Sebagai pekerja migran yang pertama kali bekerja di Taiwan dan baru saja menyelesaikan pendidikan SMK-nya, pada jurusan Akuntasi di Indramayu – Jawa Barat. Berbagai alasan yang menggelayut di pikiran, Fatimah, untuk bekerja di sana. Mulai dari mencari penghasilan yang lebih tinggi, ingin mengetahui budaya luar, kepingin mandiri secara ekonomi hingga untuk menghindari pernikahan dini.
Siti Fatimah (27 thn), mulai bekerja di Taipei pada Januari 2017 untuk merawat kakek yang terkena stroke. Selain merawat kakek, Fatimah juga memasak, bersih-bersih, dan lain-lain perkerjaan rumah tangga dilakoninya selama lk.2 tahun. Sang kakek (akong) akhirnya meninggal karena stroke yang dideritanya. Meski hanya mendapatkan gaji sebesar 17.000 NT (+/- Rp. 8,4 juta) per bulannya, ditambah tips (angpao) yang diperoleh setiap bulannya, meski tidak menentu, namun pada waktu Imlek dapat mencapai 8.000 NT (+/- Rp. 4 juta).
Ketika Fatimah sudah berpengalaman selama dua tahun merawat kakek dan mampu berkomunikasi dalam bahasa Mandarin secara aktif, serta mampu mengerjakan tugas-tugas spesifik lainnya seperti; mengukur tensi/gula darah, mampu sedot-dahak, mampu memberi makan dan minum lewat selang, mengganti/mengecek ”pampers”, mampu merawat/ memandikan lansia dengan baik, ditambah mampu memasak panganan kesukaan Akong yang dirawatnya membuat Fatimah punya ”bargaining” untuk meminta kenaikan gaji. Sejak 2019 ia mengajukan kenaikan gaji menjadi 25.000 NT (+/- Rp.12.4 juta) setiap bulannya, diluar tips (angpao) yang setiap minggu dapat mencapai 1700 NT (+/- Rp. 850 ribu).
Sepeninggal kakek, Fatimah kemudian mendapat pekerjaan baru di Taoyuan, salah satu kota di sebelah utara barat-daya Taipei, pada awal tahun 2019. Pekerjaannya merawat nenek (ama) yang sudah renta (95 thn) dan sehari-harinya berada di kursi roda. Selain merawat ama, Fatimah juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya seperti memasak sarapan seperti bubur, membuat bakpao dan panganan kesukaan nenek, bersih-bersih hingga pekerjaan rumah-tangga lainnya. Selama lk. 2 tahun merawatnya, ama kian hari kian berkurang nafsu makannya, sementara dipihak anak-anak mereka tidak mengijinkan jika ama makan melalui selang/hidung, ama kemudian tutup usia pada tahun 2021.
Dengan sederet keterampilan/kemampuan yang dimiliki Fatimah sebelumnya, ketika memasuki era Covid-19 tahun 2021-2022, Fatimah kemudian ”banting setir” melamar bekerja di Panti Jompo. Kemampuan bahasa Mandarin yang aktif dan keterampilan-keterampilan lainnya seperti sedot-dahak, mengukur tensi/gula darah. mengganti selang makan/minum serta keterampilan lain yang dimilikinya menjadikan Fatimah mudah menyesuaikan diri dalam bekerja di Panti Jompo karena sudah terlatih/terbiasa bekerja seperti ”perawat” yang terdididik.
Di Panti Jompo, Fatimah bekerja lebih awal sejam dari aturan yang telah ditentukan, jam 07 pagi hingga jam 08 malam (13 jam bekerja sehari). Setiap hari ia memandikan 14–16 lansia dengan berbagai tingkat kesulitan. umumnya pasien/lansia yang harus dibalikkan badannya karena tidak mampu lagi membalikkan badannya sendiri, ada pula yang lebih ekstrim dimana pasien/lansia bermain-main dengan kotorannya sendiri, dll. Diperkirakan setiap pasien/lansia mendapatkan jatah maksimal 14 – 15 menit per orang, bekerjanya harus cepat (sat – set) agar banyak yang dapat dikerjakan setiap harinya. Menarik untuk dicatat bahwa setelah selesai semua pekerjaan, termasuk memberi obat, Fatimah masih harus menuliskan laporan harian terhadap kondisi/perkembangan masing-masing pasien/lansia yang ditanganinya. Formulir laporannya dalam bahasa Mandarin, namun di isi dengan bahasa Inggris (Latin), terutama yang menyangkut data atau angka.
Menarik untuk dikemukakan bahwa bekerja di Panti Jompo, para pekerjanya dibekali berbagai keterampilan yang tidak didapatkan di tempat lain, misalnya keterampilan menghadapi kebakaran (fire rescue), bagaimana mengatasi/tindakan pertolongan pertama jika jantung si pasien/lansia berhenti berdetak, bagaimana menghadapi pasien/lansia yang tersedak, dll kegiatan keterampilan setiap bulannya.
Selain mendapat tambahan keterampilan praktis di bidang keperawatan, di Panti Jompo juga memberikan gaji yang lumayan besar, 36.000 NT – 48.000 NT per bulannya (+/- Rp.17.774 juta hingga Rp. 23.699 juta), belum ditambah lembur +/- 3 Jam sehari. Perhitungan lembur (over time) dihitung 3-4 jam sehari karena jam kerja normal dari jam 08.00 – 17.00. sementara Fatimah bekerja sejak pukul 07,00 pagi sampai jam 08.00 malam. Berhubung di era Covid-19, Fatimah terkena Covid-19 sebanyak dua kali, sehingga ia mendapatkan kompensasi dari Pemerintah Taiwan sebesar 30.000 NT (+/- Rp.14.812 juta). Jika di Indonesia, era pandemi Covid-19 membuat hampir semua orang kehilangan pekerjaannya atau di-PHK karena hampir semua sektor berhenti berproduksi, namun Fatimah mendapat ”durian runtuh” karena bekerja di Panti Jompo menerima lebih dari 38 juta Rupiah per bulannya. Blessing in Disguise !!
Penulis adalah Sekjen GASFI (Gabungan Studio Film Indonesia), pemerhati sosial dan politik, tinggal di Jakarta.