Oleh : Wina Armada Sukardi
Kejadiannya sekitar awal tahun 2002. Waktu itu saya belum 40 hari pulang dari menunaikan ibadah haji. Rambut yang digunduli diakhir proses naik haji, masih cepak. Anak-anak saya becanda,”Modelnya ABCD!”
Maksudnya? “ABRI Bukan Cepak Doang,” jawab mereka bareng sambil terkekeh-kekeh.
Peristiwa ini berlangsung menjelang magrib. Waktu itu mendung mengambang tebal di angkasa. Angin bertiup sepoi-sepoi. Saya sedang mengendarai mobil Mitshubisi Galant di Jalan Sudirman, Jakarta, dari arah HI menuju arah Blok M. Lokasi tak jauh dari Polda Metro Jaya, sebelum CMBNiaga Tower.
Jalanan sangat macet.
Mobil berjalan pelan merayap. Saya menyetir sambil bertelpon dengan HP. Maklumlah waktu itu belum ada larangan untuk memakai HP ketika menyetir. Juga belum ada “kamera pengintai otomatis.” Lagipula saat itu macet, jadi masih leluasa bertelepon. Oleh sebab itu saya santai saja menelepon. Saya lupa saat itu sedang berbicara dengan siapa, kalau tak salah dengan isteri.
Manakala sedang asyik menelpon dengan posisi kepala bersandar kepada kaca mobil kanan, tiba-tiba seseorang dari sebelah kiri saya mengetuk kaca mobil dan menunjuk-nunjuk ke arah saya, khususnya ke HP saya. Tanpa curiga, saya pikir itu orang baik yang ingin memberitahu saya untuk berhati-hati menyetir mobil sambil bertelepon. Makanya saya mengangguk seraya tersenyum.
Belum selesai senyum saya habis, tiba-tiba saya dikejutkan dengan gedoran-gedorangan keras di kaca mobil sebelah kanan tempat saya menyandarkan kepala. Ada empat orang disana. Dua belah kapak merah sudah menempel di kaca. Mereka terus menerus memukul-mukul kaca mobil dengan tangan sambil meminta HP saya.
Dari kaca spion kiri kanan mobi diketahui di belakang, ada mobil yang melihat kejadiaan ini. Tapi mereka diam saja. Inilah ciri khas kehidupan metropolitan. Orang tidak mau tersangkut dengan urusan orang lain, walaupun itu berarti membiarkan kejahatan merajalela. Tak ada seorang pun yang melihat kejadian ini mau menolong.
Apa yang harus saya lakukan? Melawan, jumlah mereka banyak, dan gerombolan kampak merah terkenal sadis.
Mereka tak segan-segan melukai korbannya. Waduh, ngeri juga jika melawan.
Tapi menyerahkan HP begitu saja ke kawanan perampok itu bakal membuat mereka semakin ganas, leluasa dan masyarakat lain mudah jadi manggsa mereka. Kejahatan bakal semakin merajalela.
Apa yang harus saya lakukan? Sementara pukulan mereka ke kaca semakin keras. Mungkin lantaran masih “berbau aroma naik haji,” herannya, saat itu saya tak takut sama sekali. Saya sendiri tak faham, kok waktu itu saya begitu tenang. Cuma otak saya terus berputar cepat mencari solusi
Saya berdoa dalam hari secara cepat. “Tuhan berikan jalan saya terbaik dan berakhir dengan baik. Apapun keputusanMU, saya rela, ikhlas!”
Hanya beberapa detik setelah berdoa, tiba-tiba saya meletakan HP di depan setir, lalu tangan tiga jari tangan kanan,saya tekuk dan jari telunjuk dan jempol berbentuk seperti pistol. Saya arahkan ke mereka, sambil saya berteriak keras,”Pistol, Pistol….!!”
Lalu secepat kilat saya membuka laci dashboard, mencari- mencari “pistol.” Selama itu pula saya berteriak, “Pistol…Pistol..Pistol!”
Para perompak itu bengong dan saling memandang. Tiba-tiba, aneh bin ajaib, mereka semua melarikan diri ke arah belakang samping mobil, seperti ketakutan.
Mereka meloncati pager pembatas jalan yang waktu itu masih ada. Dari sana mereka kemudian berjalan santai masuk ke komplek stadion utama Gelora Bung Karno, Senayan.
Saya sendiri membuka kaca jendela mobil sambil berteriak kepada mereka, “Hai! hai!”
Teriakan saya tak mereka hiraukan. Orang-orang di sekeliling yang melihat, tak satu pun yang menolong. Bereaksi pun tak.
Sungguh mati, saat itu saya sama sekali tidak membawa pistol. Dan saya memang gak pernah bawa senjata api apapun. Kenapa para begal itu lantas menjadi takut dan kabur? Saya sama sekali tak faham. Pikiran jari tangan membentuk pistol dan berteriak keras-keras menyebut “pistol” datangnya spontan saja. Tak melalui proses berpikir sama sekali.
Boleh jadi secara psikologis mereka para aktor kapak merah kaget dan tak menyangka dengan reaksi saya, sehingga daripada mengambil resiko lebih lebih baik mengambil langkah seribu. Namun bisa jadi sebenarnya mereka juga real memang melihat pistol. “Pistol Tuhan” yang saya sendiri tidak melihat, sehingga keder atawa benar-benar takut dan memilih kabur. Entahlah.
Apapun, sore itu saya selamat. Terkadang bantuan atau pertolongan Tuhan tidak dapat kita prediksi apa dan bagaimana bentuknya. Kita hanya tinggal percaya dan menyerahkan diri kepadaNYA saja.
Tabik.*