Oleh : Wina Armada Sukardi
Big boss sekaligus pemilik Gesuri Llyoid, Adil Nurimba, mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan saya. Dia menyambut saya langsung di kantornya sekitar 40 tahun silam. Waktu itu saya masih wartawan muda yang energik dan, ehem, juga penuh idealis. Saya datang kepadanya untuk menanyakan resep suksesnya sekaligus konfirmasi banyak ikhwal usahanya.
Di luar bayangan saya, lelaki asal Bagan Siapi-api itu tampil santai dan terbuka. Tak ada kesan dia takut kepada pers. Kalau ada pertanyaan yang dia tak mau jawab, caranya santun. “Itu gak usahlah ditanya, nanti disangka kita borang sombong,” elaknya. Atau, “Saya cuma selalu kerja keras saja, tidak ada yang istimewa,” jawabnya merendah.
Meski penampilannya memberi kesan sederhana dan berbicara juga masih “cadel” karena tidak dapat menyebut huruf “r” namun pada masanya Adil Nurimba merupakan seorang jurangan ekspedisi kapan laut (shipping) yang sangat sukses. Dia bahkan termasuk salah satu konglomerat Indonesia.
Sebagaimana kebiasaan para wartawan, saya sudah menanyakan nomer kantor dan sekretarisnya. Waktu itu, HP jangankan dikenal, terbayang saja belum. Semua masih fix line atau telepon kabel.
Sebelum saya berangkat pulang, Adil Nurimba memanggil salah satu stafnya, mungkin direkturnya. Dia memperkenalkan kepada saya, tapi saya lupa siap namanya. Belum lagi duduk, si staf menyodorkan sebuah tas kerja berwarna hitam, seperti tas echolac zaman baheula, tapi terbuat dari kulit.
“Ini dari Pak Adil Nurimba,” katanya kepada saya.
Saya terkejut dan binggung.
“Terima aja gak apa,” katanya melihat saya ragu.
“Ini apa?” tanya saya, benar-benar tak faham sama sekali.
Dia lalu duduk. Saya pun ikut duduk kembali. Adil Nurimba melihat adegan ini sambil tersenyum.
Setelah duduk, staf tadi meletakan tas tadi di atas meja tamu. Lalu dia membukanya. Dan….wuih….isinya duit semua. Tersusun rapi sampai keempat sudut tas. Saya tak tahu tepat berapa jumlahnya, tapi pasti untuk saat itu luar biasa besar.
“Kata Pak Adil kita kan teman, jadi harus saling menolong…. Ambilah,” katanya, kini seraya menutup tasnya lagi.
Waktu itu saya masih sangat muda. Belum kawin. Belum memiliki kebutuhan khusus apapun. Lebih penting lagi, saya dibalut cita-cita menjadi wartawan hebat, “bersih,” full independen, sehingga, herannya, saya sama sekali tak tergiur terhadap tawaran pemberian uang itu.
“Waduh, saya tersanjung sekali. Ini sebuah kehormatan…” jawab saya. Belum saya menyelesaikan kalimat saya, Liem Eng Hwa, nama asli Adil Nurimba, sudah memotong.
“Gak apa-apa. Nanti kita masih terus berkawan,” katanya. Ada ketulusan dari ucapannya. Kami baru sekali berjumpa dan sebelumnya tidak saling mengenal, tetapi dia sudah bersedia “membantu.” Padahal tak ada hal yang perlu dikhawatirkan dari saya dapat menulis hal-hal negatif mengenai dirinya atau kelompok usahanya. Luar biasa.
Bersyukur saya tidak punya beban apa-apa. Saya masih seorang wartawan muda yang tak pernah punya niat buruk, selalu menjaga integritas dan percaya masih punya masa depan panjang yang cerah.
“Mohon maaf Pak, sebagai teman saya mau sekali menerimanya, tapi dari kantor kalau sedang bertugas saya tidak boleh menerima yang seperti ini,” kata saya agak tegagap.
“Anggap saja ini untuk transpot,” tambahnya, ulet.
Kala itu saya benar-benar masih lugu. “Maaf Pak, saya sudah diberikan biaya transpotasi dari kantor,” tandas saya.
Suasana sesaat agak menegang. Mereka merasa risi pemberiaannya yang sudah begitu besar ditolak. Saya juga risi terpaksa harus menolak pemberian itu, demi profesional profesi wartawan yang saya sandang.
Dalam keadaan yang serba canggung dan saling tidak enak, saya mendapat jalan keluar untuk mencairkannya.
“Begini aja. Mohon beribu maaf saat ini saya betul-betul tidak dapat menerimanya, sebab kalau saya terima, saya bisa dipecat,” tutur saya ngarang aja, karena kalau pun saya terima dan diam-diam, belum tentu ada yang mengetahui.
