WARTABUANA – BPJS Ketenagakerjaan didorong untuk terus meningkatkan kepesertaan dan pelayanan tidak hanya kepada tenaga kerja non aparatur sipil negara (Non ASN) tetapi juga kepada para pekerja formal dan informal.
Harapan itu muncul dalam diskusi bertajuk “Implementasi Inpres No. 2 Tahun 2021 dan Program BPJS Ketenagakerjaan dalam Pelayanan Kepesertaan yang Responsif, Cepat, Efektif dan Berkeadilan secara daring dan luring di Jakarta, Kamis (9/9/2021).
Acara tersebut dibuka oleh Ariza Patria (Wagub DKI Jakarta) dengan menampilkan pembicara utama Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Hery Susanto, dan sebagai nara sumber yakni Deputi Direktur Wilayah BPJS Ketenagakerjaan DKI Jakarta Eko Nugriyanto, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta Andri Yansyah, Anggota DPRD DKI Jakarta Syarif, Asisten KU VI ORI M Sobirin, aktivis buruh Jusuf Rizal dan pengamat kebijakan publik dan wartawan senior PWI Yusuf M Said.
Ariza Patria dalam sambutannya mengatakan Pemprov DKI menyambut baik Inpres No 2/2021 tersebut sebab sektor ketenagakerjaan DKI Jakarta menjadi magnet bagi warga Jakarta dan Provinsi lainnya untuk mencari pekerjaan.
“Data statistik ketenagakerjaan Propinsi DKI Jakarta 2019 jumlah angkatan kerja sebanyak 5.157.878 orang dan yang bekerja sebanyak 4.836.977 orang. Terbitnya Inpres ini dengan tujuan memastikan implementasi jaminan sosial ketenagakerjaan dengan optimal dalam rangka melindungi seluruh pekerja di Indonesia. Pemprov DKI sebagai salah satu unsur yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam program ini, siap melaksanakan Instruksi Presiden tersebut,” katanya.
Eko Nugriyanto (Depdir BPJS Ketenagakerjaan DKI Jakarta) mencontohkan di Jawa Barat, kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan sudah meluas tidak hanya untuk pekerja swasta dan Nonj ASN tetapi juga sudah menyasar kepada pekerja informal.
“Misalnya guru ngaji, pengurus gereja, marebot masjid mendapat subsidi dari APBD. Iuran mereka ditanggung pemerintah daerah,” kata Eko.
Eko pun berharap perluasan kepesertaan yang diamanatkan Inpres No 2 Tahun 2021 yang memberi kesempatan kepada pekerja formal dan informal untuk menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan dapat diterapkan di DKI Jakarta.
Dijelaskan Eko, setelah keluarnya Inpres No 2 Tahun 2021 performa BPJS Ketenagakerjaan sekarang dinilai tidak berdasarkan rugi dan laba.
“BPJS Ketenagakerjaan kini melindungi seluruh pekerja yang berkarya untuk bangsa ini. Iuran 100 persen menjadi manfaat untuk pekerjaan ketika ada risiko,” ujar Eko.
Tugas ini, sambung Eko, tentu sangat berat, karena itu secara moral butuh dukungan masyarakat yang harus mewujudkan jaminan sosial ketenagakerjaan.
“Karena ini ejawantah dari hak asasi manusia yang memilih untuk berkarya, memilih bekerja juga memilih untuk memiliki risiko,” katanya.
Syarief mengamini keinginan dan harapan BPJS Ketenagakerjaan DKI Jakarta untuk memperluas kepesertaan dari kalangan pekerja formal dan informal yang disebutkan sekira 1 juta orang yang disebutkan Eko senilai Rp 200 miliar.
“Bagi DKI Jakarta duit sebesar itu tidak sulit. Dana Bansos saja Rp 1,2 triliun,” selorohnya.
Untuk tahun 2022 memang, kata politikus Gerindra ini, tidak bisa dianggarkan. Ini karena APBD sudah diteken Mendagri.
