Oleh: Hasto Kristiyanto
Tahapan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden belum ditetapkan. KPU, Pemerintah, dan partai-partai Politik memiliki beragam kepentingan di balik penetapan kapan jadwal pemilu serentak tersebut dilaksanakan.
Di tengah dinamika itu, munculah berbagai klaim dari mereka yang mengatasnamakan relawan. Relawan melihat adanya kandidat potensial berdasarkan aspek elektoral. Relawan bergerak cepat karena mereka cair, tanpa ikatan ideologis-kesejarahan yang menyatukan.
Dalam diri relawan tersembunyi begitu banyak kepentingan. Dari yang benar-benar berjuang untuk hadirnya pemimpin rakyat hingga alasan pragmatis dengan mengorganisir diri, mencari sponsor pergerakan hingga berharap bahwa sekiranya jagonya menang, ikut menikmati kekuasaan.
Relawan sesuai dengan namanya, bekerja atas prinsip kesukarelaan (voluntarism). Pada umumnya relawan bekerja ketika memenangkan sebuah kontestasi dan setelah itu kembali pada kehidupan normal.
Namun di Indonesia gerak relawan cenderung bersifat permanen. Dalam perspektif yang positif, relawan dibutuhkan oleh partai politik untuk memperluas captive market di luar basis politik tradisional; menjaring swing voters; dan pengorganisasian pemilih yang memiliki karakter khusus.
Hadirnya relawan juga tidak terlepas dari praktek demokrasi elektoral. Praktek demokrasi ini bernuansa liberal yang mengagungkan nilai one man, one vote, one value. Demokrasi elektoral ini telah mengubah banyak hal.
Pertama, dalam demokrasi elektoral, Partai berubah dari karakter ideologisnya menjadi Partai yang hanya didesain untuk memenangkan Pemilu. Fungsi utama partai terkait rekrutmen anggota, pendidikan politik, kaderisasi kepemimpinan, agregasi kepentingan rakyat menjadi kebijakan publik, fungsi representasi, dan komunikasi politik tereduksi oleh ambisi elektoral yang dalam prakteknya penuh dengan skenario pencitraan.
Relawan dalam demokrasi ini bak cendawan di musim hujan. Sifatnya sangat cair. Mereka bergabung dan melihat sosok popular tanpa bersusah payah melakukan kaderisasi kepemimpinan. Berbeda dengan partai politik. Partai dalam fungsinya yang benar memiliki tanggung jawab kolektif di dalam mendidik calon-calon pemimpin.
Calon pemimpin lahir melalui proses kaderisasi yang sistemik, yang kemudian ditugaskan dalam berbagai medan juang. Pada akhirnya, kader Partai tersebut dipercaya oleh seluruh anggota Partai untuk diperjuangkan agar dapat menempati jabatan strategis baik di struktural Partai, legislatif, maupun eksekutif. Relawan sebaliknya. Mereka menunggu calon populer, lalu dengan mudah mengklaim calon atas dasar pertimbangan elektoral, dengan mengabaikan pranata demokrasi yang sehat dan mapan.
Kedua, dalam demokrasi elektoral, konsultan politik tampil memberikan jasa-jasa profesional dalam komunikasi politik, program pencitraan, survei politik hingga ikut terlibat dalam program strategis pemenangan Pemilu.
Konsultan politik ini dalam demokrasi elektoral menempati peran penting, namun implikasinya, biaya yang ditimbulkan untuk keseluruhan jasa profesional tidaklah sedikit. Ketiga, dalam demokrasi elektoral, pemilu dianalogikan sebagai perang demokrasi. Tolok ukurnya hanya kemenangan. Cara dan bagaimana memenangkan “perang” cenderung mengeksploitasi segala hal selama bisa memenangkan perang.
Hal itulah yang terjadi di DKI ketika Ahok-Djarot versus Anies-Sandiaga Uno. Semua isu elektoral dibenarkan, termasuk melakukan manipulasi psikologis berbagai hal terkait dengan primordial. Bagi konsultan politik, tanggung jawab etis terkadang dikalahkan oleh hasrat untuk memenangkan perang.
Keempat, demokrasi elektoral cenderung mendorong terjadinya transaksi antara investor politik dengan calon. Investor politik, yakni suatu kelompok kepentingan yang memiliki kekuatan modal, kemudian melakukan kerja sama dengan calon di dalam menyediakan sumber daya termasuk finansial bagi kepentingan mobilisasi pemilih untuk memenangkan calon.