“Tapi nanti kalau saya mau kawin, kalau boleh saya balik lagi minta bantuannya. Gimana?” tanya saya.
Betul saja. Seketika suasana langsung mencair kembali. Semua sekat hilang seketika.
“Iya ya. Boleh,” kata Adil Nurimba.
“Nanti pasti kita orang bantu,” timbal direkturnya
Saya mengucapkan terima kasih sudah diberikan kesempatan wawancara, bahkan disambut dengan baik.
Saya pamit menuju tempat pakir motor, kendaraan yang saya pakai saat itu.
Manakala saya benar-benar bakal menikah, saya teringat lagi kepada mereka. Tapi boro-boro saya benar-benar mendapat bantuan dari mereka, kontak dan menghubungi mereka kembali saja, susah bukan main, dan bahkan sudah tidak bisa lagi. Dulu saya menolak, kemudian belakangan hilang sudah.
Menyesalkah saya? Waktu itu dan sampai sekarang, sana sekali tidak. Saya malah bersyukur mampu keluar dari situasi yang dilematis itu.
Saya merasa beruntung memulai karier saya sebagai wartawan dari perusahaan-perusahaan pers yang sehat dan berintegritas.
Perusahaan pers yang sejak awal menanamkan nilai-nilai harus tunduk, patuh dan taaat sepenuhnya kepada Kode Etik Jurnalistik. Harus menjaga idependensi dan kejujuran. Nilai-nilai yang mengajarkan untuk tidak menerima suap. Tidak merugikan pihak lain yang tersalah.
Boleh jadi, seandainya saya memulai karier saya dari perusahaan pers yang sangat permisif membolehkan menerima amplop dan suap, atau bahkan mewajibkan hal seperti itu. Perusahaan pers memperlakukan wartawan untuk secara resmi meminta-minta dari narasumber. Wartawan yang diperlakukan seperti ayam kampung.
Disuruh cari makan sendiri, tapi telornya diambil si majikan. Kalau saya memulai profesi wartawan dari perusahaan seperti itu, jejak langkah karier saya kemungkinan besar berdampak lain. Mungkin saja saya dapat terperosok menjadi wartawa bodrex, abal-abal serta tukang peras.
Oleh sebab itu, sewaktu saya bertugas sebagai wartawan, jika terjun ke lapangan, saya selalu mencoba berpenampilan _perlente. _ Bergaya. Jika wawancara atau ketemu narasumber, sering saya memakai baju putih dan dasi, bahkan dalam banyak kasus saya memakai jas lengkap. Waktu saya menjadi wakil pemimpin redaksi majalah FORUM, saya mewajibkan semua wartawan saya memakai dasi ketika berada di kantor.
Buat saya, tampil necis bukan lantaran saya kaya raya, tetapi antara lain untuk menghindari pemberian amplop, suap atau sogok. Dengan penampilan yang mentereng, narasumber menjadi bimbang mau memberi amplop. Sepanjang karier saya sebagai wartanwan, ternyata saya rasanya nyaris tidak pernah diberi dan menerima amplop.
Kawan saya, wartawan kantor berita nasional Antara, Maria Dian Adriani, dalam sebuah rapat internal dengan Dewan Pers, minggu silam, bercerita, pernah punya pengalaman menyebalkan. Waktu dia mau wawancara dengan seorang pejabat, temannya sesama wartawan, tapi dari media lain, minta diajak. Di antara pertemanan sesama wartawan memang sering memiliki hubungan saling membuka akses. Maka Maria bersedia mengajaknya serta.
Acaranya waktu itu, cerita Maria, pagi hari. Begitu berjumpa dengan pejabat yang dimaksud, tambah Maria, temen yang ikut dengannya langsung meminta sarapan.
“Oh kebetulan, saya juga belum sarapan dari rumah. Ayo kita turun, sarapan bersama di kantin dii bawah,” kata pejabatnya, sebagaimana ditirukan oleh Maria.
Bukannya menerima tawaran dari pejabat itu, si teman dengan enteng menjawab, “Saya minta mentahnya aja,Pak!”
“Waduh saya waktu itu malu sekali…” kata Maria mengenang peristiwa itu.
Ada sebagian wartawan yang mencoba menegakkan marwah profesinya, tapi sebaliknya ada pula sebagian wartawan menempatkan profesi wartawan seperti pengemis yang harus dikasihani. Harus diberi imbalan atau sekedar uang pulsa. Bagi golongan terakhir, jika tidak diberi, mereka tak sungkan-sungka berteriak-teriak dan kalau perlu memaki -maki narasumbernya layaknya debt collector.
Wartawan, oh, wartawan…
Tabik.*