JAKARTA, WB – Semasa di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie (ARB) selaku ketua umum, elektabilitas Partai Golkar malah semakin merosot. Meski sukses menempati posisi kedua dengan meraih suara sebesar 14,5 persen pada Pileg, 9 April kemarin, namun hingga kini, Golkar masih tetap `menjomblo` karena tak satupun partai peserta yang ingin mengarah untuk berkoalisi dengan Golkar.
Padahal, waktu penetapan penyampaian pasangan di KPU akan segera berakhir, yakni paling lambat pada tanggal 20 Mei nanti. Sedangkan, Golkar baru akan melaksanakan Rapimnas pada 18 Mei. Ini merupakan waktu yang mepet bagi Golkar.
Sebagai partai yang berpengalaman, Golkar pun disarankan untuk segera mengambil sikap terkait kemana arah yang akan diambil sehubungan dengan pilpres 9 Juli mendatang.
Nasib Ical pun juga akan ditentukan di Rapimnas nanti, apakah tetap maju sebagai capres, atau hanya mengusung dan mengirim cawapres, di mana ada sekita 7 orang nama yang disebut-sebut layak untuk mendampingi capres, baik Joko Widodo (Jokowi) atau Prabowo Subianto.
“Dengan alasan suara 14 persen, jika Golkar solid maka dapat memberikan dukungan yang luar biasa besar kepada capres yang mengusungnya,” kata Ketua Forum Indonesia Maju (Forima), Dicky Andika saat diskusi bertema “Kemana Partai Golkar Akan Berlabuh?” di Jakarta, Jumat (16/5/2014).
Selain itu, Dicky juga menyarankan agar Ical sebaiknya menjadi “King Maker” seperti yang dilakukan oleh Megawati Soekarnoputri, di mana ketua umum PDIP ini tak mengajukan diri sebagai capres dari partai berlambang kepala banteng itu. “Jika ini dilakukan, maka Ical akan dipandang sebagai negarawan sejati,” ujarnya.
Merosotnya elektabilitas Golkar membuat internal Golkar mulai berfikir ulang untuk tetap mencapreskan Ical. Golkar pun sepertinya akan mengambil sikap dan solusi di Rapimnas nanti dengan hanya mengusung cawapres saja.
Tokoh senior partai Golkar, Zaenal Bintang sedikit menyinggung sikap Ical. Baginya, Ical sudah membuat Golkar turun kasta. Untuk diketahui, Golkar yang meraih posisi kedua seharusnya mendapat dukungan dari partai lain untuk meminta koalisi kepada Golkar. Namun kini Golkar seolah tak laku dengan balik meminta kepada partai lain untuk mau bergabung. Bahkan Ical rela menjadi cawapres bagi Prabowo.
“Menang kedua menunggu supaya mau dilamar. Tapi malah lari semua, padahal sudah naik kuda (Ical berkunjung ke rumah Prabowo). Sekarang malah mutar balik mencari jodoh untuk mencari capres, turun pangkat jadi cawapres. Sudah gitu sombong naik helikopter minta di lamar,” tutur Zainal.
“Sekarang ikut blusukan ke Pasar Gemblong. Langkah ARB blusukan bagi kami adalah merendahkan hak dan martabat Golkar. Dan Terakhir ke rumah Megawati, tapi yang menemuinya adalah Puan Maharani, bukan ketumnya,” imbuh Zainal.
Zainal pun berpendapat Golkar harus mengusung cawapres muda yang layak mendampingi dua capres peserta pemilu. Dengan segudang pengalaman di bidang kepemerintahan maupun organisasi, di yakini Golkar akan tetap bertahan di roda kepemerintahan.
“Kita cari duet yang kita yakini dan pasti menang. Makanya kita cari orang yang pantas untuk duduk sebagai cawapres. Karena kondisi masa lalu (Pemilu 2009), kita selalu kalah di capres. Kini pasa politik membutuhkan tokoh muda untuk bisa melakukan perubahan,” ucapnya.
Senada dengan Zainal, pengamat komunikasi politik, Emrus Sihombing mengatakan jika Golkar harus berlabuh bersama PDIP karena baginya, sangat tidak mungkin Golkar membuat poros baru dengan waktu yang singkat. Namun jika tetap memaksakan Ical maju dengan elektabilitas yang menurun bisa membuat Golkar kembali gagal lagi di Pilpres 9 Juli nanti.
“Golkar harus berfikir rasional. Buktinya, kala ARB berkunjung kemana-mana, tapi tidak juga kunjung berlabuh. Manajemen partai di bawah kepemimpinan ARB belum profesional, padahal Golkar itu partai kuat, dan hebat,” kata Emrus.
Mau tak mau, lanjut Emrus, Golkar harus mencari tokoh yang tepat dijadikan cawapres. Tokoh muda bagi Emrus adalah satu-satunya solusi yang bisa dilakukan oleh Golkar.
“Saya bicara kader muda Golkar untuk berlabuh sebagai cawapres bersama PDIP karena tokoh muda itu bisa melakukan pergerakan perubahan. Kalau tokoh tua (JK) ditakutkan bisa berpengaruh terhadap aspek psikologis dari Jokowi yang lebih muda daripada cawapresnya.”
Tokoh muda yang dimaksud Emrus adalah wakil ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso. “Orang yang tepat adalah adalah Priyo. Dia punya kelebihan dalam komunikasi lintas partai, budaya, maupun agama,” tutupnya.[]