Oleh : Wina Armada Sukardi
Saya sedang belajar tidak mau membenci lagi orang. Saya juga tengah berupaya tidak pernah mau ada dendam kepada seseorang. Sudah begitu agamiskah saya sekarang? Sudah begitu memiliki keikhlasan yang sedemikian luaskah saya saat ini? Bukan. Bukan sama sekali.
Dalam interaksi kehidupan dan penghidupan, kita tidak selalu seiring sejalan dengan orang lain. Namanya juga manusia. Sering kita beda pendapat dan beda kepentingan dengan orang lain, bahkan sangat bertolak belakang pendapat atau kepentingannya. Bagi saya itu biasa saja.
Selama ini dengan orang yang beda pendapat dan beda kepentingan, saya kebanyakan masih tetap berteman, berteman baik dan bahkan bersahabat. Bukankah karena kaki kiri dan kanan berbeda kita dapat melangkah dan berlari maju ke depan. Makanya yang seperti itu tak soal buat saya.
Masalah baru muncul kalau hati kita crash dengan hati orang lain. Kita bukan sekedar berbeda pendapat atau bertentangan kepentingan saja, tetapi orang itu sudah menjadi semacam musuh dalam hati kita. Dia dan kita tak dapat akur. Mungkin rasa kesal kita, rasa sebel kepadanya telah terlalu menumpuk. Terlalu menggunung. Dan tanpa kita sadari, rasa itu baik perlahan-lahan maupun seketika, berubah menjadi benci. Menjadi dendam. Orang itu menjadi semacam musuh bagi kita.
Penyebabnya banyak sekali. Dapat kita telah dihianati sekali atau malah terus menerus. Dapat dia telah membogongi kita untuk urusan besar. Dapat dia menjadi penghalang dengan sengaja segala kemajuan kita dengan cara culas. Bahkan mungkin dia penjagal upaya-upaya kita secara licik. Bisa juga telah pernah dan sering menyakitkan kita. Apapun alasan dan motivasinya, orang seperti ini ada saja buat kita. Lalu kita tak menyukainya. Lalu kita benci kepadanya. Lalu kita dendam kepadanya.
Sebagai manusia dengan rasa “normal,” sebagai manusia yang tak luput dari konflik, saya sebelumnya sering mengalami hal ini. Betapa tidak sukanya saya kepada mereka. Betapa bencinya saya kepada mereka. Saya tidak tahu adakah Anda pernah mengalaminya, nanun tanpa malu saya mengungkapkan tak jarang mengalami hal ini.
Bahwa itu tidak baik buat jiwa kita, tentu saya faham. Bahwa itu dapat merongrong jiwa kita sendiri, saya juga bukannya gak tahu. Bahwa itu nokta hitam yang mencemari hati kita, juga sesuatu yang sudah jelas pada saya. Toh, nyatanya saya masih sering mengalaminya. Melakukan hal seperti itu.
Kini saya sudah mulai jauh meninggalkan hal-hal semacam itu. Saya kiwari sudah tidak mau lagi membenci orang. Tidak mau lagi dendam kepada seseorang, betapa pun dia sedemikian culas, munafik dan jahat kepada saya. Betapa pun merugikan kepentingan saya, kini saya mulai tak mau lagi menaruh orang itu dalam kotak kebencian hati saya.
Ada apa rupanya? Sudah insyafkah saya? Sudah tunduk dan patuh sepenuhnyakah saya kepada ajaran agama? Bukan. Bukan itu penyebab.
Saya tak faham ada hubungan atau tidak. Saya juga tak mengetahui sebab akibatnya. Hanya ada satu realitas, suatu fakta: sekitar 95% dari orang yang saya benci atau membuat saya dendam kepadanya, semua mati. Ya, meninggal dunia!
Ada yang jatuh (di kamar mandi atau dimana aja), ada yang tiba-tiba terserang kanker, ada yang lumpuh, atau terkena penyakit-penyakit lain. Begitu pula ada yang saja penyebab lain seperti kecelakaan. Pokoknya sekitar 95% mereka tewas. Meninggal.
Tak perlu diingatkan lagi, jiwa kita milik Tuhan. Milik Gusti Allah. Kepan, dimana dan bagaimana kita meninggal, tak ada seorang pun yang faham. Seluruhnya rahasia Allah. Semuanya kewenangan Sang Pencipta. Tak ada seorang atau satu pun yang sapat mengintervensi. Tak ada. Otoritas pencabutan nyawa sepenuhnyan ada di Sang Pencipta. Segala sesuatu yang hidup pasti mati. Dan itu semua berada di ranah Tuhan. Itu pasti.
Disinilah muncul pertanyaaan, dan keheranan saya, kenapa orang-orang yang tidak saya suka, saya benci, faktanya 95% meninggal dunia. Apakah ini suatu kebetulan yang beraturan , ataukah ada sinyal supranatural atau kode-kode alami, atau cuma khayalan yang tersambung-sambungkan, di luar kemampuan saya menangkapnya, apakagi untuk menjelaskan.
Apapun alasannya, apapun hubungannya, belajar dari pengalaman itu saya sudah tidak mau lagi membenci orang. Saya tidak mau lagi berdendam kepada orang. Kalau tidak, kalau saya masih benci, masih dendam, mereka, setidaknya dalam pandanga saya, bakal terus meninggal.
Pilihannya buat saya, ya sudah memakluminya. Merelakan saja, kalau perlu memaafkan, meski belum tentu dapat melupakannya. Biarlah segala perbuatan orang-orang itu kepada saya justru menjadi menambah pahala buat saya.
Pilihan yang pada jelas: relakan atau mereka bakal meninggal. Adakah Anda pernah punya pengalaman sama atau mirip dengan yang saya alami?
Tabik.*