Oleh : Wina Armada Sukardi
Ini cuma perkara sepele. Sebuah reportase perjalanan naik mobil dari rumah kami menuju sebuah restoran di sebuah hotel menjelang buka puasa. Dari laporan selayang pandang ini, terpantau beberapa hal yang dapat kita jadikan semacam pengetahuan dan perenungan.
Jakarta, Sabtu,23 April 2022, pukul 16.00. Saya berangkat naik mobil dari rumah di Bintaro,Jakarta Selatan, menuju restoran Bushido di Hotel Sahid, Jalan Sudirman – K.H. Mansyur, Jakarta. Sesuai petunjuk geogle map, dari rumah saya belok kiri lewat arah jalan Saikin. Percaya google map bakal memberikan alternatif jalan yang tercepat, saya mengikuti saran geogle map.
Biasanya program ini memilih jalan yang terlancar, menghindari macet, meski routenya lebih jauh. Sampai sekitar lima menit, “arahan” itu betul adanya, namun ketika bakal masuk jalan Saikin, arah ke jalan itu baru saja mulai ditutup oleh penduduk sekitar. Rupanya, ada buldoser melakukan pengerukan dan pembersihan selokan , atau pekerjaan sejenis.
Kalau jalan tidak ditutup pasti macet. Ini lantaran jalan itu kecil, dan hanya pas-pasan buat dua mobil. Buldoser saja sudah mengambil tiga perempat lebar jalan. Kalau mobil dipaksa boleh lewat situ, pasti terjadi antrian dan kesemerawutan panjang. Maka jalan ditutup dan dialihkan ke kiri lewat jalan Pupan, sebuah jalan tembus ke jalan raya Ciputat.
Semenit pertama setelah dialihkan, jalan masih lancar. Semenit berikutnya mulai tersendat-sendat. Memasuki menit ketiga, sudah macet. Total. Gak tahu di depan ada apa, tapi yang jelas, saya stop disana sampai 30 menit.
Ketika berangkat dari rumah, saya membayangkan bakal sampai di distinasi buka puasa, lama sebelum waktu berbuka. Saya masih akan dapat parkir, dan ada waktu jenda untuk ngobrol sebelum buka, namun dengan adanya kemacetan ini, saya menjadi tak lagi memiliki perhitungan yang jelas.
Saya bertanya-tanya, kenapa yang punya gawe pengerukan dan pemberesan saluran, atau apapun, memulai kegiatannya sore hari? Bukankah sore jelang bulan puasa, apalagi dalam seminggu terakhir, jalan bakal penuh? Adanya kegiatan seperti ini di fasilitas publik jelang buka puasa, sudah pasti membuat macet. Pasti menyulitkan publik.
Kenapa sih, waktunya tidak diperhitungkan dan dihindari adanya kesulitan buat masyarakat. Kenapa tidak malam hari sampai subuh saja mengerjakannya, misalnya, sehingga tidak mengganggu kepentingan publik? Atau, memang secara tak sadar, hal semacam ini sudah menjadi tabiat masyarakat kita? Mereka tak peduli jika kegiatannya menyulitkan publik?
Coba ingatlah, soal-soal semacam ini sudah terjadi puluhan tahun. Dahulu malah ada sekelompok orang pura-pura memperbaiki jalan, padahal jalan tersebut tidak rusak. Tujuannya tak lain mengutip “sumbangan” dari para pengguna jalan. Mereka tak peduli tindakan itu bukan hak mereka. Mereka juga tidak peduli jalan jadi macet. Belakangan, walaupun masih ada, tapi perbuatan itu sudah mulai berkurang. Urusan seperti ini saja kok puluhan tahun gak dapat diatasi oleh bangsa kita.
Saya mengidamkan kapan hal-hal semacam ini hilang dari bangsa ini? Kapan pembuatan jadwal kegiataan pembangunan dan yang sejenis, memperhatikan juga jadwal kepentingan publik, sehingga tidak bentrok. Jadwal pelaksanaan penggunaan anggaran tidak harus bentrok dengan jadwal aktivitas publik.
Tak lama setelah berjalan, di tikungan ujung jalan, ada sekelompok orang terlihat mengatur arus lalu lintas. Ada yang bertugas mengatur jalan, ada pula yang bertugas menyodor-nyodorkan tempat uang buat menanggok uang sumbangan. Ini juga ciri khas bangsa kita dalam satu – dua dekade kebalakangan: hilangnya kepekaan sosial untuk membantu sesama. Semuanya sudah diniatkan untuk mendapat duit. Tak ada lagi solidaritas kerja bakti buat memberi kemanfaatan kepada publik.
