WARTABUANA – Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie mengaku tidak kecewa meskipun Mahfud MD sebagai jagoan yang direkomendasikannya tidak jadi cawapres. Bahkan dia mencoba move on menerima kenyataan orang yang ikut andil menjebloskan idola masuk bui menjadi pendamping Jokowi dalam Pilpres 2019 nanti.
Di hadapan sejumlah awak media dan para pakar yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan pimpinan Pontjo Sutowo, wanita muda yang juga mantan wartawan itu memaparkan visi dan misi PSI serta sikap politiknya terkait Pilpres nanti.
Pemaparan itu disampaikan Grace Natalie sebagai narasumber dalam diskusi bertajuk Partai Politik, Ideologi, Konstitusi dan Kepemimpinan yang digelar di The Sultan Hotel & Residen, Senayan, Jakarta, Jumat (10/8/2019).
Diskusi yang digelar sehari setelah koalisi partai petahana mendeklarasikan pasangan Jokowi dan Ma`ruf Amin maju dalam kontestasi Pilpres 2019 2019 nanti.
Menurut Grace Natalie, dalam berpolitik, partai besutannya tidak text book, sehingga susah untuk dicocok-cocokkan dengan teori-teori politik dari buku teori berpolitik. “Sehingga jangan ditanya, bukunya yang mana. Dalam berpolitik kami mencoba menggunakan akal sehat saja,” katanya.
Seperti dipaparkan politisi muda ini, PSI berdiri bukan oleh orang-orang yang kenyang dengan jam terbang politik. Namun mayoritas kader PSI justru dari orang-orang yang tidak suka dengan politik. “Saya berlatar belakang wartawan, tapi sejak dulu tidak suka politik. Tidak pernah terbayangkan akan terjun ke dunia apolitik, bahkan mendirikan sebuah partai.” ungkapnya.
Namun balakangan Grace Natalie menyadari bahwa seluruh hal dalam kehidupan kita ini terjadi merupakan buah dari kebijakan politik. “ Hari ini pun kita mendapatkan dua nama calon capres dan cawapres, itu merupakan proses politik. Ada diskusi yang panjang, pertemuan yang panjang, penyerapan aspirasi melalui survei,” jelasnya.
Karena proses politik itu, menyebabkan dirinya dan semua kader PSI harus menerima kenyataan bahwa Jokowi tidak memilih Mahfud MD sebagai cawapresnya. “Ujung-ujungnya harus kita terima bahwa Presiden Jokowi tidak punya hak prerogatif untuk menentukan cawapresnya. Karena yang punya hak mengajukan adalah partai koalisi,” ulasnya.
Grace Natalie mengaku, pihaknya sudah berkomitmen dengan Jokowi, siapapun cawapresnya kami harus mendukung dan mensukseskannya. “Apapun keputusannya beliau saya apresiasi karena dia berusaha mencari titik temu yang bisa memuaskan semua partai koalisi,” ungkapnya.
Meskipun mengaku tidak kecewa, namun Grace Natalie mengakui bawha realita politik tidak semudah itu karena ada pihak-pihak yang tidak menginginkan kehadiran Mahfud MD. “Realita politiknya, Pak Jokowi tidak bisa merekomendasikan pilihannya sendiri. Ada presidential threshold 20 persen yang artinya dia butuh rekomendasi dari partai koalisi. Kita menyadari saat itu Pak Jokowi berada dalam posisi yang sulit,” katanya.
Ketika disinggung soal peran Ma`ruf Amin dalam proses Pilkada di DKI Jakarta lalu yang memiliki andil dalam proses hukum yang menyebabkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok masuk penjara dengan dakwaan penistaan agama, menurut Grace Natalie beda konteks dengan kondisi politik saat ini.
“Kita memahami bahwa DKI Jakarta punya konteksnya sendiri. Tentu kita tidak akan lupa, tetapi memang harus dilihat dalam konteks seperti itu, bagaimana psikologi publik. Sebenarnya banyak faktor, sehingga kita tidak bisa paksakan konteksnya sama dalam kontestasi saat ini,” paparnya.[]