Oleh: Hasto Kristiyanto
Keadilan sosial sebagai diksi dalam politik, lahir dari pemikiran mendalam pendiri bangsa khususnya Bung Karno. Keadilan sosial menjadi imajinasi tentang tatanan masyarakat Indonesia yang bebas dari berbagai belenggu penjajahan. Keadilan sosial menjadi muara dari sila Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, dan demokrasi permusyawaratan/perwakilan.
Dalam konsepsi demokrasi Indonesia, keadilan sosial inilah yang membedakan antara demokrasi barat yang menitik beratkan pada demokrasi politik, untuk dikoreksi ke dalam demokrasi ekonomi yang bekerja dalam sistem budaya bangsa. Sintesa antara demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi dalam kebudayaan itulah yang melahirkan cita-cita “tidak ada kemiskinan dalam buminya Indonesia Merdeka”.
Keadilan sosial hidup dalam budaya gotong royong. Tentang cara mewujudkan keadilan sosial tersebut, para pendiri bangsa mengamanatkan bagaimana bumi, air, dan kekayaan alam yang dikandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Atas dalil sosialisme ala Indonesia ini, maka cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Dengan hukum keadilan sosial tersebut, maka fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Negara juga menjamin kehidupan yang layak secara kemanusiaan bagi setiap warganya.
Landasan filosofis dalam politik pembangunan tersebut sangat luar biasa. Diksi keadilan sosial sudah jauh lebih dahulu dirumuskan, bahkan termasuk progresif di depan. Paradigma keadilan sosial, mendahului berbagai diskursus teori pemikiran politik barat, yang saat itu masih terbuai oleh kapitalisme-liberalisme. Keadilan sosial oleh Bung Karno digali dari keutamaan Bumi Nusantara yang adil, sebagai manifestasi semangat solidaritas dan penghormatan atas kemanusiaan yang tertinggi.
Analisis Bung Karno dalam refleksi paradigma kritis terbukti seiring berjalannya waktu. Di Barat, demokrasi kini mengalami krisis. Liberalisme-kapitalisme yang bertumpu pada individualisme menciptakan konsentrasi kapital. Karena kapitalisme menurut Bung Karno adalah suatu nafsu yang dibangun dengan mengikis berbagai kepekaan sosial, maka kapitalisme menciptakan krisis. Belum selesai krisis yang satu, muncul krisis lainnya dengan dampak yang semakin hebat dan dalam.
Liberalisme-kapitalisme juga menciptakan elit politik yang nampaknya populis. Namun sikap populis pun dibajak semata-mata hanya untuk kepentingan elektoral sehingga muncullah berbagai kebijakan populis guna meningkatkan elektoral. Populisme Indonesia terjadi pada tahun 2008, ketika demi mendongkrak elektoral, berbagai kebijakan yang menina-bobokkan rakyat diberikan.
Demi populisme yang ditunggangi popularitas elektoral tersebut maka berbagai hal yang nampaknya populis dilakukan, tanpa mempertimbangkan kelangsungan fiskal di masa depan. Politik populis melalui bansos tersebut akhirnya menjadi alat elektoral yang melanda seluruh wilayah Indonesia. Politik tidak lagi mengedepankan “kail” guna mendapatkan ikan, melalui proses nilai tambah dalam sistem produksi perekonomian rakyat. Politik populis mereduksi makna politik pemberdayaan rakyat.
Liberalisme-kapitalisme yang ditunggangi oleh nafsu menimbun kapital, keserakahan, puncaknya menyebabkan krisis ekonomi di Amerika Serikat yang kemudian juga melanda Eropa Barat pada tahun 2008. Semua masih ingat, bagaimana penggelembungan ekonomi melalui rekayasa keuangan terjadi.
Ketika krisis terjadi, di negara yang mengharamkan campur tangan negara, dan lebih percaya pada mekanisme pasar pun akhirnya bertekuk lutut, lantas meminta campur tangan negara di dalam mengatasi krisis. Di tengah krisis ini muncul perdebatan terhadap tanggung jawab etis kaum profesional. Mereka boleh jadi non partisan, namun kemampuan rekayasa finansial yang dilakukan mampu meluluh-lantakkan sistem perekonomian pasar.
Apa yang terjadi di Amerika serikat dan Eropa Barat sepertinya mengulang krisis moneter yang diikuti berbagai krisis multidimensi di Indonesia pada tahun 1997. Krisis tersebut menyebabkan pak Harto mundur dari kursi kekuasaan. Semua akibat nepotisme, kolusi, dan korupsi yang melekat dalam kekuasaan yang otoriter selama Orde Baru berkuasa.
Krisis yang melengserkan Pak Harto tersebut, dalam perspektif spiritual memang ada yang menilai sebagai karma politik atas apa yang pak Harto lakukan terhadap Bung Karno. Namun dalam perspektif keadilan sosial, krisis yang terjadi akibat makna yang terkandung dalam keadilan sosial tersebut tidak bekerja dalam sistem kekuasaan yang otoriter. Keadilan sosial sebagai falsafah, landasan kebijakan, tujuan, dan instrumen kebijakan memang dilarang untuk dibahas pada masa itu.