Setelah dari situ, jalan lancar. Mobil masuk ke Jalan Ciputat, salah satu jalan yang panjang di Jakarta Selatan. Disini mulai berjumpa dengan angkutan umum mikrolet. Ada semacam anekdot, hati-hati dengan angkutan umum mikrolet.
Supirnya cuma menengok ke arah kiri, mencari penumpang, dan tak peduli dengan yang terjadi di kanannya. Selain itu para supirnya merasa lantaran mereka mencari duit, jalan raya seperti milik mereka.
Publik dipaksa harus maklum.
Sebuah mikrolet di depan saya berjalan agak ke kanan sehingga menutupi sebagain jalan kanan. Mobil lain tidak dapat menyusulnya. Betul saja, sopirnya tak peduli saya dan mobil lainnya terhadang. Lalu si supir mempercepat jalannya kendaraan. Sekitar dua tiga menit kemudian, mendadak dia hampir berhenti, dan mengarahkan kedaraannya ke kiri mau mengambil penumpang.
Dia tidak peduli kendaraan lain di belakangnya menjadi harus mendadak ikut merem juga. Kalau kita menabrak mikrolet , aksioma atau doktrinya sudah jelas: apapun yang terjadi, kitalah yang harus dinyatakan bersalah.
Setelah perempatan lampu merah, alur mobil kembali macet. Ada apa gerangan? Baru setelah sampai di depan, saya faham yang terjadi. Jalan ini termasuk jalan padat. Guna mencegah kemacetan, kendaraan tidak diperbolehkan berputar balik di jalan ini. Sebagai alat bantu pencegahan, ditempatkan blok-blok beton di tengah jalan, untuk memisahkan jalan dari dua arah yang berlainan. Kenyataannya selalu saja ada jalan pintas.
Beberapa pemuda sengaja memindahkan beberapa blok beton sehingga dapat dipakai untuk muter balik Kendaraan, dari dua arah. Mereka menjaga dan menawarkan jasa bagi siapapun yang mau memutar dengan jalan pintas melalui celah pembatas beton ini. Kalau ada mobil yang memutar, arus kendaraan dari sisi sebaliknya ditahan dulu. Tentu mereka mengharap sejumlah imbalan, walaupun nominalnya tidak ditentukan berapa. Dan nyatanya, banyak pengendara yang memakai kesempatan ini. Polisi dimana? Entahlah.
Akibatnya, kendaraan ditahan, terjadilah kemacetan. Para pemuda dan para pemakai mobil tak peduli tindakan itu membuat arus mobil di jalan utama kiri kanan menjadi macet. Baik para pemuda yang membuka pagar beton maupun para pemakai jasanya, tak peduli soal pelanggaran hukum, dan terutama tak peduli terhadap dampaknya menyebabkan kemacetan yang merugikan pemakai kendaraan lain. Apalagi di bula puasa jelang berbuka, ketika orang tergesa-gesa mau pulang, ini lahan. Cuan alias keuntungan “wirausaha” ini lumayanlah.
Kepentingan publik? Ah, gini hari udah gak relevan memperhatikan lagi kepentingan publik. Yang penting gue dapat duit. Itulah ciri lain masyarakat kita kiwari, terutama ketika jelang buka puasa.
Setelah itu mobil jalan lagi. Bebas hambatan sebentar, tapi lantas macet lagi. Ada apalagi? Rupanya di depan ada pertigaan.Di sebelah kiri jalan, ada jalan kecil. Jalan tikus, kata orang. Nah, ada mobil dari dan masuk ke jalan tikus. Disitulah “Pak Ogah” beraksi.
Mereka mempersilahkan mobil kelua dari dan masuk ke dalam jalan tikus dengan cara menghentikan laju arus mobil di jalan utamanya. Waktu yang diberikan kepada mobil yang mau keluar dan masuk jalan tikus jauh lebih lama dibanding dengan waktu yang diberikan untuk mobil di jalan utama. Padahal arus kendaraan di jalan umum jumlahnya jauh lebih banyak. Walhasil , tercipta lagi kemacetan yang panjang.
Para Pak Ogah dan pemilik mobil yang keluar masuk jalan tikus tak peduli dengan kemacetan akibat ulah mereka. Juga di bulan puasa, terutama jelang buka puasa. Bulan puasa nampaknya tidaklah membuat hati mereka lebih halus.
Di jalan yang saya kewati sore jelang buka puasa saat itu, ada tiga pertigaan seperti itu. Jadilah sore itu perjalanan saya mengalaminya hambatan.
