JAKARTA, WB – BUdayawan Denny JA, berargumen bahwa segera terbitnya 34 buku puisi esai di 34 provinsi seluruh Indonesia ditahun 2018 ini, akan menjadi tonggak lahirnya angkatan baru dalam puisi Indonesia.
Denny JA yang merupakan penggagas puisi esai tersebut segera menerbitkan 34 buku puisi esai di 34 provinsi seluruh Indonesia.
“Puisi esai itu sendiri ditulis oleh 170 penyair, penulis, aktivis, peneliti dan jurnalis dari Aceh hingga Papua,” terang Denny JA lewat siaran persnya Jumat (26/1/2018).
Budayawan yang juga seoarang analis politik ini memberikan catatan dimana sebanyak 170 puisi itu memunculkan lima ciri yang sama.
Pertama, semua 170 puisi ini menghadirkan fakta dan fiksi.!Ada satu peristiwa sosial yang nyata di dalamnya. Namun dalam puisi ini tetap kisah fiksi yang utama.
Kedua, semua 170 puisi ini panjang minimal 2000 kata. Umumnya puisi di zaman ini bisa ditulis cukup satu atau dua halaman. Tapi 170 puisi ini memakan hingga 10 halaman bahkan lebih.
Ketiga, semua 170 puisi memiliki minimal 10 catatan kaki. Seperti makalah ilmiah, hadir catatan kaki yang menunjukkan peristiwa sosial di dalam puisi adalah nyata. Ada sumber informasi yang bisa dilacak. Ada riset minimal dalam puisi ini.
Keempat, semua 170 puisi memiliki drama. Ada hubungan pribadi yang berkembang dalam puisi. Ini layaknya cerita pendek yang dipuisikan.
Kelima, ini tambahan, semua 170 puisi lahir di momen yang sama. Ia menjadi penanda sebuah masa. Ia menjadi karya sebuah generasi.
“Mengikuti kerangka yang dibuat oleh David Fishelov, syarat kelahiran sebuah genre dalam dunia sastra terpenuhi. Tentu kelima ciri puisi di atas bukan sama sekali baru. Masing masing ciri sudah pernah ada,” ujarnya.
Ia menambahkan, buku tersebut dimasa kini yang 100 persen baru. Namun kombinasi lima karya itu kata Denny dalam satu kesatuan, sehingga memberi corak baru.
“Lima ciri itu tak bisa dimasukkan lagi dalam kerangka genre sebelumnya,” tambahnya.
Meski kemunculan sejumlah karya tersebut diakui Denny menimbulkan pro-kontra, namun hal tersebut kata dia
menjadi magnet komunitas.
“Lahir pro dan kontra. Kritikus, komentator dan analis datang untuk memberikan review. Ada yang mendukung. Ada yang menolak,” katanya.
Sapardi Djoko Damono (2012) misalnya menulis “Ini sejenis karangan yang belum pernah saya dapati dalam kesusastraan Indonesia sebelumnya. Ia menyebutnya puisi esai.”
Sutarji Calzoum Bachry menulis: “bagi saya puisi esai adalah puisi pintar. Yang dengan berbagai data, fakta, argumentasi bisa memberikan kepintaran bagi pembaca untuk memahami… dst.
“Belasan pro dan kontra para pakar soal puisi esai sudah dibukukan dalam buku “Puisi Esai, Kemungkinan Baru Puisi Indonesia,” dengan editor Acep Zamzam Noor. Dalam buku ini terdapat tulisan Ignes Kleden, Leon Agusta, Maman S Mahayana, Jamal D Rahman, Agus Sarjono, dan sebagainya,” tutur Denny.
Ia melanjutkan, puisi esai sudah pula menjadi seminar internasional di Sabah Malaysia. Kritrikus dan sastrawan Asia Tenggara secara khusus membahas 22 buku puisi esai karya Denny JA.
“Itupun sudah dibukukan dalam “Temu Sastrawan Asia Tenggara: Isu Sosial Dalam Puisi,” ulasnya.
Tak kurang gegap gempita pro dan kontra di media, berita online bahkan social media. Dalam 10 tahun terakhir, bahkan mungkin 30 terakhir, tak ada gegap gempita dalam dunia sastra sebagaimana yang dialami oleh pro dan kontra puisi esai. Ini sendiri sebuah penanda bahwa puisi esai berhasil menjadi magnet zamannya.
Ketika ditanya bagaimana soal munculnya banyak petisi yang menolak kehadiran puisi esai di banyak komuniyas?
Denny menjawab semua genre di masa awalnya selalu terjadi penolakan.!Tak hanya di bidang sastra. Bahkan agama yang diyakini sebagai wahyu Tuhan tetap menghasilkan pro dan kontra yang sama.
“Soal puisi esai genre baru atau bukan, angkatan baru atau bukan, biarlah sejarah yang menilai. Jokowi punya prinsip: kerja, kerja, kerja. Prinsipnya seharusnya hanya peduli pada: karya, karya, karya,” tandas Denny.[]