Dalam prakteknya, investor politik ini menuntut adanya return atas investasi yang ditanamkan. Fenomena inilah yang terjadi mengapa begitu banyak kepala daerah yang ditangkap KPK. Semua tidak terlepas dari transaksi kapital antara kepala daerah dengan pemodal.
Kelima, demokrasi elektoral mendorong konvergensi kepentingan antara politisi, pemilik media, pemodal, yang diintegrasikan dengan kapitalisasi kekuasaan politik atas hukum. Hal inilah yang terjadi pada Pemilu tahun 2019, ketika ada Partai Politik yang cenderung mencaplok kader partai lain dengan intimidasi kekuasaan hukum.
Bagi Partai politik tersebut elektoral adalah segalanya. Mereka tidak mempersoalkan adanya ”gado-gado kepentingan” sebagai konsekuensi pembajakan kader hanya dengan pertimbangan elektoral. Karena itulah, berbagai pragmatisme politik dilakukan. Dimulai dari membajak kader Partai lain, merekrut mantan kepala daerah, istri kepala daerah, ataupun anak kepala daerah. Semua dilegalkan demi aspek elektoral.
Dengan perubahan yang sangat fundamental di atas, maka dalam demokrasi Indonesia terjadi paradoks. Dalam perspektif ideal, Pancasila menuntut demokrasi perwakilan atas dasar hikmat kebijaksanaan.
Demokrasi Pancasila mengedepankan gotong royong, musyawarah, dan azas kolektivitas bagi kepentingan seluruh bangsa. Sementara dalam praktek, demokrasi berwatak individual, liberal, dan sangat kapitalistik.
Dalam paradoks ini, tatanan demokrasi mau tidak mau harus dibawa ke karakter sejatinya sebagai demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sebab demokrasi elektoral telah menimbulkan kapitalisasi kekuasaan politik dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya partai politik yang memiliki kesejarahan, ideologi yang kuat, kepemimpinan yang efektif dan mengakar, serta kultur kepartaian yang berpijak pada kekuatan grass-rootslah yang mampu bertahan. Namun dalam jangka panjang, ketika demokrasi elektoral ini dibiarkan terus hidup, yang ada adalah krisis sebagaimana terjadi di Amerika Serikat.
Demokrasi elektoral juga membawa jebakan populisme. Demi mendapatkan keuntungan elektoral, calon pemimpin berlomba-lomba menawarkan kebijakan populis melalui pendidikan gratis, pelayanan publik gratis, kesehatan gratis dan berbagai insentif sosial lainnya demi keuntungan elektoral. Bahaya populisme ini dalam jangka menengah dan panjang akan menjadi beban fiskal.
Di tengah berbagai persoalan akibat praktek demokrasi elektoral tersebut, relawan hadir. Fleksibilitas tinggi yang dimiliki relawan memungkinkan untuk melakukan berbagai manuver politik dengan dorongan berbagai kepentingan.
Di dalam relawan banyak juga tersembunyi kekuatan indivual. Di antaranya, ada yang memiliki kekuatan modal yang diperlukan untuk menyalib di tikungan. Namun sejarah Pemilu 2014 dan 2019 juga tidak menutup mata adanya idealisme politik yang diperjuangkan oleh relawan tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh Adian Napitupulu melalui PROSPERA.
Ini pun terjadi karena Adian Napitupulu memiliki pemahaman terhadap sistem kepartaian. Baginya, kewenangan politik yang diberikan konstitusi telah mengamanatkan bahwa partai politik atau gabungan partai politiklah yang memiliki kewenangan konstitusional untuk mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Atas dasar ketentuan ini, sebaiknya seluruh pihak bersabar. Biarlah Partai Politik menetapkan calonnya terlebih dahulu, Dari situlah momentum untuk pembentukan relawan dilakukan. Jadi dalam politik, apalagi terkait dengan pemimpin nasional, kesemuanya memerlukan pertimbangan matang. Tidak grusa-grusu.
Sebab nasib lebih dari 270 juta rakyat Indonesialah yang seharusnya diperjuangan. Di sinilah ”sabar menanti” sepertinya menjadi diksi yang tepat bagi seluruh inisiatif bagi terbentuknya relawan. Merdeka!!!