtangani perihal kepribadiannya, keluarganya, rumahtangganya, atau surat-suratnya, demikian pula tidak boleh dicemari kehormatannya dan nama baiknya secara tidak sah.”
Ketentuan-ketentuan diatas telah menegaskan bahwa wilayah yang sifatnya privacy dan bukan untuk konsumsi publik, termasuk percakapan via WhatsApp yang merupakan aplikasi massenger dua arah (bukan untuk publik), merupakan hak privacy setiap orang untuk berkomunikasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945. Tindakan penyadapan yang dilakukan tanpa izin dan bukan oleh lembaga berwenang sesuai UU merupakan pelanggaran terhadap HAM, Rights of Privacy dan bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah dan melanggar Undang-Undang merupakan alat bukti yang tidak sah dan tidak dapat dijadikan dasar 2 alat bukti untuk menetapkan tersangka.
Sistem pembuktian dalam pidana adalah untuk memastikan adanya perbuatan yang secara faktual melanggar undang-undang tentang suatu tindak pidana (factual guilt), dan untuk dapat menunjuk seseorang bertanggungjawab atas hal itu (legal guilt), yang dikonstruksikan mulai dalam tahap penyidikan sampai dengan dinyatakan demikian dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Kekeliruan dalam sistem pembuktian inilah yang menyebabkan terampasnya Hak Asasi Manusia yang juga berlaku bagi tersangka.
Bahwa dari segi materil perkara, penetapan tersangka atas Habib Rizieq juga tidak didasarkan pada aturan hukum yang sesuai sehingga tampak terlalu dipaksakan. Ia disangka atas dugaan melanggar Pasal 4 ayat 1 dan/atau Pasal 6 dan/atau Pasal 8 UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (Pasal 29, Pasal 32, dan Pasal 34 tentang ketentuan pidana-nya). Bahwa pasal-pasal yang disangkakan kepada Habib Rizieq adalah ketentuan larangan atas perbuatan yang menyebarkan pornografi, yang sepatutnya disangkakan kepada penyebar isu dan rekayasa percakapan pornografi tersebut. Sehingga sangat tidak relevan mengapa Habib Rizieq ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran Undang-Undang Pornografi.
Disisi lain, pelaku penyebaran chat tersebut hingga kini tidak dicari keberadaannya oleh pihak kepolisian. Padahal tidak sulit untuk menemukan pelakukanya oleh karena Telepon Genggam milik Firza Husein telah disita pihak kepolisian dalam kasus berbeda pada tanggal 2 Desember 2016 yang pada akhirnya muncullah percakapan tersebut pada tanggal 29 Januari 2017.
Baik dari segi Formil dan Materil, sangat tidak beralasan dan terlalu dipaksakan penetapan tersangka terhadap Habib Rizieq. Habib Rizieq seolah-olah telah menjadi target sehingga tanpa mendengarkan keterangannya sebagai saksi, penyidik langsung menetapkan sebagai tersangka. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana termuat dalam pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.
Terang dan jelas, bahwa penetapan tersangka atas Habib Rizieq merupakan suatu yang tidak didasari ketentuan hukum yang benar, melanggar prinsip due process of law, dan diduga didasari pada kehendak dan kepentingan oknum tertentu. Sehingga penetapan tersangka terhadap Habib Rizieq tidak dilakukan secara proportional and professional, karena tidak menunjukkan adanya korelasi antara tindak pidana yang disangkakan dengan bukti yang sah tentang alasan yang cukup tersangka diduga keras melakukan tindak pidana. (Penulis : Dr. M. Kapitra Ampera, SH., MH / Tim Kuasa Hukum M. Rizieq Shihab)