WARTABUANA – Membaca trend yang terjadi di dunia, lima puluh tahun mendatang, sekitar tahun 2065, mayoritas publik di Indonesia akan pro-LGBT (Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender).
“Kita akan menyaksikan opini publik bangsa Indonesia yang sama sekali berbeda,” demikian dinyatakan Denny JA, pakar survei opini publik, yang juga pengagas Indonesia Tanpa Diskriminasi. Denny membuat prediksi, berdasarkan data dan trend dunia.
Menurut Denny, para penganut persamaan hak kaum LGBT, yang kini mungkin dikucilkan, lima puluh tahun mendatang justru akan harum namanya. Aneka penemuan terbaru dalam neuro-science, psikiater, psikologi, gerakan hak asasi manusia, dan reformasi dalam ajaran agama adalah kekuatan besar sejarah yang sulit dibendung oleh siapapun.
“Mayoritas generasi Indonesia sekarang tentu sebagian besar akan tetap bertahan dengan sikapnya yang anti LGBT. Namun generasi baru Indonesia akan hidup dalam zaman dan mindset yang sama sekali berbeda,” ungkapnya.
Untuk memperkuat argumentasinya, Denny menggunakan data sejarah, sebagai contoh kasus. Di tahun 1977, Gallup Poll merekam opini masyarakat Amerika Serikat. Pertanyaannya: Menurut anda hubungan homoseksual antara orang dewasa atas pilihannya sendiri apakah harus atau tak harus dilegalkan. Yang menyatakan harus dilegalkan sangat minoritas, di bawah 50 persen.
Di tahun 2015, pertanyaan yang sama diajukan kepada masyarakat yang sama. Perubahan signifikan terjadi. Kini mayoritas sekitar 68 persen menyatakan hubungan homoseks antara orang dewasa atas pilihannya sendiri harus dilegalkan.
Tahun 1953, Presiden Amerika Serikat Dwight Eisenhower membuat Executive Order yang sangat negative kepada kaum Homoseks. Presiden AS melarang homoseks bekerja di semua level pemerintahan federal.
Bahkan melarang pemerintah juga untuk berhubungan dengan kontraktor swasta yang terindikasi homoseks. Saat itu homoseks disamakan dengan pecandu alkohol kelas berat dan mereka yang mengalami gangguan jiwa.
Namun di tahun 2012, presiden dari negara yang sama, Barack Obama, mengumumkan secara resmi, ia menjadi presiden pertama dalam sejarah dunia yang mendukung pernikahan sejenis. Komitmen Obama segera ditindak lanjuti oleh Mahkamah Agung di sana pada tahun 2015 yang melegalkan pernikahan sejenis bagi semua wilayah Amerika Serikat. Ternyata dalam waktu 60 tahun, opini publik bisa sangat berubah dan berbeda
Tiga Penyebab Utama
Denny menyatakan tiga penyebab utama perubahan opini publik soal LGBT. Kasus ini memang terjadi di Amerika. Namun ia juga potensial terjadi di belahan dunia lain, termasuk Indonesia.
Pertama, penemuan terbaru di dunia neuro-science, psikologi dan psiaktri. Evolusi ilmu pengetahuan di tiga bidang itu semakin menyimpulkan bahwa LGBT hanyalah varian genetis dan kromosum yang normal saja. Varian itu bukan penyakit, bukan gangguan, bukan mental disorder.
Dalam dunia hewan, ditemukan sedikitnya 500 species yang berprilaku homoseks. Dalam species homo sapiens, varian gens homoseks secara random dan acak bisa terjadi.
Semakin banyak pula riset yang membuktikan bahwa keinginan menyembuhkan LGBT justru menyebabkan pelaku LGBT mengalami gangguan psikologis dan lainnya yang lebih buruk lagi. Secara ilmu pengetahuan, LGBT bukan saja normal dan sehat. Ia bahkan direkomendasikan jangan diterapi untuk “disembuhkan.”
Yang membuat pernyataan ini perkasa karena aneka ilmuwan dan asosiasi kredibel yang mendukungnya. Tak hanya ilmuwan dan akademisi individual yang menyatakannya, tapi asosiasi dan institusi internasional. Di antaranya Asosiasi Psikologi Amerika, Asosiasi Psikiater Amerika dan World Health Organization PBB.
Penemuan ilmiah ini di era internet mudah sekali menyebar ke publik luas. Mereka di Amerika dan di Eropa tersadarkan bahwa konsep “tak bermoral” untuk LGBT tak bisa lagi diterapkan. Mereka tak memilih menjadi LGBT. Mereka terlahir sebagai LGBT.
Sebaliknya, justru ini menjadi tindakan imoral jika publik mendiskriminasikan pelaku LGBT. Moral hanya diterapkan untuk kasus dimana manusia bisa memilih. Sedangkan menjadi LGBT menurut riset terbaru bukan pilihan, tapi bawaan lahir.
Dengan sendirinya, opini publik di dunia barat berubah total. Mereka masyarakat yang kritis namun juga open minded. Walau awalnya mereka anti LGBT, penemuan ilmiah terbaru membuat mereka menerima LGBT.
