Oleh : Wina Armada Sukardi
“Wah, gimana ini?” keluh seorang kenalan. Rupanya ini menyangkut posisi ayahnya di sebuah lembaga penegakkan hukum.
Dia bercerita, ayahnya, yang berkarier di sebuah lembaga penegakan hukum nasional, sudah dipanggil atasannya dan dikasih tahu mau dijadikan pejabat tinggi di sebuah provinsi Indonesia bagian timur. “Udah juga ada SKnya. Tinggal pelantikannya,” katanya.
Terus ?
Dia mengungkapkan, Sang Ayah telah bikin jas baru, dan sudah beli tiket ke tempat pelantikan. Eh, hanya satu hari sebelum pelantikan, pengangkatannya dibatalkan. SKnya diubah pada malam hari itu juga.
“Diganti dengan orang lain!” ujarnya nyerocos penuh kekecewaan. Dia benar-benar terpukul habis.
Menghadapi orang yang sedang kecewa seperti ini, kita sering tak dapat banyak bicara. Bagi mereka semuanya serba kelam. Serba salah. Apapun yang kita tanggapi, di mata mereka pastilah salah.
Hanya sekitar dua minggu sesudah peristiwa itu, dia muncul lagi. Kali ini nadanya sudah berbeda 180 derayat dari sebelumnya. Kini sebaliknya dia merasa sangat besyukur, bapaknya tak jadi dilantik.
Ada apa rupanya? Pengganti ayahnya pada saat-saat terakhir, seminggu pasca dilantik, melakukan perjalanan dinas naik helikopter bersama beberapa pejabat tinnggi setingkat dari instansi lain. Dan ….helikopternya jatuh. Si pejabat baru bersama petinggi dari instansi lain yang pergi bersamanya , semua tewas.
Jika ayahnya jadi dilantik, kemungkinan ayahnyalah yang ikut tewas.
Begitulah, dalam proses perburuan sebuah jabatan. Sering terjadi, jabatan yang sudah berada di depan tangan kita, lantaran berbagai faktor, terlepas. Kejadiannya sering, sebenarnya, semua faktor sudah mengarah ke diri kita, tapi ada faktor yang lain yang menyebabkan kita gagal meraih jabatan itu. Tak jarang pula kejadianya pun mendadak pada saat-saat terakhir jelang dilantik.
Hal serupa pernah juga dialami keluarga kami. Kakak tertua saya, Samudra Sukardi, sejak awal telah berkarier di Garuda, maskapai nasional Indonesia. Dia memulai kariernya dari paling bawah sebagai teknisi. Lantas kariernya merayap naik, sampai setingkat di bawah direksi.
Manakala bakal ada pergantian atau perombakan direksi Garuda, dia termasuk salah satu calon direktur utama (dirut). Tak hanya itu, bahkan calon dirut terkuat.
Persoalannya, kalau dia jadi dirut, yang harus mengangkatnya dan menandatangi Surat Keputusan (SK) pengangkatannya adalah pemegang saham Garuda, dan kebetulan dijabat oleh adiknya, kakak saya, Laksamana Sukardi. Hal ini dapat menimbulkan tuduhan nepotisme.
Untuk menjaga objektifitas, diadakanlah tes untuk mencari calon dirut, termasuk diikuti oleh Samudra. Hasilnya, Samudra menempati peringkat paling atas.
Agar lebih objektif lagi, harus ada perbandingan lembaga yang melaksanakan tes. Maka diadakan kembali dua kali tes dari dua lembaga yang berlainan. Hasilnya, Samudra tetap berada di peringkat top, atawa paling atas.
Dalam keadaan normal, harusnya waktu itu dia sudah dapat dilantik menjadi dirut Garuda.
Kendati di luar sana ada hiruk pikuk yang mempersoalkan masalah ini, sejatinya segala persyaratan telah terpenuhi oleh Samudra. Cuma tetap aja ada dilema moralitas. Kalau dia tetap diangkat oleh adiknya sendiri, bakal muncul tuduhan nepotisme. Masa adik kok mengangkat kakak kandungnya sendiri. Tapi kalau gak diangkat, bukankah objektif hasilnya memang kakaknya yang terbaik.
