Oleh : Hasto Kristiyanto
Pertarungan hegemoni di Laut Tiongkok Selatan semakin memanas. Amerika Serikat terus menggalang sekutunya dengan membentuk aliansi militer strategis AUKUS (Australia, United Kingdom, dan United State of America), sementara Tiongkok tetap tidak bergeming dengan klaim teritorialnya secara sepihak melalui nine dash line (NDL), suatu konsepsi penguasaan teritorial di Laut Tiongkok Selatan atas dasar legitimasi historis di wilayah yang sangat penting dalam perdagangan dunia tersebut.
NDL pun menjadi pintu gerbang bagi Tiongkok di dalam menjalankan seluruh konsepsi One Belt One Road (OBOR) yang berhadapan langsung dengan US Pasific Command yang akhirnya bermuara pada Trans Pacific Partnership yang didesain untuk membendung pengaruh Cina melalui perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina.
Pada saat bersamaan di Timur Tengah eskalasi konflik semakin memanas. Konflik terjadi karena klaim teritorial, perebutan sumber daya energi strategis seperti minyak dan gas bumi yang begitu melimpah, pertarungan kepemimpinan diantara negara-negara Islam yang juga dipicu perbedaan mazhab, dan keberagaman suku bangsa di kawasan tersebut tanpa adanya identitas pemersatu.
Konflik menjadi semakin rumit ketika berbagai kepentingan menyatu, dan mengundang intervensi negara-negara besar untuk hadir di kawasan kaya minyak tersebut. Kesemuanya bertarung dalam narasi yang berbeda, namun ujung-ujungnya sama: memperebutkan sumber daya alam dan hasrat untuk menunjukkan hegemoni negara melalui kekuatan militernya.
Hasilnya, dua kekuatan besar kini saling berhadapan. Di satu sisi Arab Saudi dengan dukungan Amerika Serikat dan Eropa Barat, berhadapan dengan Iran dengan dukungan Rusia dan Tiongkok. Sementara Turki mencoba memainkan perubahan konstelasi yang begitu dinamis di Timur Tengah. Di bawah kepemimpinan Erdogan, Turki mampu memanfaatkan posisi geopolitiknya sebagai penghubung antara kawasan Asia dan Eropa guna membangun kekuatan pertahanannya bersama NATO dan pada saat bersamaan tetap bebas merdeka di dalam bekerjasama dengan Rusia.
Apa yang nampak dalam pertarungan geopolitik di atas, meskipun bersifat multipolar, namun dalam praktiknya, tetap terdapat dua kekuatan blok besar yang saling berhadapan. Pertarungan geopolitik masa kini sebagaimana terjadi di Laut Tiongkok Selatan, Timur Tengah, dan juga di Ukrania, ditinjau dari strategi, eskalasi, dan ruang gerak politiknya berbeda dengan apa yang terjadi pada Perang Dingin 1.0, yakni situasi saling berhadapan dalam perang urat syaraf dan perang aliansi militer paska Perang Dunia II hingga runtuhnya blok komunis Uni Soviet. Perang Dingin 1.0 lebih diwarnai oleh pertarungan ideologis.
Perang Dingin 2.0 tidak jauh berbeda. Perang dingin ini dikatakan sebagai reinkarnasi Perang Dingin 1.0, meskipun motif utamanya bergeser dari perang ideologi ke perang dagang. Meskipun demikian, secara substantif apa yang dimaksudkan dengan perang dingin tersebut tetap saja terpusat pada upaya penguasaan sumber daya alam, posisi geopolitik strategis, dan juga perebutan pasar serta penguasaan koneksivitas strategis jalur perdagangan dunia.
Ketika dunia pada saat terjadinya Perang Dingin 1.0, ataupun ketika saat ini gambaran Perang dingin terjadi kembali, pelajaran apa yang bisa ditarik dari kebijakan luar negeri Indonesia saat itu? Spirit apa yang bisa diambil bagi kebijakan strategis luar negeri saat itu, agar di dalam menghadapi dinamika politik global saat ini, Indonesia bisa menampilkan peran strategisnya? Apa tugas sejarah Indonesia di dalam menggunakan posisi geopolitik dan geostrategisnya di dalam menghadapi Perang Dingin 2.0?
Berbagai konstelasi pertarungan geopolitik dunia sejak abad 20 telah dianalisis dengan baik oleh Bung Karno. Dalam pidatonya yang begitu terkenal pada tahun 1930 dengan judul Indonesia Menggugat, Bung Karno dengan dialektika pemikirannya mampu memperkirakan bahwa Indonesia merdeka akan terwujud pada saat terjadi Perang Pasifik akibat pertarungan kapitalisme global.
