WARTABUANA – Lia, wanita berusia 31 tahun asal Subang, Jawa Barat ini merupakan satu dari sekian banyak Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang relatif sukses. Hasil dari jerih payahnya sebagai ‘Pejuang Devisa’, kini dia bisa hidup mapan dan memiliki aset berupa 4 unit rumah kontrakan dan sebidang sawah lumayan luas.
Lia mendapatkan semua itu setelah 12 tahun bekerja di Taiwan. Ia berangkat ke Taiwan di usia belia, 19 tahun. Mendapatkan referensi dari bibinya yang sudah terlebh dulu menjadi PMI di Taiwan. Lia pun tertarik untuk mengikuti jejak sang bibi menjadi PMI di Taiwan.
Sementara ayah Lia merupakan seorang Guru (ASN) yang hingga kini masih aktif bekerja di daerah Pamanukan-Subang. Sang ayah sesungguhnya menghendaki Lia untuk melanjutkan sekolahnya hingga ke perguruan tinggi di Tanah Air. Namun dorongan untuk ”break” sejenak dari urusan proses belajar serta pengaruh ”sukses story” bibi dan saudara-sauadaranya yang telah lebih dulu bekerja di luar negeri menjadikannya ia bertekad untuk segera berangkat ke Taiwan.
Dengan tekad yang kuat ia memberanikan diri berangkat sebagai PMI di Taiwan pada tahun 2010. Ia bekerja di kota Taipeh pada majikan yang cukup ’mapan’ dan tinggal di sebuah apartemen, dekat dengan Gedung 101 (I LING I) yang merupakan pusat wisata di kota Taipeh. Selama 3 tahun sebagai pengasuh anak pada majikan pertama di tahun 2010, Lia hanya menerima gaji +/- NT 15.000. (+/- Rp. 7.425.000) setiap bulannya, diluar tip yang diterimanya.
Pekerjaan mengasuh anak cukup menantang bagi Lia, karena ia belum memiliki pengalaman sebelumnya dalam hal mengasuh anak. Terlebih lagi anak tersebut masih tergolong bayi berumur 5 bulan dan satu lagi berumur 6 tahun. Beruntungnya ia mendapatkan majikan yang mau membimbingnya, bagaimana cara merawat bayi serta ada juga kakek dari anak tersebut yang turut membantu Lia selama bekerja disana.
Lia lebih di fokuskan untuk merawat bayi yang berumur 5 bulan. Merawat bayi tentu menjadi pekerjaan yang cukup berat buatnya karena jam kerjanya menjadi tidak menentu, karena bayi yang dapat menangis kapan saja. Bahkan disaat larut malam pun pada saat bayi yang diasuhnya menangis, Lia harus menenangkannya. Hal ini terus ia lakukan selama 3 tahun bekerja pada majikan pertamanya. Dimana ia hanya mendapatkan jatah libur 1 hari setiap bulannya.
Setelah kontraknya selama 3 tahun berakhir, Lia memutuskan untuk Kembali ke Indonesia untuk beristirahat sejenak dan bertemu keluarganya di Subang. Karena semenjak pergi sebagai tenaga kerja (PMI) ke Taiwan, Lia belum pernah ”mudik” sama sekali. Tidak lama setelah Kembali ke Indonesia sekitar 5 bulan masih pada tahun yang sama, Lia kemudian memutuskan untuk kembali bekerja di Taiwan. Masih dengan pekerjaan yang sama yakni merawat anak, tetapi kali ini sedikit berbeda, karena Lia merawat anak berkebutuhan khusus.
