Oleh: Hasto Kristiyanto
ADA fenomena menarik ketika para pelancong domestik dan manca negara datang ke Bali, Solo, maupun Jogja. Kenapa begitu sering merasakan ada hal yang berbeda? Sesuatu hal yang ditangkap oleh “rasa”, melalui seluruh panca indera.
Banyak orang yang mengatakan bahwa alam Bali, Solo, Jogja dan banyak tempat lainnya di Indonesia, menampilkan suatu ”rasa” yang berbeda; sesuatu yang menimbulkan rasa aman, at home, atau sesuatu hal yang menciptakan rasa nyaman.
Bali disebut juga sebagai Pulau Dewata dengan kebudayaan yang begitu kuat dalam harmonisme di tengah keindahan alamnya. Solo dikenal sebagai Kota Batik yang kental dengan tradisi kuliner dengan cita rasa luar biasa.
Menunya beraneka ragam, dengan sajian yang berbeda setiap jamnya. Pagi bisa ditampilkan aneka Soto, siang disajikan Tengkleng, malam disuguhkan Nasi Liwet. Belum lagi aneka masakan berbasis ayam, sayur-sayuran, dan begitu banyak menu tradisional lainnya. Ada juga “gudeg cakar” yang baru buka pada jam 1 pagi dini hari.
Ragam wisata kuliner tersebut melengkapi identitas Solo dalam gambaran the city that never sleeps. Yogyakarta dengan “Suasana Jogja” sebagaimana digambarkan oleh Katon Bagaskara juga mencerminkan titik temu rasa.
Jiwa rasa dalam suasana di Jogja mampu menginspirasi lagu mendalam penuh kesan hingga setiap orang yang pernah tinggal di Jogja merasa terwakili ”rasa”nya dengan gambaran memori “Suasana Jogja” sebagaimana terdapat dalam lirik lagu Yogyakarta.
Pertanyaannya, apa yang membedakan ketiga tempat tersebut dengan wilayah Indonesia lainnya? Di wilayah tersebut kultur, falsafah, sistem nilai, hingga tradisi masyarakatnya saling beresonansi, membuat alam ikut berbicara. Suasananya yang khas.
Hasilnya ciri-ciri kebudayaan yang begitu menonjol. Kebudayaan menyajikan sistem nilai, tradisi, yang ikut memengaruhi perilaku masyarakatnya dalam keteraturan bersama (shared value).
Mereka yang hadir di daerah tersebut ikut meluruh, hingga cara berpikir, berbicara dan berperilaku dipengaruhi oleh magnet kultural. Tanpa terasa proses inkulturasi dan akulturasi berjalan secara natural, saling melengkapi.
Pencermatan lebih lanjut atas apa yang terjadi di Solo dan Jogja, seluruh sistem kultural langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh sikap hidup “Memayu Hayuning Bawana”, atau filosofi memperindah keindahan dunia. Sikap ini menjadikan manusia sebagai satu kesatuan dengan alam, baik alam besar (Jagad Gedhe), maupun alam kecil (Jagad Cilik).
Jagad gedhe adalah keseluruhan alam semesta, makrokosmos dan jagad cilik merupakan semesta dalam diri, dunia nyata, mikrokosmos. Pandangan ini selanjutnya dibumikan ke dalam eksistensi manusia di dunia sebagai titik temu antara bumi sebagai ibu pertiwi, dan angkasa raya sebagai “bapa angkasa”.
Kesemuanya saling terhubung, membentuk jejaring spiritual. Dalam kehidupan bersama, jejaring sosial itu dihayati dalam kehidupan bersama yang saling menjaga satu dengan lainnya. Di sini kehidupan yang toleran, welas asih, dan gotong royong menjadi nilai yang hidup dalam tatanan sosial itu. Nilai-nilai sosial itu juga bisa dirasakan dalam bentuk hubungan sosial yang khas.
Dalam dunia kuliner misalnya, terdapat relasi sosial dimana aspek kerakyatan menjadi konsideran yang penting. Misalnya tersedianya varian menu yang menyesuaikan diri dengan kemampuan daya beli konsumen. Ketika daya beli seseorang terbatas sehingga tidak memungkinkan untuk membeli sepotong ayam, diperkenalkan solusi yang sangat cerdas, berdimensi sosial, dengan apa yang disebut “ayam suwiran”.
Ayam suwiran adalah ayam yang diurai dalam serabut potongan ayam. Banyak sedikitnya ditentukan oleh kemampuan daya beli seseorang. Ayam suwiran ini sebagai unit potongan terkecil bagi seseorang untuk bisa menikmati ayam sesuai daya belinya. Dalam konteks ini, warung-warung rakyat ikut “memayu” konsumennya sehingga semua bisa menikmati, meski ukuran sosialnya berbeda-beda.
Pengejawantahan nilai memayu hayuning bawono sangat terasa dalam dimensi kuktural, dimana setiap warga memiliki tanggung jawab untuk memperindah alam raya. Dengan nilai itu, secara sosiologis, ketentraman dalam masyarakat juga diatur normanya, khususnya di dalam penanganan konflik.
Konflik dalam derajat tertinggi bukanlah pertarungan fisik. Hirarki tertinggi suatu konflik terjadi ketika seseorang sudah tidak saling bertegur sapa, atau disebut dengan “Jothakan”. Dalam konflik ini dimensi sosial kemanusiaan yang disentuh, dengan cara tidak diajak bicara.
Di Bali sistem sosialnya tidak jauh berbeda. Sama halnya dengan di Solo dan Jogja yang kental dengan tradisi “Slametan”, berbagai ritual spiritualitas agar selamat pun juga hidup di Bali. Di Bali, konsepsi tentang keseimbangan begitu hidup.