Pertarungan tersebut terjadi karena perebutan ruang hidup antar bangsa. Perebutan ruang hidup ini berakar dari pemikiran geopolitik Karl Haushofer, seorang pakar geopolitik dari Jerman yang menegaskan pentingnya keberlangsungan suatu bangsa melalui penguasaan ruang hidup (lebensraum).
Dalam berbagai analisisnya, Bung Karno mengkritik pemikiran geopolitik barat yang ekspansionis. Kritik yang sama juga disampaikan Bung Karno atas Jepang. Pada awalnya kemajuan Jepang melalui restorasi Meiji dipuji oleh Bung Karno untuk membangkitkan nasionalisme Indonesia ketika Jepang berhasil mengalahkan Rusia pada tahun 1904.
Namun ketika Jepang berubah menjadi ekpansionis yang dibangun dari legitimasinya sebagai pemimpin di Asia Timur, Bung Karno pun memberikan kritik yang sangat keras. Dalam analisisnya, Bung Karno menegaskan bahwa perubahan yang terjadi di Jepang dipicu oleh loncatan kemampuan militer Jepang dengan kemampuannya melakukan serangan kilat, terpadu, presisi, dan dengan daya penetrasi tinggi.
Berbagai perang yang terjadi di dunia seperti Perang Napoleon, Perang Saudara di Amerika Serikat, Perang antara Rusia dan Jepang, hingga Perang Dunia I dan II juga menjadi pembelajaran Sukarno. Perang yang selalu terjadi memunculkan pertanyaan kritis, mengapa pandangan geopolitik Barat terus saja memicu konflik tiada henti dan berujung pada kontradiksi pokok antara kapitalisme dan komunisme? Mengapa watak kolonialisme dan imperialisme melekat kuat dalam bangsa-bangsa berperadaban lebih maju yang terus mengikis habis bangsa-bangsa lain dengan peradaban yang lebih rendah? Bukankah kolonialisme dan imperialisme tersebut mengakibatkan begitu banyak kesengsaraan terutama bagi bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin?
Dari berbagai pertanyaan kritis di atas, Bung Karno menegaskan pentingnya membangun kesadaran kebangsaan, suatu kesadaran yang dipicu oleh perasaan senasib sepenanggungan. Perasaan ini dirasakan dan kemudian menyatu dalam kesadaran manusia Indonesia dengan tanah airnya. Karena itulah bagi Bung Karno, Bangsa Indonesia adalah satu bangsa dengan satu jiwa.
Bangsa Indonesia merupakan satu individualitet yang tumbuh bersama dalam kesatuan geografis yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Dalam kesadaran spiritualnya, kesatupaduan antara manusia dan tanah airnya terjadi karena daya cipta Tuhan. Tuhan yang Maha Esa telah menjadikan bangsa Indonesia terbentuk dalam posisinya di persilangan strategis yang terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, dan dua samudera, yakni Samudera Hindia dan Pasifik.
Dalam kesadaran kebangsaan ini, Sukarno terus menggali sejarah peradaban bangsa dan mensintesakan dengan sejarah peradaban dunia. Atas dasar proses dialektik ini, maka ketika Bung Karno diminta pandangannya untuk menyampaikan falsafah dasar daripada Indonesia Merdeka, Bung Karno sekaligus memperkenalkan Pancasila sebagai weltanschauung, atau pandangan hidup bangsa Indonesia terhadap dunia. Sebab Bung Karno melihat hasrat terdalam manusia Indonesia yang mendambakan hidup rukun, toleran, dan mampu mengelola berbagai perbedaan.
Dalam refleksi atas nilai-nilai kultural yang hidup itulah mengapa Pancasila lahir dengan visi untuk menjadikan Indonesia sebagai taman-sarinya dunia. Dalam konteks ini, apa yang disampaikan Bung Karno tentang pentingnya cita-cita bangsa untuk ikut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial telah melahirkan pandangan geopolitik khas Indonesia.
Pandangan geopolitik ini digerakkan oleh nilai kemanusiaan dan internasionalisme; memperjuangkan ko-eksistensi damai; suatu dunia yang lebih berkeadilan dan dunia yang bebas dari imperialisme dan kolonialisme.
Pandangan geopolitik Indonesia berdasarkan Pancasila tersebut nyata-nyata berbeda dengan geopolitik Barat yang ekspansionis. Dengan pandangan geopolitik ini, Bung Karno menggelorakan pentingnya solidaritas bangsa-bangsa Asia Afrika melalui pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955, yang kemudian mendorong lahirnya Gerakan Non Blok (GNB) pada tahun 1961 yang menunjukkan kuatnya kepemimpinan Indonesia bagi dunia.
