WARTABUANA – Perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat (AS) berimbas pada eksistensi ponsel pintar, Huawei. Produk tersebut dianggap mengancam keamanan nasional AS lantaran dicurigai akan dimanfaatkan Cina untuk kepentingan spionase dan penyadapan intelijen.
Faktnya, keberhasilan Huawei Technologies Co dalam mengembangkan jaringan nirkabel generasi kelima yang dilengkapi spesifikasi kecepatan yang jauh melampaui 4G itu diprediksi akan menggeser Silicon Valley sebagai kiblat teknologi dan pusat inovasi dunia.
Saat ini Huawei menjelma menjadi korporasi besar peralatan telekomunikasi terbesar di dunia. Namun pada bulan Mei 2019, Departemen Perdagangan AS menempatkan perusahaan tersebut sebagai “Daftar Hitam Entitas” yang bisa menimbulkan risiko keamanan.
Pemerintah AS melarang Huawei membeli teknologi vital-nya tanpa persetujuan khusus. Pemerintah AS juga melarang perangkat canggih Cina tersebut ada dalam sistem jaringan telekomunikasi AS. Semua larangan tersebut dilakukan atas alasan keamanan nasional.
Dua larangan tersebut mengancam kemampuan Huawei untuk terus menjual produk ke pasar lain. Pasalnya, Huawei masih memiliki ketergantungan komponen pada pemasok AS. Situasi yang menegang akibat perang dagang menambah ketatnya pelarangan terhadap Huawei.
Sikap Amerika terlihat melunak pasca pertemuan KTT G-20 di Jepang (29/6/2019). Negosiasi antara Presiden AS, Donald Trump dan Presiden Cina, Xi Jinping melahirkan kesepakatan bahwa Amerika setuju membuka keran pasokan komponen ke Huawei dan mencabut larangan yang selama ini berlaku. Namun demikian kebijakan itu tidak sepenuhnya menghapus Huawei dalam daftar hitam AS.
Saat ini kabar tak sedap kembali melanda perusahaan milik konglomerat Cina, Ren Zhengfei tersebut. Huawei dikabarkan akan melakukan PHK terhadap lebih dari 600 pekerjanya di Amerika Serikat. Karyawan yang mengalami perampingan adalah karyawan di bagian riset Futurewei Technologies.
Pengamat militer yang juga Pembina LPKAN (Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara) Indonesia Wibisono mengatakan kebijakan pemerintahan Trump memasukkan Huawei ke dalam daftar hitam jelas akan berdampak pada ekspansi bisnis Huawei terutama di Amerika dan wilayah lain yang menganggap Huawei sebagai perangkat sensitif.
“Alasannya karena pembatasan operasi bisnis dan daftar hitam perdagangan membuat Futurewei ilegal untuk mentransfer teknologi sensitif ke induk perusahaannya. Daftar hitam juga membatasi Huawei atas pembelian produk dari perusahaan teknologi AS,” ucap Wibisono.
Tindakan Huawei merumahkan karyawannya menurut Wibisono merupakan imbas dari perang dagang AS-Cina yang sepenuhnya belum berakhir. Futurewei sendiri diketahui bermarkas di Silicon Valley dan wilayah Seattle, Chicago, dan Dallas.
“Perusahaan itu telah mengajukan lebih dari 2.100 paten di berbagai bidang seperti telekomunikasi dan jaringan seluler 5G, sejak Huawei masuk daftar hitam yang merupakan imbas dari perang dagang yang dikibarkan AS-China,” katanya.
Fakta lain, di sektor bisnis, Huawei juga kerap mengalami tekanan dari banyak perusahaan di AS karena dianggap tidak mampu bekerja sama dengan raksasa teknologi Cina itu. Google adalah salah satu di antara perusahaan-perusahaan yang menangguhkan bisnisnya dengan Huawei.
“Anak perusahaan Alphabet Inc. ini menghentikan akses Huawei ke teknologi Androidnya, kecuali yang tersedia sebagai teknologi open source,” ujar Wibisono.
Menjawab tentang pengaruh dan risiko Huawei terhadap keamanan nasional, ia menyebutkan hal tersebut memerlukan pengkajian yang dalam. Wibisono menerangkan Huawei berada dalam pusaran konflik perang dagang AS-Cina yang kental dengan kepentingan. Baik AS maupun Cina memiliki target untuk melebarkan segmen bisnisnya dan berlomba untuk menjadi kampiun teknologi terbaik.
“Kalau tinjauan dari sisi pertahanan dan keamanan negara, dampaknya sangat tidak baik untuk Indonesia, karena Huawei sekalipun terindikasi melakukan perang asimetris terhadap negara-negara Asia dan Asia tenggara termasuk Indonesia,” katanya.
Meski banyak negara yang masih mempertanyakan alasan keamanan dan risiko dari penggunaan perangkat Huawei, ia menyarankan agar Indonesia mengambil sikap waspada terhadap kemungkinan terburuk yang mungkin timbul. Tudingan Huawei melakukan tugas mata mata atau spionase dari Intelijen Cina bagi negara lain datang dari CIA (Amerika), Belanda dan Australia.
“Indonesia seharusnya waspada terhadap hal ini, karena Indonesia adalah negara yang tidak menolak keberadaan Huawei seiring dengan maraknya bisnis Fintech dari negara tirai bambu tersebut. Apalagi kalau dikaitkan dengan 23 proyek OBOR (One Belt One Road) yang sudah ditandatangani Indonesia pada April lalu, ini jelas akan berdampak luar biasa karena saat ini intelijen pertahanan negara belum maksimal,” tegasnya.[]