WARTABUANA – Dina Hidayana, kader muda SOKSI yang juga politisi Partai Golkar berhasil meraih prestasi tertinggi dalam dunia akademik melalui pengukuhan gelar Doktor Pertahanan bidang Pangan dari Universitas Pertahanan RI di Sentul, Bogor dengan predikat Cumlaude.
Penelitian Disertasi yang berjudul “Optimasi Kebijakan Sektor Pangan dalam Memperkokoh Pertahanan Negara” yang dilakukannya menghasilkan banyak temuan yang sangat bermanfaat dan fundamental.
Dalam kesempatan wawancara setelah pengukuhan gelar Doktor (17/1), Dina menyampaikan bahwa urusan pangan adalah fundamental bangsa yang harus diletakkan sebagai kebijakan prioritas pertama dan utama serta tak dapat disubtitusi lainnya (elementary and first permanently policy).
Sebagai negara agraris yang pernah berjaya sebagai produsen pangan di masa laku maka modalitas Indonesia sangat kuat untuk menjadi pemain penting di kawasan hingga internasional, urai Dina yang selalu meraih predikat cumlaude di seluruh tingkatan pendidikan formalnya.
Salah satu Ketua Depinas SOKSI ini memperlihatkan secara lugas dari hasil disertasinya bahwa pangan bukan sekedar pemenuhan biologis namun juga senjata perang yang bernilai ganda bahkan multi fungsi.
“Sektor pangan, selain merupakan sektor strategis dalam pemenuhan kebutuhan pokok manusia yang menguasai hajat hidup orang banyak, penentu kemenangan dan kekalahan perang, alat sandera, juga bernilai ekonomis sebagai bahan baku energi terbarukan hayati yang bernilai ekonomis dan pertahanan,” urai Dina.
Menurut Dina, masa orde baru, Indonesia pernah memiliki kebanggaan sebagai bangsa yang disegani karena kedigdayaan di sektor pangan, khususnya beras. Disamping sandang dan papan, Indonesia pada masa orde baru 1980an sempat meraih penghargaan sebagai negara swasembada hingga dikenal sebagai eksportir dan bahkan menjadi penyumbang pangan bagi negara-negara miskin yang membutuhkan.
FAO (Badan Pangan Dunia) memberi penghargaan dan pengakuan kepada Presiden Soeharto yang dianggap berhasil merubah negaranya yang semula pengimpor beras terbesar menjadi negara swasembada yang mampu mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri sekaligus eksportir berpengaruh.
Penguatan pertanian dilakukan dari hulu ke hilir, didukung dengan sistem teknologi pertanian yang berimplikasi pada peningkatan signifikan produksi pangan (beras) dan berlimpah. Sistem pengairan pun ditata sedemikian rupa sehingga sumber irigasi berasal dari bendungan-bendungan raksasa yang disiapkan oleh pemerintah masa itu dan terintegrasi dengan baik pada areal lahan, termasuk penataan jalan-jalan yang menjadi alur distribusi ke pasar diintegrasikan secara sistematis dan baik.
Ironisnya, reformasi telah meluluhlantakkan sektor pangan dan pertanian dengan merubah kebanggaan sebagai eksportir menjadi salah satu importir pangan terbesar di dunia. Involusi pangan terus terjadi, produksi terus menunjukkan trend penurunan. Anak-anak muda tidak lagi mau terjun di sektor ini karena distigmakan negatif dan dianggap tidak menjanjikan harapan hidup sejahtera dan bergengsi.
“Importasi masih diperlakukan sebagai cara efektif mengatasi ketersediaan pangan masyarakat, namun ini sangat berbahaya dalam jangka menengah dan panjang karena Indonesia secara sadar dan tidak sadar telah menggadaikan kedaulatannya para negara lain,” ujar Dina.
Politisi muda Partai Golkar ini juga melihat itikad baik pemerintahan pasca reformasi melalui upaya memperbaiki sektor pangan namun sampai saat ini belum berkorelasi dengan tingkat kemajuan sektor pangan dalam, misalnya peningkatan produktivitas yang mampu memenuhi jumlah kuantitas, bermutu dan kontinyu dan kebanggaan menjadi Petani.
Pemerintahan SBY melalui UU Pangan tahun 2012 yang dilahirkannya telah mencantumkan konsep kedaulatan pangan sebagai visi tertinggi kebijakan pangan. Demikian pula, pemerintahan Jokowi yang selalu menekankan pentingnya mengurangi impor beras, termasuk membangun sawah baru dan irigasi hingga food estate, namun indeks ketahanan pangan Indonesia bahkan merosot dari semula peringkat 63 menjadi 69 di tahun 2022, bahkan kalah dibandingkan negara-negara di kawasan ASEAN yang banyak memiliki keterbatasan sumber daya.
Karenanya, menurut Dina, diperlukan patriot-patriot pangan yang melihat isu pangan sebagai strategis dan fundamental bagi kedaulatan dan kewibawaan sebuah negara. Kepemimpinan menjadi kunci, yang mampu mensinergikan kekuatan astha helix dalam pencapaian visi misi.
“Pemimpin yang mampu mengkolaborasikan kemampuan SDM dan kemajuan IPTEK serta kekuatan sumber daya nasional yang dimiliki. Pemimpin yang melandaskan diri pada konstitusi untuk mengakselerasi kemajuan bangsa, dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang cerdas, visioner dan kharismatik dengan menempatkan sektor pangan sebagai fundamental negara,” pungkas Dina.[]