Kedua, perjuangan Hak Asasi Manusia yang gencar dikampanyekan, seperti di tahun 2011, yang diperkuat lagi di tahun 2014, melalu resolusi PBB, peradaban dunia sekali lagi berubah. Mulai ditetapkan melalui voting, PBB selaku satu satunya badan internasional yang menaungi semua negara dunia, menerima hak LGBT sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Setiap individu berhak untuk menjadi pelaku LGBT sebagaimana berhak untuk memilih agama, berhak untuk berorganisasi, dan berhak untuk berbicara.
Dengan dukungan lembaga dunia PBB, aneka pelaku dan aktivis LGBT, yang selama ini bersembunyi di bawah permukaan, memiliki momentum untuk memperjuangkan hak asasi mereka.
Bagi pelaku dan aktivis LGBT, memperjuangkan hak asasinya, sama romantisnya, sama menggetarkannya sebagaimana kulit hitam memperjuangkan persamaan haknya, kaum wanita memperjuangkan emansipasinya, dan penganut agama memperjuangkan toleransi atas keyakinannya.
Ketiga adanya revisi dan reformasi agama yang merubah pandangan terhadap kauim LGBT. Untuk kasus LGBT, perlawanan dan penolakan terberat memang datang dari tokoh, penganut dan publik yang mendasarkan sikapnya pada agama. Hampir semua agama, sesuai dengan pemahaman saat itu, bukan hanya menentang LGBT,
Masih banyak negara yang berlandaskan agama yang menghukum mati pelaku LGBT. Sampai tahun 2014, masih ada 79 negara yang menyatakan homoseks itu ilegal. Lebih jauh lagi ada 10 negara yang menerapkan hukum mati. Diantaranya adalah negara yang bersandar pada ajaran Islam: Iran, Irak, Qatar dan Saudi Arabia.
Namun revisi dan reformasi agama yang pro LGBT juga terjadi. Tak hanya di agama Buddha dan Hindu, di agama Kristen bahkan Islam, semakin banyak muncul komunitas agama pro LGBT.
Berdiri Gereja dan Mesjid yang bahkan menyelenggarakan ritual untuk nikah sesama jenis. Aneka buku, tulisan dan makalah diterbitkan yang menafsir ulang agama, sehingga pro LGBT.
Untuk kalangan Islam, Gerakan Muslim Progresive Values sangat fenomenal. Gerakan berbasis Islam yang berpusat di Amerika ini sudah meluas ke banyak negara. Mereka memiliki mesjid, ulama, scholar yang bisa berdebat mempertahankan argumennya bahwa Islam bagi mereka adalah pro LGBT.
Kisah Nabi Luth dalam kitab suci yang selama ini dijadikan basis hukum untuk menghukum homoseks, mereka tafsir ulang dengan semua peralatan akademik dan metode yang meyakinkan. Hasilnya, kisah yang sama bisa memberi pengertian yang tidak anti LGBT.
Revisi dan reformasi agama ikut menyebabkan perubahan opini publik luas. Mulai muncul kesadaran bahwa individu bisa tetap menjadi pelaku LGBT dan sekaligus menjadi penganut agama yang saleh.
Jadi Target
Menurut Denny, perubahan mindset sebuah bangsa atas isu besar memang memerlukan waktu yang panjang. Ratusan tahun dibutuhkan oleh banyak negara untuk bisa menerima persamaan hak bagi kulit hitam (perbudakan), persamaan hak bagi wanita, dan persamaan hak bagi aneka agama yang berbeda.
Karena zaman semakin terkoneksi secara global, mungkin dibutuhkan waktu tak selama itu untuk mayoritas bangsa di dunia menerima persamaan hak bagi kaum LGBT.
Sampai tahun 2014, ada 14 negara yang melegalkan pernikahan sejenis. Tak semuanya hanya berasal dari negara Eropa atau Amerika Serikat. Termasuk yang melegalkan pernikahan sejenis adalah negara Afrika Selatan, Brazil, Argentina, Uruguai.
Ujar Denny, Indonesia tahun 2016 sama dengan Brazil atau Argentina di tahun 1980an, atau Amerika dan Inggris di tahun 1960an. Semuanya saat itu, sama sama memiliki mayoritas publik yang anti LGBT.
Di kalangan negara yang mayoritasnya Muslim, Indonesia paling mungkin menjadi negara pertama yang mayoritasnya pro LGBT. Dibanding negara mayoritas Muslim lain, Indonesia lebih mempunyai tradisi menerima keberagaman.
Tentu saja hal ini tak akan terjadi dalam 10 tahun ini. Perlu waktu yang lebih panjang bagi opini publik Indonesia untuk merenung dan berubah.
Di tahun 2016, mereka yang membela dan pro LGBT di Indonesia masih minoritas. Namun sebagaimana di Amerika, Eropa, Afrika Selatan dan Negara Amerika Latin, yang minoritas bisa berubah mayoritas.
Arus sejarah yang berlandaskan penemuan ilmiah, perjuangan hak asasI, dan revisi ajaran agama, terlalu kuat untuk ditahan siapapun.
“Lima puluh tahun dari sekarang, bahkan kurang, kita akan melihat Indonesia yang berbeda, yang mayoritasnya menerima prinsip hak asasi yang dirumuskan PBB, termasuk hak bagi kaum LGBT,” demikian ujar Denny. []