WARTABUANA – Aktor legendaris Slamet Rahardjo menilai, infrastruktur yang luar biasa yang bisa menghubungkan Jakarta sampai California adalah Media, media dalam hal ini, film yang bisa menghubungkan Indonesia dengan dunia luar secara lebih cepat, apalagi didukung oleh 4.0 dan 5.0.
“Jika bicara infrastruktur, apa yang Presiden Jokowi buat itu sudah oke. Ada trans Sumatera, Trans Kalimantan dan Trans Sulawesi. Aku cuma bilang bahwa, sebetulnya infrastruktur yang luar biasa itu bukan menghubungkan Lampung sampai Aceh, tapi Jakarta sampai California. Apa itu namanya, yaitu Media. Media yang bisa menghubungkan dengan cepat dengan dunia luar itu namanya Film. Film yang didukung oleh 4.0 dan 5.0. film itu bisa menjangkau kemana saja,” ungkapnya.
Pengalamannya sebagai Ketua Pelaksana FFI di tahun 2013 yang berhasil dengan sukses, selain karena Kerjasama tim yang solid, juga karena penanganan secara langsung Ketua Panpel FFI dengan Menteri Parekraf Ketika itu, Ibu Marie E. Pangestu.
Disini membuktikan bahwa Perfilman di Indonesia perlu ditangani langsung oleh pejabat yang setingkat dibawah Menteri agar berbagai persoalan yang menyertai perfilman nasional dapat dicarikan jalan keluarnya dalam waktu secepatnya, ungkap H. Firman Bintang, mantan Ketum PPFI dan Ketua Panpel FFI 2013.
Sementara Ketum Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafrudin mengatakan, kita butuh infrastruktur semacam Bollywood. Namun, Kritikus film, Wina Armada, simpulkan bahwa film Indonesia seperti ayam kampung, ia disuruh cari makan sendiri, telurnya diambil.
Beragam pendapat dari aktor, pelaku bisnis hingga kritikus film tersebut terlontar saat beberapa stakeholders perfilman, kumpul bareng dan bincang santai seputar nasib film Indonesia di Kawasan Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu yang diprakarsai Ketua Umum Gabungan Studio Film Indonesia (GASFI) Rudy S. Sanyoto. Selain tokoh film seperti Slamet Rahardjo, hadir pula Djonny Syafrudin, Wina Armada, H. Firman Bintang, Armien Firmansyah, Adi Surya Abdi, Harry Simon serta sejumlah tokoh lainnya.
Film Indonesia sudah menjadi perhatian pemerintah untuk dilindungi sejak tahun 1964 dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden (PENPRES) Nomor 1 Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman oleh Presiden Soekarno. Kemudian masa Orde Baru lahir UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, dan di era Reformasi diperbarui dengan UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.
Sejak diundangkannya UU Nomor 33 Tahun 2009, masalah perfilman telah beberapa kali ditangani oleh Pejabat setingkat Eselon II (Direktur) dan Eselon III (Kasubdit) yang silih-berganti. Ketika ranah Kebudayaan dikembalikan ke lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada akhir tahun 2009, Perfilman ditangani Pejabat Setingkat Eselon III dengan nama Subdit Literasi Perfilman pada Direktorat Pembinaan Kesenian dan Literasi Perfilman, Ditjen Kebudayaan.
Kemudian tahun 2014-2019 masalah perfilman ditangani Pejabat Setingkat Eselon II pada Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbang Film) dibawah Sekretariat Jenderal Kemdikbud. Kini sejak tahun 2020 Perfilman dikembalikan lagi penanganannya oleh Pejabat Fungsional (baca: Eselon III) dibawah Direktorat Perfilman, Musik dan Media Baru, Ditjen Kebudayaan, Kemdikbud Ristek RI.
Ide penanganan masalah perfilman ditangani pejabat setingkat Dirjen (Eselon I) sesungguhnya sangat sederhana yakni salah satu prinsip keuangan negara “Money follows the structure”. Jika film mau mendapatkan anggaran yang lebih besar maka pejabat yang menanganinya harus setingkat Eselon I.
Selain itu, masih banyak potensi bidang perfilman yang belum dikembangkan, mulai dari masalah produksi, tata-edar film nasional, perpajakan (Fiskal) film Indonesia maupun film impor, teknologi perfilman, dll sehingga membutuhkan banyak SDM yang mumpuni dan punya waktu serta perhatian yang cukup agar mampu mengembangkan perfilman nasional secara lebih cepat, berkualitas, kompetitif serta memberi manfaat lebih dari sisi budaya maupun industri.
