JAKARTA, WB – Anggota Komisi III DPR RI dari PDI-P, Ahmad Basarah menuding bahwa keluarnya surat MK No. 2777/HP.00.00/12/2014 tanggal 11/12 tentang keberatan terhadap keputusan Presiden Jokowi karena memilih Refly Harun dan Todung Mulya Lubis sebagai anggota Pansel calon hakim konstitusi adalah sikap yang berlebihan.
Kata Basarah, penetapan hakim konstitusi dari unsur presiden merupakan wewenang seorang presiden, yang tidak dapat digangu gugat oleh sipapun.
“Penetapan hakim konstitusi dari unsur Presiden merupakan wewenang Presiden yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun hal itu termasuk dari MK,” ujar Basarah lewat keterangan persnya yang diterima wartawan, Senin (15/12/2014)
Basarah mengatakan, Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 telah menjamin hal itu, yakni MK mempunyai 9 orang hakim konstitusi yang diajukan masing-masing 3 orang oleh MA, 3 orang oleh DPR, dan 3 orang oleh Presiden.
Untuk menjamin proses penetapan hakim konstitusi yang transparan dan partisipatif sesuai perintah Pasal 19 UU MK, maka Presiden membentuk Pansel untuk membantunya yakni Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menyebutkan wewenang MK.
“Dalam pasal-pasal tersebut tidak diatur wewenang untuk terlibat/ ikut campur dalam pembentukan Pansel maupun penetapan hakim konstitusi oleh Presiden, ” ujar Basarah.
Melalui surat tersebut, lanjut Basarah, MK secara nyata telah melanggar UUD 1945, padahal MK seharusnya menjadi penjaga UUD 1945 (the guardians of the constitution)
Basarah menuding kalau beredarnya Surat keberatan MK itu syarat dengan nuansa kepentingan politik. Pasalnya ketua MK (Hamdan Zoelva), pernah menyatakan menyatakan berminat untuk maju kembali untuk periode ke-2.
“Surat ini juga bentuk arogansi Ketua MK yang menganggap Presiden seakan tidak mampu memilih figur Pansel yang independen dan obyektif. Surat terkesan itu terkesan bahwa Hamdan Zoelva ingin Pansel diisi orang-orang yang mendukungnya,” tandas Basarah.[]