Oleh : Wina Armada Sukardi
Pernahkah Anda mengalami kejadian, orang yang Anda bantu, Anda tolong, justeru berbalik menghianati Anda sendiri? Saya, terus terang saja, sering mengalaminya.
Pernah ada seorang wartawan saya bantu untuk ikut sebagai tim penulisan buku biografi seorang tokoh. Dia saya pilih lantaran saya tahu dia sedang sangat membutuhkan dana. Apalagi kebetulan yang bersangkutan kenal dengan tokoh yang bakal kami tulis.
Sebagai seorang advokat atau lawyer, dalam proses penulisan ini, tim penulis wajib menandatangi kontrak. Isinya, antara lain, mereka mengakui dipilih dan ditunjuk oleh saya, dan oleh karenanya mesti patuh kepada keputusan saya sebagai koordinator dan ketua tim penulisnya.
Saya memiliki kewenangan untuk memberhentikan mereka jika dipandang menghambat proses penulisan. Demikian pula, seandainya mereka tidak menyelesaikan tugasnya, bakal dikenakan denda tertentu. Wartawan yang saya bantu pun menandatangi kontrak ini di atas materai
Ketika proses penulisan berlangsung, setelah wawancara dengan tokohnya dan para narasumber, dia hanya sekali berkoordinasi denga saya. Selebihnya menghilang. Ditunggu-tunggu hasilnya, dia tidak pernah muncul lagi. Terpaksalah saya merampungnya dengan tim lain tanpa bahan dari dia.
Rupanya diam-diam dia telah menghunungi berkali-kali tokoh yang akan kami tulis. Dia mengerjakan naskahnya sendiri, bahkan mengurus ke penerbit dan percetakannya. Sampai terbit. Tokoh yang kami tulis bersedia, karena merasa dia sudah mewakili saya, dan sudah mendapat izin saya, padahal dia menghianati saya. Dia mengerjakan di belakang saya.
Niat baik membantu tak selamanya disambut dengan rasa syukur, apalagi terima kasih. Orang yang kita bantu seringkali justeru menghianati kita, bahkan menikam kita.
Itu dilakukan juga oleh seorang advokat, sahabat saya. Kala itu saya tahu, dia sedang pun tengah sangat membutuhkan dana buat urusan keluarga. Maka saya mengajaknya kerjasama untuk mengerjakan sebuah kasus pada tingkat kasasi.
Sebenarnya, tanpa kawan saya itu pun, saya mampu mengerjakannya. Sebagai seorang advokat , jelas saya menguasai urusan itu. Namun lantaran dia sedang membutuhkan banyak biaya buat urusan keluarga, saya mengajaknya mengerjakan kasus ini bersama. Niatnya semata-mata untuk menolongnya.
Begitu percaya saya kepada dia, saya dengan senang hati memperkenalkan kepada klien saya dan kita mendiskusikan perkaranya. Maklumlah ini perkara lumayan besar, karena berbilang milyaran rupiah.
Apa yang kemudian terjadi? Ternyata diam-diam dia sering menemui klien saya tanpa sepengetahuan saya, apalagi berkordinasi dengan saya. Dari klien saya belakangan saya mengetahui, sahabat advokat saya itu ketika datang menemui klien saya, sebagian besar menyampaikan sumpah serapah tentang saya. Hampir tidak ada secuilpun hal yang baik tentang saya. Bahkan, seperti diceritakan kepada saya oleh klien, “Untuk setiap pertamuan kami di luar, selalu makan dan minum, saya yang bayar. Bukan Pak Wina!”
Wuih, jelas air susu dibalas dengan air tuba.
Itu pun masih dengan satu catatan lagi, urusan ini tidak dia kerjakan sendiri langsung sendiri, tetapi dia menyerahkan lagi kepada pihak ketiga!
Sewaktu saya konfirmasi kepada kawan advokat yang saya bantu tersebut, dia membantah habis-habisan penghianatannya. Hebatnya lagi, dalam bantahannya dia bawa-bawa agama dan mengatakan klien saya sebagai orang tidak bermoral. Mak!
Kalau diurut masih banyak contoh lain. Dalam kehidupan dan penghidupan, setidaknya yang saya alami, sering orang yang kita bantu menghianati kita. Orang-orang seperti itu sering dijuluki Sengkuni, salah satu tokoh pewayangan yang licik, tukang mengadu domba dan selalu mememancing di air keruh.
Kita tidak hidup di khayangan, nirwana atau surga. Kita hidup di dunia nyata. Dalam kehidupan dan penghidupan, kita perlu menyadari, ada manusia yang kalau berbicara dusta. Kalau berjanji ingkar, dan kakau diberi amanat khianat.
Untuk urusan hubungan kita dengan Sang Pencipta , saya sudah memaafkan mereka. Semua perbuatan mereka menjadi pahala kita. Bukankah Tuhan sering membuka pintu pahala buat kita lewat kelakuan buruk orang lain?
Tapi terkaitan dengan hubungan sesama manusia, ada dua sikap : Pertama, ketika ketemu saya akan beritahu kelakuan mereka. “ Anda ternyata penghianat!” kata saya kepada penulis tim yang saya bantu tapi berkhianat.
Kedua, saya tidak akan melupakan terjadinya penghianat itu. Bukan karena dendam. Bukan. Saya mengingatnya agar tidak terjebak dua kali atau lebih pada lobang yang sama. Demikian juga agar tidak ada pihak ketiga yang dirugikan.
Tabik.*