JAKARTA, WB – 16 Tahun sudah kasus HAM yang terjadi pada 12 Mei 1998 seperti hilang begitu saja. Negara, khususnya kepemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seakan membisu, dan berkas kasus tersebut pun seperti `dicueki` oleh Kejaksaan Agung.
Juru Bicara Forum Perguruan Tinggi Aktivis 98, Taufan Hunneman sangat menyayangkan tindakan negara. Apalagi menurutnya, kekuatan orde baru (orba) menjadi kekuatan real yang memanfaatkan demokrasi sebagai alat mencapai kekuasaan.
“Peringatan 1221 itu merupakan sebuah tonggak evaluasi, bahwa selama ini agenda-agenda reformasi digelorakan dan tidak pernah berjalan ideal, apalagi dipenuhi. Hari ini kekuatan orba menjadi kekuatan Real yg memanfaatkan demokrasi sebagai alat mencapai kekuasaan,” kata Taufan dalam konferensi pers di Warung Daun, Cikini, Senin (12/05/2014).
Dia berharap, di tahun pemilu ini, semua orang yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM untuk bertanggungjawab. Terlebih, salah satu capres dari partai Gerindra, Prabowo Subianto disinyalir terlibat di dalamnya, di mana kala itu, Prabowo menjabat sebagai Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus.
“Pelanggaran HAM harus segera dituntaskan. Yang terlibat, salah satunya adalah Prabowo dan dia harus bertanggungjawab. Tidak hanya diberhentikan tapi harus diklarifikasi di pengadilan,” tuturnya.
Dalam pengaturan untuk masalah mengadili di pengadilan HAM, tidak serta merta langsung dilakukan. Semua itu harus berdasarkan ratifikasi Statuta Roma. Namun baginya, berpatok pada Undang-Undang HAM, semua bisa digelar di pengadilan.
“UU tentang HAM kan sudah ada. Sudah ada konstitusinya. Kemudian juga sudah pernah ada pengadilan HAM soal Timor Timur, itu sebenarnya bisa menjadi trigger (yurisprudensi). Artinya sebenarnya tidak ada kesulitan untuk menggelar pengadilan HAM yang persis sama seperti Pengadilan HAM Timor Timur kala itu. Ini sebenarnya hanya persoalan kemauan saja, antara eksekutif, dengan legislatif untuk menuntaskan persitiwa ini,” jelasnya.
“Dorongan sudah sering ada. Tapi persoalannya berkasnya hanya menumpuk di Jaksa Agung. Nah ini yang harus ditanya, kalau memang ada stagnansi, presiden harusnya bisa mengambil alih, melakukan terobosan. Intinya negara harus menunjukan sikap bertanggung jawab dulu terhadap para korban dan keluarga korban, baik itu penghilangan paksa, maupun kerusuhan Mei. Miris ketika kita tahu ada aktivis yg diculik, dan sekarang istrinya mengalami kesulitan ekonomi,” sambungnya.
“Dari peristiwa penghilangan orang, kedua peristiwa Trisakti, dan yang ketiga jangan lupa ada kerusuhan Mei juga yang korbannya juga banyak di berbagai daerah. Ini harus diselesaikan. Makanya peristiwa ini harus dilihat dari kacamata hukum murni,” terang Taufan.
Menanggapi hal tersebut, terlebih di tahun politik saat ini, Taufan berharap kepada para capres untuk tidak terjebak dengan masa lalu. Lebih lanjut, para capres dan cawapres ini nanti harus lebih sigap dan tegas mengusut tuntas masalah HAM di Indonesia.
“Ditakutkan ada potensi dari sejumlah Capres dan Cawapres yang muncul ini adalah yang terjebak dengan masa lalu. Yang juga seharusnya diminta pertanggungjawabannya. Bukan hanya pemecatan dari kesatuan TNI. Tapi juga harus bisa dibuktikan di pengadilan. Ini yang kami minta dari Aktivis 98,” imbuhnya.
Dalam kasus itu juga, diketahui, Prabowo telah menemui para keluarga korban. Meski demikian, Taufan menilai, tindakan Prabowo tidak bisa dilakukan secara Islah saja, melainkan melalui jalur hukum yang berlaku.
“Itu kan bisa disebut semacam islah. Secara pribadi itu bisa dilakukan. Tapi kan hukum ini tidak bisa diselesaikan secara islah. Artinya pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku HAM tidak bisa semata-mata selesai karena islah. Mungkin saja itu nanti bisa meringankan sanksi pidana, tapi itu nanti di pengadilan,” ucapny.[]