Dicari solusi. Samudra ditawarkan menjadi salah satu direktur saja, tapi yang bersangkutan menolak. Alasannya, dari tes dia sudah layak menjadi dirut.
Solusi lain, pemerintah lantas menawarinya jabatan duta besar, kala itu untuk Jepang. Lagi-lagi Samudra menolak.
“Karier gue di penerbangan, bukan di bidang diplomat,” katanya memberikan alasan.
Jadi? Berdasarkan data objektif, para pejabat di lingkungan kantor pemegang saham alias kantor adiknya, Laksamana, kabarnya sudah sulit menolak pengangktan Samudra. Kabarnya pula para petinggi lain juga sudah setuju. Ibaratnya tinggal teken saja.
Sebaliknya saya, sang adik, termasuk yang tetap tidak setuju.”Biar bagaimana pun, perkembangan sosial politik Indoensia saat ini, masih sulit untuk menerima ada adik mengangkat kakaknya sendiri sebagai pejabat di lingkungan otoritas kekuasaannya,” kata saya
“Tapi kan gue kan udah memenuhi semua syarat. Secara objektif juga udah diuji, gue nomer satu,” jawab Samudra.
“Sosiologis negara kita aneh. Kalo loe diangkat jadi dirut, kita bakalan jadi sasaran “tembak. “ Dan keluarga kita bakalan terus menerus jadi perguncingan. Bener aja, kita terus “ditembakin,” apalagi kalo loe nanti mungkin ada salah. Kita bakalan dihajar habis-habisaan, bukan hanya loe pribadi, tapi juga semua keluarga kita,” tangkis saya.
Terjadilah debat yang “panas” di keluarga kami ikhwal ini. Berbagai aspek dan sudut pandang mengemukan dalam arena argumentasi itu.
Akhirnya, sejarah membuktikan, Samudra tak pernah diangkat jadi direktur utama Garuda. Diangkatlah nama lain sebagai direktur utama Garuda.
Bagaimana proses pengambilan keputusannya pada “tingkat atas,” saya sama sekali tidak faham, karena bukan wilayah saya, dan saya tidak boleh ikut campur sama sekali.
Samudra tentu sangat kecewa. Dia merasa dizholimi. Dia mengadu ke Komnas HAM karena merasa hak-hak asasi tertindas. Sebagai “perlawanan” dia juga membuat buku khusus yang membahas soal ini. Kekecewaan dan kesedihan yang masuk akal. Cita-cita menggapai karier tertinggi di bidangnya yang sudah di depan mata, lenyap lantaran pertimbangan faktor kekerabatan.
Lambaian jabatan seringkali membuat kita tak melihat bimbingan tangan Tuhan. Kita sering melupakan, Tuhan dapat menolong kita dengan caranya sendiri, yang mungkin tidak sesuai dengan harapan kita, terutama terkait iming-ining jabatan.
Pasca direktur Garuda baru diangkat dan dilantik, terjadilah peristiwa kematian aktivis Munir di pesawat Garuda. Direktur utama yang semula posisi akan dapat dijabat oleh Samudra, ditangkap lantaran dituduh membantu atau membiarkan terjadi pembunuhan terhadap Munir. Sebenarnya, jika ada petugas intelejen di dalam pesawat berbendera nasional, itu hal yang jamak. Terkait itu, biasanya dirut sebagai ororitas di perusahaan plat merah, diberitahu dan atau memberikan izin. Jadi dalam kedudukan -ex officio _ saja.
Terlepas dia hanya ex officio , menjalankan tugas sebagai direktur utama Garuda, faktanya dirut itu oleh pengadilan dinyatakan bersalah dan dihukum.
Coba, seandainya, ya seandainya, Samudra kala itu dimudahkan oleh Tuhan menjabat sebagai direktur utama Garuda, kemungkinan besar dia yang ditangkap, ditahan dan dihukum. Gagalnya dia menempati posisi direktur utama Garuda telah menyelamatkannya dari perjalanan tragis nan memilukan….
Kegagalan mengapai jabatan yang sudah di depan mata kita, seringkali justeru bermakna kasih saya Tuhan untuk menyelamatkan kita dari petaka…..
Tabik!*