JAKARTA, WB – Sebanyak 170 penyair yang terdiri dari penulis, peneliti juga jurnalis, dari 34 provinsi bersatu dan bangkit guna menghasilkan sebuah karya serial, yakni 34 buku.
Nantinya karya tersebut akan diberikan satu buku satu provinsi, dimana isi buku mengekpresikan lima kisah batin yang bersandar pada isu sosial provinsi tersebut.
“Semua penyair dan penulis dalam 34 buku itu menggunakan medium yang sama yakni puisi esai. Ini puisi yang sangat panjang minimal 2000 kata. Ada drama didalamnya selayoknya cerpen. Ada pula catatan kaki selayaknya makalah,” ujar penggagas puisi esai ini, budayawan dan juga analis politik Denny JA dalam siaran persnya, Selasa (23/1/2018).
Denny menyebutkan, catatan kaki itu untuk referensi bahwa isu sosial yang ditampilkan dalam puisi adalah kisah nyata, semacam historical fiction didunia puisi. Namun yang utama, puisi yang disajikan tetap fiksi yang mengekspresikan sisi batin manusia.
Denny JA sudah menuliska serial tulisan yang mereview isu disetiap puisi. Serial tersebut kata dia, Sudah siap terbit 18 provinsi lengkap. Sedangkan sisanya masih dalam proses edit.
“Saya terpana oleh luasnya dan kayanya batin Indonesia dari Papua hingga Aceh,” kata dia.
Dari Aceh, misalnya, hadir puisi yang menggambarkan luka seorang pelaku akibat konflik pemerintah verus gerakan Aceh Merdeka. Dari Papua, terkisah seorang ayah di suku Konawai yang berjalan melintas hutan 10 jam untuk membawa anaknya. Sang anak sakit perlu ke dokter terdekat.
Di Yogyakarta, ada puisi kisah dilema keluarga keraton. Anak Hamangkubuwono X punya peluang menjadi Ratu. Tapi ia seorang wanita. Keraton Yogya tak pernah punya ratu. Atau dari Kalimantan, ada puisi soal sulitnyq adaptasi keluarga. Ia terbiasa hidup di wilayah perairan dengan mistik laut. Kini ia dipindahkan harus hidup di darat.
Menurut Denny, ada tiga hal yang besar dalam kebangkitan para penyair itu. Pertama, mereka berkarya yang membuat puisi melampaui fungsi tradisionalnya. Siapapun yang ingin belajar soal budaya Indonesia dari Aceh hingga Papua terbantu oleh 34 buku puisi esai dari 34 propinsi.
Kedua, ini gerakan sastra yang bercorak civil society. Mereka bekerja mandiri, tanpa bantuan pemerintah, tanpa dana asing dan konglomerat. Mereka membangun jaringan sendiri, mendanai sendiri untuk karya bersama.
Ketiga, gerakan ini membangkitkan penulis lokal. Bukan orang pusat yang menulis. Tapi para penyair dan penulis lokal provinsi itu sendiri yang menuliskan kisah. Panitia hanya menjadi fasilitator saja.vTerkait adanya petisi sastra yang meminta program ini dibatalkan dan diboikot, Denny hanya tersenyum.
“Mereka yang anti program ini tanpa sadar menjadi marketing gratis yang justru membuat karya bersama ini menjadi perhatian publik,” jelasnya.[]