Dibanding dengan pekerjaan mengasuh anak sebelumnya, menurutnya pekerjaan merawat “anak Spesial” kali ini tergolong lebih mudah karena beberapa faktor. Pertama, anak yang harus diasuhnya ini sangat penurut sehingga memudahkan Lia untuk menjaganya. Kedua, dari sisi orang tua anak tersebut, memposisikan Lia sebagai kakak dari anaknya. Kedua hal tersebut yang menjadikan Lia ”kerasan” bekerja di Taiwan sampai 9 tahun lamanya. Pada tahun ke-12 pengabdiannya sebagai pekerja migran di Taiwan, Lia mampu memperoleh ’take home pay’ sebesar NT 23.000. (+/- Rp. 11.385.000). selain peroleh gaji yang lumayan tinggi, Lia juga mendapatkan ’angpao’ (hadiah) berupa batu permata Giok setiap Tahun Baru Imlek.
Sama seperti pekerjaan sebelumnya, Lia hanya mendapatkan jatah libur 1 hari dalam sebulan. Liburan tersebut biasanya dimanfaatkan untuk bertemu dengan beberapa sanak keluarganya yang juga bekerja di Taiwan, seperti bibinya yang sudah terlebih dahulu bekerja di sana. Sekarang adik Lia juga ikut menjadi PMI di Taiwan. Hal ini yang menjadi salah satu hal yang membuat Lia ”kerasan” bekerja disana. Karena banyak sanak keluarganya yang juga bekerja di Taiwan. Dapat dikatakan bahwa bekerja di Taiwan bagi Lia merupakan ”kumpul keluarga”.
Pada akhir 2023, Lia memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Ia merasa waktunya sudah cukup untuk kembali dekat dengan keluarganya yang hampir 12 tahun terpisah dengannya. Kedua orang tua Lia juga sudah tidak mengizinkannya lagi untuk bekerja ke Taiwan. Pertimbangan kedua orangtua Lia yang merasa sudah ’cukup’ dengan penghasilannya selama 12 tahun bekerja di Taiwan. Kini Lia sudah memiliki rumah sendiri, telah membangun 4 (empat) rumah kontrakan dengan luas seluruhnya sekira 485 Meter persegi di kampungnya di wilayah Pamanukan, Subang (Jawa Barat). Selain itu Lia juga telah pula mampu membeli 1 (satu) petak sawah dengan luas +/- 750 meter per segi.
Pengalaman selama 12 tahun bekerja di Taiwan telah membentuk etos kerja yang tinggi, Lia tidak ”kerasan” duduk berpangku tangan menikmati ”passive income” dari asset yang telah ia peroleh selama bekerja di Taiwan. Sambil menantikan datangnya “jodoh” yang akan menjadi pendampingnya. Lia memutuskan menjadi “Laose” Guru Bahasa Mandarin bagi Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) di PT. Hasratanda Sejahtera yang berdomisili di Jakarta Selatan.
Lia berkeinginan untuk membuat CPMI lebih siap berbahasa mandarin dan siap secara mental serta keterampilan yang relevan lainnya. Sambil memberi arahan dan penjelasan bagaimana CPMI dapat sukses bekerja di Taiwan, agar membuat majikan puas, mendapat ”Angpao” lancar dan tidak kena ”omelan” atau yang lebih ekstrim, dipulangkan sebelum kontrak berakhir.
Meski Lia pernah mendapat tawaran sebagai penerjemah (translator) Bahasa mandarin pada Perusahaan Tambang (Nikel) di Morowali (Sulawesi Tengah), namun pertimbangan sang ayah bahwa Morowali yang letaknya terpencil membuat jarak/waktu tempuhnya jika ia akan kembali ke Subang (Jawa Barat) lebih lama, ketimbang terbang dari Taipei ke Jakarta yang hanya memerlukan waktu +/-5,5 jam. Atas pertimbangan tersebut, Lia menolak pekerjaan sebagai translator di Morowali. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa jika PMI menekuni bidang pekerjaannya, terutama penguasaan Bahasa, maka tidak tertutup kemungkinan ia tidak akan selalu berprofesi sebagai ART. Lia telah membuktikannya dengan menolak pekerjaan sebagai Translator Bahasa Mandarin pada Perusahaan Nikel di Morowali. [bersambung dengan kisah sukses PMI lainnya]
Penulis : Nasaruddin Siradz, pemerhati Pekerja Migran Indonesia, tinggal di Jakarta.