Oleh: Hasto Kristiyanto
Manusia pada dasarnya “ada” sehakekat dengan Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam karya penciptaan itu, manusia mendapat karunia panca indra sebagai sistem fisiologi dalam tubuh manusia untuk mengenali, merasakan, dan merespons terhadap berbagai stimulus kehidupan. Stimulus ini disalurkan sebagai informasi berdasarkan rekaman “big data” yang terdapat di dalam sistem otak sehingga kemudian muncul persepsi dan respons atas stimulus yang diberikan.
Selain panca indra yang terhubung dengan alam pikir, di dalam diri manusia juga ada indra yang lain, yang digerakkan oleh rasa. Dari proses ini muncullah suara hati nurani sebagai indra yang menjadi instrumen tentang baik dan buruk. Dalam alam rasa ini, manusia melihat ke dalam, mengedepankan pertimbangan nurani, dan membandingkannya dengan alam pikir yang ada di otak, hingga berperilaku untuk menebar kebaikan.
Moralitas perilaku ini mengajarkan pentingnya satunya kata dan perbuatan; artinya apa yang bergulat dalam alam pikir, harus memiliki kesesuaian dengan alam rasa. Dengan moralitas perilaku seperti ini dipastikan akan terlahir kebiasaan dan kultur positif, yang diawali dari pemikiran positif, dan tindakan positif, hingga pada akhirnya output society juga penuh dengan energi positif.
Moralitas perilaku sebagaimana digambarkan di atas, akan mendorong lahirnya pemimpin yang berkarakter; pemimpin yang bisa “olah rasa”. Ketika ide, gagasan, cita-cita, dan perjuangan yang dilakukan pemimpin tersebut benar-benar bertujuan bagi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, maka pemimpin yang berkarakter tadi akan bertransformasi menjadi pemimpin negarawan.
Pemimpin ini akan memiliki tujuan besar dan bertindak dengan ide-ide besar. Pemimpin yang seperti ini akan sangat visioner namun membumi. Gagasannya sering kali membentang luas melintasi waktu dan batas wilayah suatu negara. Ide dan gagasannya pun abadi dan selalu relevan sepanjang jaman.
Belajar dari para pemimpin negarawan seperti Bung Karno, Bung Hatta, KH Agus Salim, Soepomo, Ali Sastroamidjojo, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dll, mereka menampilkan jati dirinya sebagai pemimpin yang begitu kokoh dalam prinsip. Mereka pembelajar dan pendengar yang baik, sekaligus sosok yang di dalam dirinya menyala api perjuangan yang tidak pernah padam.
Api perjuangan itulah yang menjadi dedikasi bagi bangsa dan negara. Dalam diri pemimpin negarawan seperti ini, panca indra dilatih begitu matang, memiliki daya kepekaan, serta instrumen kemanusiaan dan sikap berkeadilan yang begitu kuat.
Dalam diri pemimpin negarawan itu, panca indra ditempa lewat laku dengan membenturkan diri pada berbagai problematika rakyat. Pemimpin negarawan ditempa melalui proses pembelajaran, guna menghadapi berbagai ujian, gemblengan, bahkan pengalaman jatuh bangun. Keseluruhan proses tersebut tidak hanya mengasah panca indra dalam simulasi fisik, namun juga diperkuat dengan laku spiritual, olah batin sehingga terbangun kepekaan panca indra dengan apa yang disebut sebagai six sense, indra keenam, suatu ketajaman intuisi yang dilihat melalui mata batin.
Ketika panca indra dimatangkan dalam terang akal budi, maka terhadap apa yang dilihat, didengar, dirasakan, tidak mudah tergoda oleh kepentingan diri sendiri. Panca indra yang matang ini juga tidak mudah termanipulasi oleh bujuk rayu kekuasaan. Pada tingkatan ini, sekiranya indra pencecap merasakan betapa nikmatnya kekuasaan, namun kematangan panca indra akan menjadi benteng untuk tidak tertipu oleh stimulus penyalahgunaan kekuasaan.
Lebih dari itu, panca indra hasil gemblengan ini justru akan menggunakan indra pencecap untuk merasakan penderitaan rakyat, bukan mengatasnamakan rakyat dengan pembenar kekuasaan sebagaimana muncul dalam diskursus penundaan pemilu yang berimplikasi pada perpanjangan jabatan kekuasaan.
Dengan panca indra yang menyatukan antara alam pikir dan alam rasa, maka manipulasi “big data” untuk kepentingan kekuasaan dipastikan tidak mudah dilakukan. Ketika indra pendengar menangkap bagaimana biaya pemilu yang begitu mahal, maka stimulus ini akan mendorong sistem otak yang terkoneksi dengan mata hati untuk mencari solusi bagaimana biaya pemilu bisa ditekan. Tetapi ketika sistem otak sudah digelapkan oleh kenikmatan kekuasaan, maka mahalnya pemilu akan menjadi pembenar bagi “big data” untuk kepentingan kekuasaan.
Hal yang sama juga nampak dalam kasus antrian minyak goreng. Ketika stimulus panca indra merekam antrian rakyat untuk mendapatkan minyak goreng, maka dalam panca indra yang termanipulasi, realitas kelangkaan minyak goreng dijawab dengan kunjungan ke pasar.
Di sini instrumen “big data” dinafikan kebenarannya sehingga diperlukan “kunjungan simbolik” dengan datang ke pasar. Dengan media yang menyertainya, dibumbui oleh narasi kepekaan kemanusiaan, maka kunjungan ke pasar sepertinya menjadi jalan yang membuka solusi. Kelangkaan minyak goreng sebenarnya begitu mudah dirasakan ketika kematangan panca indra merespons kebenaran persoalan.
