JAKARTA, WB – Ketua Komisi VIII Saleh Partaonan Daulay menyatakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak nikah beda agama mesti dihormati oleh semua pihak.
Menurutnya keputusan itu dinilai telah melalui proses pemeriksaan materi perkara secara mendalam. Selain apakah nikah beda agama bertentangan dengan konstitusi atau tidak, para hakim tentu telah mendengar pendapat para ahli dan juga saksi-saksi yang dinilai terkait secara langsung dengan persoalan tersebut.
“Saya sependapat dengan argumen hakim yang menyebutkan bahwa pernikahan tidak saja menyangkut persoalan administratif kenegaraan, tetapi juga berkaitan dengan persoalan spiritual dan sosial. Bahkan, menurut saya, persoalan spiritual sangat dominan dalam pernikahan. Itulah sebabnya, banyak agama yang menyebut bahwa pernikahan adalah peristiwa sakral. Karena itu, peristiwa tersebut harus dilakukan sesuai dengan tuntunan dan pedoman agama-agama yang dianut oleh warga negara,” terang Saleh dalam keterangannya yang diterima Wartabuana.com, Jakarta, Senin (22/6/2015).
Dikatakan olehnya, hampir semua agama menolak pernikahan beda agama. Jadi, lanjut dia Kalau dipaksakan membolehkan nikah beda agama, dikhawatirkan justru akan mengganggu keyakinan umat beragama. “Membela HAM, tidak boleh mengganggu HAM orang lain,” imbuh dia.
Dalam pandangannya soal nikah beda agama, menurut pria yang aktif di PAN itu, nikah beda agama selama ini tidak diperbolehkan. Tidak ada persoalan sosial yang kelihatan menonjol. Bahkan, isu legalisasi nikah beda agama justru menimbulkan kontroversi dan perdebatan. Karena itu, posisi MK dalam menolak nikah beda agama sudah tepat dan sesuai dengan keinginan mayoritas masyarakat.
“Saya kira dalam memutus perkara, MK selalu melihat berbagai hal secara holistik. Termasuk pandangan dan masukan dari masyarakat. Karena setelah diputus, putusannya final dan mengikat. Ini konsekuensi yuridis membawa perkara ini ke MK,” tutur dia.
Diberitakan sebelumnya MK menolak permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai syarat sahnya perkawinan terkait kawin beda agama. Mahkamah menganggap Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum, Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat, Jakarta.
Hadir juga dalam sidang ini anggota hakim diantaranya Anwar Usman, Aswanto, Patrialis Akbar, Maria farida, I Gede Paguna, Manahan Sitompul, dan Suhartoyo.
Sementara permohonan uji materi ini diajukan, Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, dan Varita Megawati Simarmata. Dalam permohonannya, pemohon merasa hak-hak konstitusional mereka berpotensi dirugikan dengan berlakunya syarat keabsahan perkawinan menurut hukum agama.
Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum. Karena, pasangan kawin beda agama kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Untuk itu, para pemohon meminta MK membuat tafsir yang mengarah pada pengakuan negara terhadap kawin beda agama.
Dalam sidang putusan putusan bernomor 68/PUU-XII/2014 ini, Arief mengatakan Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan dicatat sesuai aturan perundangan bukan suatu pelanggaran konstitusi. []