JAKARTA, WB – Almarhum Prof. Drs. Lafran Pane dinilai layak diangkat menjadi pahlawan nasional. Selain kiprah keislaman-keindonesiaan sepanjang hidupnya, lelaki kelahiran Padang Sidempuan, 5 Februari 1922 ini mewariskan generasi muslim yang berfikiran modern dan berkiprah di berbagai ranah profesi melalui organisasi kemahasiswaan Islam, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikannya.
Demikian disampaikan Akbar Tanjung, Politikus dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia 1999-2004, saat membuka Seminar Nasional “Lafran Pane Peletak Dasar Islam Modern Indonesia” di Auditorium Harun Nasution, Senin (14/12). “Melihat berbagai kiprah, yang tidak hanya berkutat di wilayah keislaman, melainkan juga sisi keindonesiaan, maka almarhum Lafran layak menjadi salah satu pahlawan nasional,” ujar Akbar seperti yang disampaikan Pusat Penelitian Dan Penerbitan (PUSLITPEN) LP2M melalui press releasenya, Jakarta, Senin (14/12).
Aturan pengusulan menjadi pahlawan seperti aktif melakukan perjuangan kemerdekaan atau menghasilkan prestasi dan karya luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa, sebut Akbar, sudah cukup terpenuhi oleh sosok Lafran. Dalam pergerakan kemerdekaan, Lafran merupakan salah satu pemuda yang tergabung dalam kelompok Menteng Raya 31 bersama pemuda-pemuda seperti Adam Malik, BM Diah, dan Wikana.
“Saat para pemuda kelompok Menteng Raya 31 ini melakukan reuni di tahun 1970, Lafran diundang. Ini sebagai bukti bahwa ia merupakan bagian dari kelompok pemuda pergerakan kemerdekaan Indonesia,” sebutnya.
Kiprah lain Lafran yang cukup menonjol adalah pendirian HMI. HMI didirikan Lafran pada 5 Februari 1947 M saat masih kuliah di Sekolah Tinggi Islam (kini Universitas Islam Indonesia/UII). Selain Lafran, tercatat 14 mahasiswa STII/UII) seperti Kartono Zarkasy, Dahlan Husein, Siti Zainah, Maisaroh Hilal, Soewali, Yusdi Gozali, M. Anwar, Hasan Basri, Marwan, Tayeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi, Sulkarnaen, dan Mansyur menjadi pendiri.
Melalui HMI, sambung Akbar, Lafran mendorong aktifisme pemuda untuk mengisi kemerdekaan Indonesia yang berusia sangat muda. Saat didirikan pertama kali, mahasiswa dan pemuda Indonesia terlibat dalam pertarungan ideologis yang ketat sehingga dikuatirkan mendorong konflik dan perpecahan bangsa.
“Melalui organisasi ini, Lafran berusaha merealisasikan cita-citanya mempertinggi derajat rakyat Indonesia dan mendorong praktik ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat,” paparnya lagi.
Tidak berhenti di situ, Akbar menambahkan, dengan organisasi kemahasiswaan Islam ini, Lafran kemudian mencetak ribuan-jutaan kader mahasiswa Muslim yang mampu menginternalisasikan aspek keislaman dan keindonesiaan dalam kehidupan pribadi dan sosialnya hingg kini. “Para kader ini yang kemudian berkiprah, mengisi alam kemerdekaan, dalam berbagai profesi namun tetap mempertahankan karakter keislaman dan keindonesiaan yang kuat,” paparnya.
Selanjutnya, Lafran juga aktif berperan aktif di panggung dunia akademik. Sarjana Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini memutuskan terjun sebagai seorang pengajar di berbagai perguruan tinggi seperti IKIP Yogyakarta, UGM, Universitas Islam Indonesia (UII), dan IAIN/UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada tahun 1973, Lafran diangkat sebagai Guru Besar Ilmu Tata Negara IAIN Sunan Kalijaga.
Dalam kesempatan yang sama, Rektor Prof Dr Dede Rosyada MA mengungkapkan, Lafran merupakan salah satu figuryang patut diteladani oleh generasi muda. Komitmen menghabiskan seluruh hidupnya untuk memajukan Islam dan Indonesia merupakan suri tauladan bagi generasi muda untuk berkiprah di saat ini.
“Generasi muda membutuhkan figur teladan dalam mengokohkan integritasnya sebagai penentu masa depan Islam dan Indonesia. Dan, almarhum Lafran Pane adalah figur yang bisa mereka jadikan teladan,” paparnya.
Penghubung Nasionalisme-Islam
Pada sesi yang berbeda, Ketua Umum PBNU KH Dr. Said Aqil Siradj mengatakan, Lafran Pane merupakan figur yang memiliki concern dan cita-cita yang sama dengan Pendiri NU KH Hasyim Asyari dan dan Tokoh NU sekaligus Presiden RI KH Abdurahmanm Wahid (Gusdur). Ketiganya berupaya mewujudkan bangunan keislaman dan nasionalisme yang kuat melalui negara Indonesia.
“Mereka sepertinya faham bahwa Islam dan nasionalisme harus diperkuat, dibangunkan jembatan penghubung. Sebab jika keduanya berdiri saling mengisi, yang tercipta adalah pemuliaan manusia sekaligus penghindaran dari konflik dan perselisihan,” paparnya.
Ditambahkan Aqil, Lafran merupakan figur cendekiawan yang rendah hati, sederhana, namun konsisten atas pemikiran dan cita-citanya. “Seluruhnya merupakan akhlaqul ‘ulama. Ini yang perlu ditiru. Bahwa jika mahasiswa dan cendekiawan meninggalkan akhlaq ini, maka ia akan tergerus oleh zaman,” paparnya.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr Abdul Mu’ti menjelaskan, pendirian HMI merupakan ikhtiar Lafran untuk mengisi ruang kosong problematika umat muslim kala itu. “Dan, HMIdiharapkan mampu mempertahankan Indonesia, mempertinggi harkat dan martabat rakyatnya, dan sekaligus menegakkan ajaran Islam,” ujarnya.
Dipilihnya ranah kampus, jelas Mu’ti, karena Lafran sadar bahwa mahasiswa merupakan elit yang dapat diharapkan menjadi agen perubahan. “Sebagai seorang santri dan mahasiswa tentunya Lafran Pane sangat memahami konsep-konsep tersebut,” jelasnya lagi.
Sementara itu, Pengamat Politik Islam Dr. Fachry Ali mengatakan, terdapat tiga dimensi dalam sosok Lafran Pane. Pertama, Lafran merupakan anak hibrida Politik-Etis dan reformis Islam. Kedua, kesadaran Keindonesiaan dan Keislaman. Ketiga, perwujudan cita-cita keislaman dan keindonesiaan di dalam gerakan kaum muda.
Ketiga dimensi tersebut, jelasnya, berpengaruh penting menyiapkan ide Lafran untuk mendirikan HMI. “HMI menjadi wadah perjuangan revolusioner kaum muda dalam membela kemerdekaan sekaligus memberi tempat bagi kaum muda terpelajar Islam
mengembangkan diri di lingkup nasionalisme,” jelasnya. []