Oleh : Wina Armada Sukardi
Saya masih ingat pedagang pikulan itu sudah setengah tua. Tapi dia berjualan apa, saya sudah tak ingat. Peristiwanya sudah lewat sekitar 35 tahun silam.
Si penjual kala itu mangkal di salah satu bagian Pasar Mayestik., Kebayoran, Jakarta Selatan. Saat itu saya ingin membeli dagangan darinya. Terjadilah dialog tawar menawar antara saya dengan dia.
“Ini seluruhnya ada berapa?” tanya saya .
Dia menyebut jumlahnya.
“Harga semuanya berapa?”
Dia menyebut harga totalnya.
“Kalau harga satuanya berapa?” tanya saya lagi.
Dia lantas menyebut harga satuannya.
“Kok mahal banget Pak?” ujar saya.
“Segini sih gak mahal. Ini udah murah. Tapi boleh kurang sedikitlah,” jawabnya.
Saya tawar setengah. “Kalau boleh, saya ambil sepuluh,” tambah saya.
Kekasih saya yang ikut saya saat itu, menyikut saya, dan berbisik, “Apa kamu gak kasihan sama dia?”
“Iya kasihan dong.”
“Kalau kasihan kenapa ditawar _kayak- begitu?”
“Itu soal lain,” tandas saya.
“Soal lain gimana? Udah terima aja harganya!”
“Enggak mau!” tegas saya. Wajah kekasih saya menjadi manyun. Dia cemberut, tak suka. Saya bergeming. Cuek.
Saya melanjutkan tawar menawar dengan pedagang itu. Dia juga kelihatan wajahnya tidak suka ditawar sedemikian oleh saya. Jangan-jangan pedagang ini boleh jadi sudah mencap saya pembeli yang paling pelit. Ini pun saya tidak peduli. Saya menginginkan harga terbaik. Harga equibirium antara penjual dan pembeli (saya). Dan benar saja, akhirnya dapat tercapai kesepakatan harga.
Dengan wajah datar si penjual yang rambutnya sudah hampir putih semua itu membungkus dan memberikannya kepada saya. Tanpa rasa bersalah saya pun menerima belanjaan itu, lalu saya membayar sejumlah uang sesuai harga kesepakatan. Transaksi selesai.
Setelah barang dan uang bayaran beralih sempurna, saya mengeluarkan uang, dan berkata kepadanya,”Pak ini untuk Bapak. Semuanya. Jumlah lebih dari tiga kali harga seluruh barang Bapak.”
Dia bengong.
“Iya bener untuk Bapak. Semuanya. Ambilah,” tegas saya untuk menghilangkan kebimbangannya
Setelah dapat menguasai diri, si penjual bisa juga mengeluarkan suara. “Tadi untuk harga aja, Bapak nawar abis-abisan. Sekarang malah mau kasih duit ke saya”
“Betul sekali! Gak salah!”
“Jadi?”
“Iya tadi hubungan saya dengan Bapak sebagai penjual dan pembeli. Saya harus dapat harga paling murah. Sekarang hubungan kita sebagai sesama manusia. Sebagai sesama hamba Tuhan. Jadi, saya harus saling menolong.”
Saya tak faham apakah dia mengerti atau tidak, namun uang yang saya ulurkan kali ini diterimanya dengan suka cita.
“Bapak ini ngomongnya aja yang tegas, tapi hatinya sih baik banget,” katanya.
Saya cuma nyegir saja.
“Terima kasih. Terima kasih,” ujarnya dengan wajah seperti mendapat duren runtuh, seraya membongkok-bongkokan dirinya ke saya. Sementara saya sendiri segera meninggalkannya.
“Oh begitu cara kamu menolong orang. Baru tahu saya,” tutur kekasih saya saat kami menuju kendaraan motor kami.
Waktu mampir makan di sebuah restoran, saya jelaskan kepadanya, memang itulah prinsip saya. Dalam jual beli, yang ada soal harga. Soal untung rugi. Soal transaksional murni. Kita mendapat barang harus membayar sesuai harga kesepakatan.
Penjual menyerahkan barang dan memperoleh uang juga sesuai harga kesepakatan. Dalam pandangan saya, dalam proses ini tidak ada urusannya dengan “belas kasihan” atau “pahala.” Kalaupun kita membayar jauh lebih mahal dari harga yang seharusnya, kita tidak lantas memperoleh ganjaran karena selisih harga dari yang sewajarnya. Itu kewajiban kita untuk membayar, dan hak dia untuk menerima uang sesuai harganya.
Hak kita untuk menerima barang dan kewajiban penjual untuk menyerahkan barang. Semua bersifat transaksional. Soal jual beli. Masalah untung rugi. Itu perkara adu pandai strategi. Adu ulet. Gak ada urusannya dengan dosa dan pahala.
Kalau kita mau menolong, ya kita tolong saja, gak usah dihubung-hubungi dengan soal harga, dengan soal berdagang. Dengan soal jual beli. Kalau menolong kita tak perlu menerima imbalan dalam bentuk apapun, termasuk barang sebagai imbalannya.
Semuanya murni untuk menolong. Niatnya full sedekah. Hibah. Atau infak. Apapun namanya, jik menolong kita tak mengharap balasan apapun. Oleh sebab itu ketika tawar menawar saya menginkan harga yang terbaik. Setelah itu saya mau menolong. Memberikan bantuan sepenuhnya. Tak terkait dengan transaksi sama sekali.
Makanya saya memberikan dana yang jauh lebih besar dari seluruh harga dagangannya. Makanya di Arab, setelah selesai tawar menawar dan tercapai kesepakatan harga, ketika menerima uang pembayarannya biasanya si pedagang sering mengatakan,”halal, halal.”
Antara menolong dan membeli, dua hal yang berbeda, dalam pandangan saya. Ada batas pagar api atau _fire wall. _ Dagang ya dagang. Menolong ya menolong. Untuk membeli kita sewajarnya memperoleh harga terbaik. Sedangkan kalau kita menolong, berderma, memberi infak, atau sedekah, kita tak mengharap apapun, apalagi berharap dapat balasan barang.
Kita hanya berharap ridho Allah. Bahkan setelah imelakukan kebaikan, kita mestinya melupakan pernah menolong. Sedangkan kalau kita membeli, kita boleh mengingatkannya atau mengenang peristiwa itu dalam memori kita.
Misal, kita membeli sesuatu yang harga normalnya cuma Rp 50 ribu, tapi kita ditawari harga Rp 100 ribu, dan lantaran kita merasa iba, tawaran harga itu kita penuhi, tak ada nilai “pertolongan” disitu. Dalam proses ini kita sepakat dalam proses jual beli biasa. Tapi kalau dari harga tawaran Rp 100 ribu, kita tawar Rp 50 ribu dan diberikan, lantas uang pembeliaan kita Rp 100 ribu, dan kita bilang, “Pak ini kan harganya Rp 50 ribu. Saya kasih Rp 100 ribu. Jadi, ada kembalian Rp 50 ribu. Kembalian yang Rp 50 ribu, saya kasih ke Bapak.” Pemberian yang Rp 50 ribu itu beraifat pertolongan, hibah, sedekah atau infak atau yang sejenis. Bukan trasaksional.
Sepele sekali memang kelihatannya, tetapi maknanya justeru sangat berbeda. Selebihnya, Allah yang paling mengetahui.
Tabik***