Keadilan sosial berangkat dari pandangan kritis. Keadilan sosial mengandung sikap kritis di dalam melihat struktur sosial yang tidak adil akibat penjajahan. Berbicara keadilan sosial dalam diskursus pemikiran saja memerlukan syarat berpikir kritis.
Teori yang dipakai pun bersifat kritis. Pelaksanaan teori dalam praktek bersifat progresif. Sebab seluruh suasana kebatinan para pendiri bangsa ketika merumuskan keadilan sosial sebagai sila kelima Pancasila muncul dari kesadaran bahwa penjajahan telah menciptakan struktur kekuasaan, dan tata struktur perekonomian yang menghisap. Struktur yang tidak adil inilah yang harus diubah secara progresif-revolusioner.
Ketika berbicara tentang sifat progresif-revolusioner, hakekatnya memang membongkar dan menjebol. Proses dialektik tersebut dilakukan dengan kesadaran terhadap nilai-nilai lain yang terkandung dalam Sila Pancasila. Jalan Pancasila inilah yang menjadi rel, menjadi bingkai, terhadap arah kemajuan bangsa bagi terwujudnya seluruh cita-cita sosial tersebut.
Sayang sekali, di jaman Orde Baru, berbicara tentang keadilan sosial dianggap kiri. Padahal dalam terminologi politik, kanan itu adalah establishment, kemapanan, konservatif. Sementara kiri itu justru progresif. Ketika terminologi politik dimasuki kepentingan kekuasaan, maka makna progresif yang sebenarnya positif menjadi negatif.
Keadilan sosial seharusnya dipandang dalam keseluruhan falsafah, nilai, tujuan, kultur, dan instrumen kebijakan. Keadilan harus dimulai dari desain kebijakan publik. Ketika kebijakan pemerintah, yang seharusnya ditujukan untuk seluruh rakyat Indonesia, sudah diawali dengan kebijakan pilih kasih terlebih demi kepentingan elektoral, lalu terjadi manipulasi data, maka meski baru dalam desain kebijakan, di situ aspek keadilan sosial sudah tidak terpenuhi. Karena itulah hakekat keadilan sosial seharusnya dimulai dari desain kebijakan, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan hingga evaluasi kebijakan, apakah “keadilan” tersebut benar-benar sudah bekerja.
Sebab godaan kekuasan terbesar dalam praktek demokrasi liberal yang puncaknya telah terjadi pada Pemilu tahun 2009 adalah pemaknaan kebijakan hanya dari kepentingan elektoral Partai Politik penguasa. Di sinilah kritik harus dilakukan secara obyektif, dan jika perlu dengan mengedepankan kebenaran ilmiah melalui kajian yang obyektif dengan metode penelitian akademik yang kokoh di kampus-kampus.
Keadilan sosial bukanlah slogan. Di Republik Rakyat Tiongkok, keadilan sosial ini dijabarkan dalam kebijakan ”zero poverty” dan ternyata berhasil. Di Amerika Serikat justru mengalami krisis. Demokrasi yang didambakan ternyata menciptakan jurang yang begitu besar antara kaya dan miskin. Demokrasi liberal di Amerika Serikat menyebabkan “government shutdown” akibat praktek bikameral dalam sistem presidensial yang bekerja dalam negara federal. Semua saling mengunci dalam berbagai kepentingan.
Belajar dari apa yang terjadi di Tiongkok dan Amerika Serikat, bukankah seharusnya bangsa Indonesia percaya bahwa setiap bangsa memiliki sistem demokrasi yang khas sesuai sejarah, tradisi, dan kultur setiap bangsa. Indonesia telah memiliki Pancasila sebagai ideologi politik yang digali dari peradaban bangsa, namun juga merupakan sublimasi (tahapan lebih tinggi) dari ideologi-ideologi besar dunia. Rasa percaya diri terhadap sistem demokrasi khas Indonesia inilah yang harus dibangun, dijabarkan, dan mewujud dalam kebijakan pemerintahan negara dari pusat hingga ke daerah.
Dengan membangun budaya politik yang sesuai ideologi bangsa, hakekat keadilan sosial dapat dijabarkan. Misalnya dalam konsepsi tentang kebahagiaan manusia Indonesia; konsepsi tentang kesejahteraan dalam kolektivitas; konsepsi keadilan sosial dalam kaitannya dengan gotong royong, dan begitu banyak kajian yang khas Indonesia yang bisa dilakukan.
Dalam menjabarkan lebih lanjut tentang keadilan sosial tersebut, maka sinergi koneksitas antara Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) penting untuk dilakukan. Sinergi koneksitas ini untuk menjadikan ideologi Pancasila dalam gerak riset dan inovasi yang membumi. Suatu riset dan inovasi untuk memerkuat jalan Indonesia berdikari. Dengan panduan ideologi Pancasila maka riset bukanlah untuk riset. Riset sebagai jalan kejayaan bangsa.
Sambil proses tersebut berjalan, mari kita bersikap adil. Adil dalam alam pikir, adil dalam keputusan, adil dalam perbuatan, dan adil dalam membangun hubungan sosial. Keadilan sosial inilah yang kita dambaikan. Keadilan sosial yang dicapai melalui perjuangan, dan gotong royong seluruh elemen bangsa. Merdeka!!!