Namun Syarief mengusulkan bila tetap ingin mendapatkan anggaran untuk tahun 2022, BPJS Ketenagakerjaan DKI Jakarta tinggal melobi Kemendagri untuk memasukkan anggaran kepesertaan tenaga kerja khususnya yang informal.
“Kalau dilobi kemungkinan bisa. Ini lobi tingkat tinggi. Nanti masuknya bisa ke dalam dana bansos atau diambil dari pos lain. Kalau bisa Rp 100 miliar dulu jangan sekaligus,” ujarnya.
Sementara Yusuf M Said memuji Jokowi yang mengeluarkan Inpres No 2 Tahun 2021. Jurnalis senior itu menyebut Jokowi sangat berempati kepada warganya khususnya kepada pekerja formal dan juga tenaga kerja informal.
Hery Susanto dalam pemaparan kuncinya menyatakan tekanan kepada BPJS Ketenagakerjaan memang sangat berat akibat pandemi COVID-19 ini.
“Tekanan akibat pandemi berdampak pada melemahnya roda perekonomian nasional. Dalam pandemi ini sungguh banyak tekanan karena banyak PHK dan karyawan yang dirumahkan. Satu-satunya bekal mereka adalah jaminan hari tua. (JHT). Banyak yang ingin narik JHT,” ujar Hery.
“Masa pandemi ini pekerja dan pemberi kerja susah membayar iuran. Ini ada dampaknya pada BPJS,” tambahnya.
Inpres No 2 Tahun 2021 juga dipuji Hery Susanto karena dengan kebijakan dan kewenangannya itu mengerahkan 26 kementerian dan lembaga untuk melakukan tugas dan fungsi untuk optimalisasi program jaminan sosial ketenagakerjaan. Bebannya dimasukkan ke APBN dan atau APBD.
“Melalui Inpres ini, BPJS Ketenagakerjaan yang awalnya itu didominasi modal dari pekerja dan pemberi kerja kini diguyur APBN dan atau APBD,” kata Hery.
Kini yang menjadi persoalan, sambung Hery, implementasi dari Inpres No. 2 Tahun 2021 yang masih terbilang lambat dilakukan BPJS Ketenagakerjaan sebagai leading sector-nya.
“Alasan pandemi dan terbatasnya anggaran tidak bisa terus menerus menjadi kendala yang sering disebut direksi BPJS. Justeru saat pandemi ini tanggungjawab mereka harus terdepan, itulah membenargunakan peran, fungsi dan tanggungjawab BPJS bagi bangsa dan negara. BPJS Ketenagakerjaan harus terus sosialisasi dan edukasi dengan melibatkan masyarakat seperti yang dilakukan Depdir BPJS Ketenagakerjaan DKI Jakarta,” katanya.
Hery juga mencatat, sejak pandemi data Kemnaker menyebut sebanyak 3,5 juta kena PHK dan 24,5 juta dirumahkan. Sementara data Kemenkeu menyebut sampai 5 juta orang. “Kadin lebih banyak lagi sampai 6,4juta, namun BPJS Ketenagakerjaan mencatat sejumlah 2,2 juta pekerja pesertanya yang klaim JHT nya sudah terbayar. Padahal masih sangat besar lagi pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan yang belum berhasil terakses klaimnya akibat literasi yang minim oleh BPJS terkait cara klaim JHT,” ujar Hery.
Keluhan utama dari para pekerja yang di-PHK, resign maupun dirumahkan adalah bagaimana cara mencairkan dana JHT mereka yang menjadi andalan menghadapi tekanan ekonomi saat pandemi ini.
“Masih ada jutaan peserta BPJS Ketenagakerjaan yang belum bisa mendapat pelayanan klaim JHT. Mereka tidak tahu cara mengklaim. Sebelum pandemi bisa ke kantor langsung tanpa pembatasan dan prokes, sekarang ada pembatasan massa dan pembatasan kuota pelayanan klaim secara online yang mempersempit peluang mencairkan klaim JHT mereka,” pungkas Hery Susanto. []