WARTABUANA – Pakar komunikasi sosial politik Anton Tabah Digdoyo tidak sepaham dengan pendapat segelintir orang yang menuding pernyataan calon presiden Prabowo Subianto soal ‘tampang Boyolali’ adalah penghinaan.
Menurutnya, ungkapan itu bukan penghinaan, melainkan sebagai bentuk komunikasi Prabowo kepada publik. “Sambutan publik spontan tertawa renyah, itu bukti publik suka dengan sebutan tersebut dan faham jika Prabowo Subianto sedang bergurau. Dan gurauan itu nyambung,” jelas Anton Tabah Digdoyo kepada RMOL, Minggu (4/11/2018).
Dalam berkomunikasi menurut Anton, seorang orator harus melibatkan audiens agar suasana hidup dan efektif. Karenanya, sangat wajar jika Prabowo bercanda dengan terminologi tampang Boyolali karena sedang melakukan komunikasi dengan masyarakat Boyolali. Apalagi, pembahasannya terkait ketimpangan ekonomi antara orang kaya di perkotaan dan penduduk miskin di pedesaan.
Pernyataan pimpinan Banser NU bahwa anggota Banser berkelahi tangan kosong dengan anggota TNI pasti menang jelas sebuah penghinaan. Sebab sama saja menganggap anggota TNI tidak bisa berkelahi.
“Bukan penghinaan terhadap warga Boyolali. Itu juga bukan mengatakan orang Boyolali tak pantas menjadi kaya. Tapi ketimpangan pembangunan efek dari kebijakan pro kapitalis sehingga rakyat tidak menikmati ekonomi yang dinilai rezim berhasil tersebut,” papar Anton.
Dia mencontohkan pernyataan pimpinan Banser NU bahwa anggota Banser berkelahi tangan kosong dengan anggota TNI pasti menang jelas sebuah penghinaan. Sebab sama saja menganggap anggota TNI tidak bisa berkelahi.
“Justru ini ada unsur merendahkan TNI yang tiap hari latihannya kelahi baik tanpa senjata maupun bersenjata. Makanya di TNI-Polri ada azas siap setiap saat menghadapi musuh secara proporsional dan profesional,” pungkas Anton yang juga mantan perwira Polri.
Berikut ini kutipan pidato Bapak Prabowo Subianto terkait Boyolali yang kini dipersoalkan itu.
Dan dirasakan sekarang, saudara-saudara yang merasakan sekarang, saya bertanya ke saudara-saudara, apakah saudara-saudara sudah merasakan adil? Sudah merasa makmur atau belum?
(Hadirin ramai berteriak ‘belum’).
Saudara-saudara saya hari ini didampingi, ditemani oleh ketua umum Partai Amanat Nasional, Pak Zulkifli Hasan, tapi beliau juga kebetulan adalah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (Ketua MPR RI), pemegang perwakilan rakyat yang tertinggi di Republik Indonesia.
Saya juga didampingi tokoh Jawa Tengah dan tokoh TNI yaitu mantan Gubernur Jawa Tengah, Letjen TNI (Purn) Haji Bibit Waluyo.
Saudara-saudara dari Jawa Tengah yang lebih tahu bagaimana seorang Bibit Waluyo itu, seorang gubernur yang bekerja keras untuk rakyat, untuk petani, untuk nelayan, untuk wong cilik di seluruh Jawa Tengah. Dengan semboyan ‘relo bali deso mbangun deso’ Bali deso mbangun deso berarti membangun bangsa dan negara.
Saudara-saudara, saya kenal Pak Bibit Waluyo sudah lama, sebenarnya beliau adalah senior saya. Beliau yang dulu mlonco-mlonco saya, yang mengembleng saya, termasuk beliau. Karena dulu saya taruna yang nakal, tapi kalau nggak nakal, mungkin saya nggak jadi jenderal.
Saya kenal beliau di daerah operasi, kami ini tentara. Dulu kita bukan tentara di belakang meja, kita bukan tentara di kota, kita tentara di lapangan. Kita naik dan turun gunung, kita membela negara ini, pertaruhkan jiwa kita untuk menjaga keamanan negara dan bangsa Indonesia.
Dari sejak muda kami pertaruhkan nyawa kami, untuk bangsa Indonesia, untuk merah putih yang kami cintai. Sekarang seharusnya kita pensiun, seharusnya kita istirahat tapi kami melihat bahwa negara dan bangsa kita masih dalam keadaan tidak baik.
Ekonomi kita tidak di tangan bangsa kita sendiri. Saya lahir di Jakarta, saya besar di Jakarta. Saya memberi usia saya untuk bangsa ini, saya memberi jiwa saya dan raga saya untuk bangsa ini.
Tapi begitu saya lihat keliling Jakarta, saya melihat gedung-gedung mewah. Gedung-gedung menjulang tinggi. Hotel-hotel mewah. Sebut saja hotel mana di dunia yang paling mahal, ada di Jakarta.
Ada Ritz Carlton, ada apa itu, Waldorf Astoria, namanya saja kalian nggak bisa sebut.
(Peserta acara tertawa)
Ada Saint Regis, dan macam-macam itu semua. Tapi saya yakin kalian tidak pernah masuk hotel-hotel tersebut. Betul?
(Hadirin ramai-ramai menjawab: betul)
Kalian kalau masuk, mungkin kalian diusir. Karena tampang kalian tidak tampang orang kaya, tampang-tampang kalian ya tampang Boyolali ini. Betul?
(Hadirin ramai-ramai menjawab: betul)
Saya sebagai prajurit, saya lihat kok negara saya bukan milik rakyat saya, untuk apa saya berjuang, apakah saya berjuang supaya negara kita jadi milik orang asing, saya tidak rela, saya tidak rela.
Karena itulah saya melihat rakyat saya masih banyak yang tidak mendapat keadilan, dan tidak dapat kemakmuran dan tidak dapat kesejahteraan, bukan itu cita-cita Bung Karno, bukan itu cita-citanya Bung Hatta. Bukan itu cita-citanya Pak Dirman, bukan itu cita-citanya Ahmad Yani, bukan itu cita-cita pejuang kita.
(Hadirin berteriak takbir).
Karena itu saudara-saudara, Pak Bibit, saya, lama tidak ketemu. Saya tidak minta beliau mendukung saya. Beliau yang menyatakan ‘saya mendukung Prabowo dan Sandi’. Saudara-saudara, tokoh-tokoh seperti Pak Zul, tokoh-tokoh PAN, tokoh-tokoh PKS, tokoh-tokoh Gerindra, relawan-relawan dari mana-mana bergabung bersama Prabowo-Sandi. Apakah mereka berharap uang? Tidak! Kami partai-partai yang tidak berkuasa. Kalau mendukung kami jangan mengira kami bisa membagi-bagi uang, membagi-bagi sembako, membagi apa-apa, tidak! []