Dalam kepemimpinan itu, legitimasi Indonesia pun meningkat pesat, yang menjadi senjata ampuh bagi upaya pembebasan Irian Barat. Tidak hanya itu, kuatnya kepemimpinan Indonesia melalui KAA dan GNB telah memuluskan pengakuan internasional atas Deklarasi Djuanda pada tahun 1957 yang menyatukan seluruh wilayah kepulauan menjadi satu kesatuan, dan hasilnya, wilayah Indonesia naik 2.5 kali lipat tanpa melalui perang. Selain itu, demi kepentingan pembebasan Irian Barat, angkatan perang Indonesia pada saat itu dikenal sebagai angkatan perang terkuat di belahan bumi selatan. Sangat membanggakan.
Ketika konflik akibat perang Dingin 1.0 mampu mendorong kepemimpinan Indonesia bagi dunia, bagaimana dengan realitas kekinian? Substansinya tetap sama, bahwa di tengah pertarungan hegemoni dunia saat ini, Indonesia harus mengambil prakarsa melalui berbagai bentuk keterlibatan aktif Indonesia atas berbagai persoalan dunia.
Upaya ini diimbangi dengan peningkatan kemampuan diplomasi tingkat tinggi, yang memadukan diplomasi luar negeri dan pertahanan, guna menjadikan Indonesia sebagai pelopor dan jembatan perdamaian. Upaya ini memerlukan adanya grand strategy yang dirancang oleh suatu think tank yang bersifat strategis, langsung di bawah komando Presiden, guna merancang kebijakan yang mengintegrasikan antara kebijakan luar negeri dan pertahanan sebagai jawaban Indonesia atas berbagai persoalan dunia tersebut.
Di sinilah leadership, seni berdiplomasi, dan kemampuan untuk bergerak out of the box sangat diperlukan. Dalam upaya ini keseluruhan ketentuan normatif dari pandangan geopolitik Indonesia yang bertujuan untuk membangun persaudaraan dunia harus diubah menjadi national interest yang dilaksanakan secara konsisten, penuh ketegasan sikap sebagai negara berdaulat, dan mendorong energi positif bagi setiap upaya perdamaian dunia.
Sayang sekali bahwa pelaksanaan kebijakan luar negeri dan pertahanan sering tersandera oleh berbagai persoalan domestik dan juga sikap inward looking serta rasa kurang percaya diri dengan berlindung di balik politik yang netralistik.
Pada saat bersamaan, ketergantungan Indonesia pada asing, baik ke Tiongkok, Singapura, maupun ke Amerika Serikat dan Eropa Barat, menyebabkan Indonesia seringkali sulit bersikap menghadapi tekanan internasional yang memasung Indonesia.
Pemasungan ini telah berlangsung lama, terutama sejak tampilnya Orde Baru yang begitu mudah mengobral kekayaan alam Indonesia pada asing. Sejarahpun mencatat, bagaimana Orde Baru telah menciptakan ketergantungan sistemik Indonesia pada sistem keuangan dunia dan juga sistem perdagangan dunia, yang memicu lahirnya krisis moneter pada tahun 1997.
Solusi yang ditawarkan atas krisis pun alih-alih membantu justru semakin menjerat Indonesia pada sistem politik dan ekonomi yang liberal-kapitalistik. Ketidakberdayaan ini bukannya tidak bisa diatasi. Diperlukan kepemimpinan visioner yang berani menyatakan pandangan Indonesia sebagai negara berdaulat; kepemimpinan yang berani meneriakkan ketidakadilan yang terjadi di dunia, dan pada saat bersamaan, terus membangun sumber daya nasionalnya bagi kemajuan Indonesia agar semakin mampu berdaulat dan berdikari. Kesemuanya tentu memerlukan kalkulasi yang matang.
Dalam upaya membangkitkan kepemimpinan Indonesia itu, maka terhadap realitas terjadinya Perang Dingin 2.0, Indonesia jelas tidak bisa berdiam diri. Indonesia harus menatap ke depan, mendayagunakan seluruh potensi nasional agar segera terlepas dari berbagai persoalan domestik, dan dapat dengan penuh percaya diri menggelorakan spirit kepemimpinan pada dunia; kemudian bertindak aktif keluar, menjadi peace facilitator bagi dunia yang sedang dihadapkan pada konflik.
Berbagai hal strategis terkait geopolitik Indonesia inilah yang menjadi wacana begitu penting dalam perdebatan siapa calon presiden Indonesia yang akan datang. Dengan demikian, di balik realitas hadirnya Perang Dingin 2.0, terbuka lebar kesempatan untuk menghadirkan kembali kepemimpinan Indonesia bagi dunia. Merdeka!!!