Bila ada pejabat setingkat Eselon I (Dirjen) yang menangani Perfilman, maka akan ada beberapa Direktur yang mempunyai kompetensi tinggi dan konsentrasi penuh untuk menangani dan memecahkan berbagai masalah yang inherent di perfilman nasional tsb, sehingga film nasional tidak hanya bermanfaat secara ekonomi (business), tetapi juga bermanfaat secara budaya.
Menurut Rudy S. Sanyoto, ada beberapa masalah perfilman yang belum terpecahkan dan perlu segera dituntaskan, namun hal itu tidak mungkin jika hanya ditangani pejabat setingkat Eselon II, apalagi kini setingkat fungsional (baca: Eselon III) di bawah Direktur.
“Faktanya, sekarang ini kita mengalami rendahnya teknologi perfilman dan langkanya SDM perfilman yang mumpuni di Tanah Air serta kurang maksimalnya pendapatan negara dari sisi perpajakan (fiscal) film impor. Yang terjadi lambannya pengembangan produksi film, jumlah film nasional kurang dari separuh film impor yang dipertunjukkan pada bioskop-bioskop di seluruh Indonesia, padahal UU perfilman mengatur 60% untuk film Indonesia dan 40% untuk film Asing/Impor. Hal ini mengakibatkan dominasi film Impor atas film nasional di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia. Ini sekaligus menunjukkan bahwa film Indonesia belum menjadi Tuan di Negeri sendiri,” ujar Rudy.
Hal lain yang perlu dilakukan menurut Rudy adalah pengembangan lokasi shooting untuk film nasional dan film asing. Kemudian, penataan distribusi dan ekshibisi film yang cenderung masih kurang merata, sehingga pasar film Indonesia semakin sempit, antara lain karena kurang meratanya bioskop di Indoneia.
Dalam UU Perfilman tahun 2009, eksistensi Perfilman bagi kehidupan masyarakat di Indonesia setidaknya memiliki tiga misi, yakni sebagai karya seni budaya, media komunikasi massa, serta alat penetrasi kebudayaan.
Di sisi lain, perfilman memiliki fungsi ekonomi sebagai pendorong karya kreatif. Oleh karena itu, industri dan ekosistem Perfilman di Indonesia dalam perspektif kekinian sangat erat kaitannya dengan eksistensi dan pengembangan ekonomi kreatif.
Untuk mewujudkan misi dan fungsi yang diemban perfilman, menurut Djonny Syafrudin, kita membutuhkan infrastruktur yang terintegrasi dengan baik sehingga industri dan ekosistem perfilman di Tanah Air akan tumbuh sesuai harapan.
Para tokoh berharap Presiden Jokowi memberikan perhatian khusus untuk dunia perfilman di Tanah Air. “Kasih saja orang film dana satu triliun, kemudian bebaskan lahan seratus hektar untuk dibangun studio alam, yang di dalamnya mencakup pariwisata, eksibisi, kantor sensor film, penginapan dan fasilitas pendukung lainnya,” harap Djonny.
Faktanya, dunia perfilman Indonesia tidak memiliki infrastruktur yang jelas, seperti Bollywood atau Hollywood. “Semua kegiatan film terintegrasi di sana. Nanti akan datang orang berwisata,” ujarnya.
Menanggapi harapan Djonny agar pemerintah menyediakan infrastruktur minimal sekelas Bollywood, Slamet Rahadjo sependapat, namun menurutnya, Bollywood dan Hollywood itu memiliki konsep yang kuat. “Apakah para insan film sudah solid dan memiliki konsep untuk kemajuan perfilman tanah air?” tanya Slamet Rahardjo.
Dalam kesempatan yang sama, Wina Armada juga menyoroti tentang kehadiran infastruktur untuk menunjang peningkatan industri film Tanah Air secara kuatintas maupun kualitas. Menurutnya, bicara tentang infrastruktur itu erat kaitannya dengan bisnis film.
“Kalau infrastruktur kan kaitannya dengan bisnis filmnya, makin bagus infrastrukturnya, usaha mereka akan semakin bagus. Tapi infrastruktur itu menunjang siapa?” papar wartawan senior yang juga kritikus film ini.
Yang terpenting menurut Wina, sekarang ini pemerintah harus melakukan beberapa hal, pertama jumlah layar bioskop harus ditambah. Selama jumlah layarnya seperti sekarang, maka jumlah penonton film Indonesia tidak akan meningkat secara signifikan.
“Kita sudah memiliki UU Kebudayaan. Harusnya pemerintah ikuti saja UU kebudayaan dan menerapkannya dalam pengembangan dunia film di Tanah Air. Jangan sampai film itu seperti ayam kampung. Dia disuruh cari makan sendiri, tapi telurnya diambil,” ujar Wina.[]