Kosmologinya didasari oleh Trihita Karana. Dalam pandangan ini, manusia akan mencapai kebahagiaan apabila mampu menghadirkan seluruh keseimbangan hidup, yakni manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan seluruh isi alam raya.
Trihita Karana menghadirkan keseimbangan dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah yang dihayati dengan menyatukan rasa dengan suasana kebatinan alam semesta. Tidak heran mengapa pohon-pohon pun dirawat eksistensinya.
Apa yang nampak dengan local wisdom yang mengatur tinggi bangunan tidak boleh melebihi pohon kelapa mengajarkan pentingnya kesadaran terhadap horison, cakrawala. Manusia tanpa tatapan horison yang membentang luas akan kehilangan daya imajinasinya.
Horison juga sebagai titik temu pandangan manusiawi dengan jalan transendentalnya dimana cakrawala dilihat sebagai mekanisme komunikasi batin dengan Sang Pencipta dalam perenungan yang diiringi dengan tradisi olah rasa.
Dengan berbagai uraian di atas, dapat dikatakan bahwa gambaran suasana kebatinan suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh falsafah, tata nilai, tradisi, dan juga sistem sosial kemasyarakatannya. Ketika berbagai aspek tersebut tercermin dalam perilaku kolektif masyarakat, hal tersebut akan menciptakan energi spiritualitas yang memengaruhi seluruh panca indera manusia yang hadir di wilayah itu. Inilah yang terjadi di Bali.
Kesadaran terhadap pentingnya falsafah yang hidup itulah yang oleh Bung Karno digali agar lahir dasar Indonesia merdeka yang benar-benar otentik, berakar kuat pada peradaban bangsa. Itulah yang disebut Pancasila.
Dengan kekhasan sistem kebudayaan saja, di Solo, Jogja, dan Bali bisa menjadi daya hidup sekaligus benteng kultural, sehingga meskipun jutaan pendatang singgah setiap tahunnya, namun Bali tetaplah Bali. Jutaan pengunjung di Pulau Dewata tersebut selalu merasa mendapat energi, bagaikan baterai handphone yang sudah mau habis (lowbatt), kemudian dicharge dan mendapatkan daya hidup kembali. Di situlah nampak secara empiris hebatnya kebudayaan sebagai identitas kultural.
Jika kebudayaan saja mampu menjadi identitas kultural, apalagi Pancasila. Pancasila sebagai falsafah, pandangan hidup, dan dasar pengaruhnya jauh lebih besar. Keseluruhan nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, musyawarah, dan keadilan sosial, seharusnya menjadi identitas nasional bangsa, jauh di atas paham individu, golongan, suku, agama, ras, gender, dan status sosial.
Bhinneka Tunggal Ika menjadi selalu relevan dalam alam keIndonesiaan yang begitu beragam. Kulinernya beragam, flora dan faunanya juga sangat beragam, begitu juga kondisi geografis antar pulau yang begitu beragamnya. Di atas wilayah tanah air Indonesia itulah berdiam manusia Indonesia yang oleh Bung Karno dibangkitkan kesadarannya sebagai satu jiwa, satu identitas, senasib sepenanggungan, dan satu cita-cita.
Sungguh sangat indah ketika Bung Karno menggambarkan dari Sabang sampai Merauke bukanlah sekedar satu kesatuan geografis. “Dari Sabang Sampai Merauke merupakan satu kesatuan kebangsaan, kenegaraan, ideologis, dan cita-cita yang kongruen dengan tuntutan budi nurani manusia atau social consciousness of man”, kata Bung Karno dalam pidato kenegaraannya pada 17 Agustus 1963.
Indonesia dalam pandangan Bung Karno yang seperti ini, akan melahirkan begitu banyak khasanah kebudayaan yang bisa diangkat ke permukaan. Dari Aceh hingga Papua, begitu banyak kekayaan budaya otentik nusantara yang bisa diangkat. Semua mendapat tempat dalam Pancasila.
Pancasila dengan demikian harus dilihat lebih lanjut juga sebagai sistem kebudayaan negara bangsa Indonesia. Konsekuensinya, Pancasila harus mewujud hingga menjadi cara berpikir, cara bertindak, dan juga mendasari setiap kebijakan politik negara. Habitus Pancasila menjadi perilaku setiap warganya.
Jika ini berlangsung secara kolektif, akan melahirkan energi positif. Di dalam Pancasila itulah falsafah Memayu Hayuning Bawana, Trihita Karana, dan berbagai local wisdom lainnya mendapat tempat untuk tumbuh dan berkembang.
Pancasila dimensinya sangat luas, ideologi, politik, hukum, ekonomi gotong royong, dan kebudayaan. Di dalam Pancasila ada nasionalisme dan patriotisme. Sebab Pancasila itu digali melalui kontemplasi atas dasar rasa cinta pada tanah air. Hanya dengan rasa cinta kepada tanah air,
Pancasila dapat dipahami seluruh esensinya. Di sini Pancasila tidak hanya menjadi dasar dan jalan bagi cita-cita masyarakat adil dan makmur, namun Pancasila juga menjadi jalan bagi terwujudnya persaudaraan bangsa-bangsa lain di dunia.
Jadi banggalah dengan sistem kebudayaan nusantara yang mewujud dalam Pancasila. Trihita Karana menjadi penting, sebab keseluruhan dialektika yang terjadi, dalam hukum alam, pada akhirnya akan menuju pada keseimbangan. Merdeka!!!
Tulisan ini pernah dipublikasikan di laman poskota.co.id Sabtu, 9 Oktober 2021