Bagi mereka yang telah mematangkan panca indranya, antrian minyak goreng dilihat sebagai gangguan nyata sistem produksi dan distribusi yang memainkan hukum ekonomi pasar. Hukum ini sangatlah sederhana. Ketika permintaan jauh lebih besar daripada penawaran, maka harga pasti akan naik, begitu pula sebaliknya.
Hukum dasar ilmu ekonomi ini, bagi sosok menteri perdagangan sepertinya menjadi begitu rumit. Mengapa? Sebab panca indra telah dibelokkan. Bahkan panca indra dalam olah pikir dipisahkan dengan suara hati nurani akibat kuatnya pengaruh “si penikmat keuntungan”.
Dengan demikian, kelangkaan minyak goreng tidak perlu dijawab oleh pemegang kebijakan dengan bergiliran berkunjung ke pasar. Sebab begitu banyak instrumen yang bisa dipakai untuk mengambil ketegasan dengan mengurai persoalan: mengapa langka? Bagaimana produksi dan distribusinya? Siapa memainkan apa? Di mana titik rawan persoalannya, serta berbagai pertanyaan investigatif lainnya.
Atas berbagai pertanyaan di atas, dalam panca indra yang benar, maka kelangkaan minyak goreng cukup dijawab dalam ketegasan atas kebijakan, aturan hukum, pengawasan produksi dan distribusi, hingga melepaskan diri dari berbagai “kelekatan” dengan pemegang modal, dan menjauhkan diri dari hasrat mencari keuntungan. Dengan pendekatan yang sama dapat disimpulkan bahwa potret kelangkaan minyak goreng menunjukkan bagaimana kapitalisme semakin merajalela sehingga instrumen kekuasaan menjadi tidak berdaya.
Kesalahan penggunaan panca indra juga terjadi ketika seorang pejabat membangun rasa percaya diri pada kebenaran “big data” yang menjadi pembenar mengapa pemilu harus ditunda. Kalau dalam kelangkaan minyak goreng “big data” menjadi tiada, dalam kasus penundaan pemilu, “big data” menjadi segalanya.
Tanpa perlu banyak perdebatan, big data dalam karakter sebenarnya hadir sebagai himpunan informasi komprehensif apa adanya. Ketika ada fenomena rakyat mengantre minyak goreng, maka stimulus yang disampaikan pun sama: langka artinya tidak tersedia, dan kenaikan harga adalah realita. Ketika stimulus ini ditangkap oleh kebenaran panca indra harusnya berkorelasi dengan solusi kebijakan nyata: minyak goreng tersedia tanpa kenaikan harga.
Dengan demikian menjadi penting mengupayakan agar panca indra, stimulus, respons sistem otak, dan alam rasa dapat menyatu agar realitas kehidupan rakyat dapat dipotret dalam gambaran yang sebenarnya. Karena itulah mengapa setiap pemimpin bangsa, termasuk elite politik memiliki kewajiban untuk mengasah panca indra. Panca indra ini selanjutnya dimatangkan agar tidak menyesatkan alam pikir.
Berkaitan dengan hal ini, mereka yang selama ini mengagungkan “big data” hanya bagi kepentingan diri ataupun kelompoknya; maupun yang meminggirkan “big data” demi keuntungan kapital semata harus menyadari bahwa tindakannya akan dikalahkan oleh kematangan panca indra yang berpadu dengan rasa.
Hal inilah yang juga ditunjukkan para pendiri bangsa. Bung Karno misalnya, mematangkan panca indra melalui rasa cinta pada tanah air. Bung Karno berjuang bagi cita-cita politik bangsa, meski harus meringkuk di penjara dan dibuang puluhan tahun lamanya. Maka oleh kepekaan nurani dan kematangan panca indra, Bung Karno exist sepanjang bangsa ini ada.
Bagi Bung Karno dedication of life adalah jiwanya. Maka ia menuliskan tanpa ragu: “Bahwa saya adalah manusia biasa. Saya dus tidak sempurna. Sebagai manusia biasa, saya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Hanya kebahagianku ialah dalam mengabdi kepada Tuhan, kepada tanah air, kepada bangsa. Itulah dedication of life-ku. Jiwa pengabdian inilah yang menjadi falsafah hidupku, yang saya nikmati dan menjadi bekal hidupku. Tanpa jiwa pengabdian ini saya bukanlah apa-apa. Akan tetapi dengan jiwa pengabdian ini saya merasakan hidupku bahagia dan membawa manfaat” (Sukarno, 10 September 1965).
Dedication of life tidak mungkin muncul tanpa kematangan panca indra, kematangan akal budi dan rasa. Semua menjadi satu. Jadi bagi mereka yang masih saja ngotot dengan kebenarannya sendiri, bagi kepentingannya, terlebih bagi yang begitu mudah mengatasnamakan rakyat untuk menyembunyikan kepentingan kekuasaannya, sebelum karma politik melanda, sebaiknya matangkanlah panca indra. Semua dengan laku, olah spiritual, dan kerendahan hati sambil mengucap janji untuk berdedikasi bagi bangsa dan negara. Tanpa itu, panca indra menjadi tumpul dan mematikan alam rasa. Sebab panca indra dalam kesejatiannya akan memancarkan sinar kebenaran tanpa manipulasi. Merdeka!!