Selepas itu, mobil berjalan lancar. Jelang pertigaa antara jalan terus Jalan Ciputat dan belok ke kiri ke arah Tanah Kusir Bintaro, dua tiga jalur kiri jalan penuh dan macet. Sedangkan satu jalur sebelah paling kanan untuk terus, jalanya lowong. Saya yang memang mau menuju terus, mengambil jalur kanan. Ini jalan one way, jadi saya mempercepat mobil.
Dan, wouw, tiba-tiba muncul banyak motor dari arah yang berlawanan. Tak hanya itu, pengendara motor memacu motornya dengan cepat. Jika kita tak waspada, sudah pasti terjadi tabrakan.
Selepas pertigaan, jalan lebih lancar. Masalahnya, motor yang datang dari arah berlawanan jumlahnya tambah banyak. Mereka mengambil jalur sebelah kanan. Hebatnya para pengendara motor itu merasa lebih berhak berada di jalan itu, sekaligus lebih galak ketimbang kendaraan dari arah berlawanan yang sebenarnya berhak di jalur itu.
Begitu pula para pengendara motor nampaknya tidak khawatir sama sekali. Mereka memacu motornya seakan mereka berada di jalur yang tidak berlawanan. Sikap mereka seakan justru merekalah pengguna jalan yang paling berhak disana, bukan kendaraan yang dari arah seharusnya.
Saya perhatikan ragam pengendara motornya. Ada yang membawa istri dan anaknya yang masih kecil. Ada yang sendirian membawa sesuatu di jok belakang. Tak sedikit dari mereka yang cuma memakai sendal. Sebagian lagi emak-emak, termasuk yang tidak pakai helm. Ada pula yang pakai jilbab. Keberanian emak-emak itu tidak kalah dari pengendara pria. Kenekatannya yang luar biasa. Apalagi di bulan puasa jelang berbuka.
Kita faham, para pengendara motor yang mengambil jalan pintas menentang arus utama, mereka ingin cepat pulang sampai rumah. Ingin berbuka bersama dengan keluarga tercinta. Mereka ingin di bulan puasa dapat berkunpul bersama keluarga. Menikmati bulan puasa.
Dari aspek itu kita mungkin dapat memahaminya. Cuma ada semacam kontradiksi disana. Apa sih sebenarnya tujuan puasa? Memperbanyak beribadah dan berlomba membuat kebaikan. Dengan mengambil jalan pintas dari jalan perlawanan arah, tentu sangat bertentangan dengan tujuan puasa.
Pertama, mereka membahayakan keselamatan diri dan nyawa mereka sendiri. Mereka dapat tertabrak, berakibat cidera, cacat dan bahkan meninggal. Kedua, mereka membahayakan keselamatan dan nyawa pengendara yang mempunyai hak berjalan dari arah sebenarnya. Juga dapat menabrak para pemotor sendiri sampai tewas. Ketiga, cara ini mempersulit para pengendara yang memiliki hak karena kenyamanannya terusik dan terancam.
Keempat, perbuatan tersebut jelas-jelas melanggar peraturan. Melanggar hukum. Kelima, kalau terjadi kecelakaan hal ini juga menyulitkan keluarga yang terlibat. Bukakah semua itu bertentangan dengan tujuan puasa sendiri?
Jalan pintas membuat banyak orang kalap. Cuma mementingkan diri sendiri, dan tak peduli dengan keselamatan publik. Kan sewajarnya mereka di bulan puasa ini mengatur perjalanan dengan sebaik-baiknya. Kalau jarak ke rumah dari tempat kerja atau destinasi terakhir tidak mungkin terkejar sampai rumah pada waktu berbuka puasa, ya, sudah sabar saja. Bawa persediaan makanan dan minuman. Jadi, tak khawatir pas buka tidak ada makanan atau minuman.
Bulan puasa mestinya juga harus dipakai untuk lebih mematut diri agar lebih menghargai sesama, mengurangi egoisme dan sebagainya, bukan sebaliknya. Faktanya, justeru jelang berbuka di bulan puasa mereka berlomba-lomba mempertunjukan tingginya kepentingan diri sendiri dan mengabaikan keselamatan dan keamanan publik.
Dari jalan Ciputat saya belok ke kanan ke Jalan Bungur, sebuah jalan yang sangat pendek. Dari sana saya belok lagi ke kiri, masuk jalan Sultan Iskanda Muda. Jalan disini sampai ke jalan Kebayoran Baru, lancar.
Dulu ketika saya mendirikan dan mengembangkan majalah “Forum Keadilan,” saya berkantor di jalan Kebayoran Baru ini.
Dari Jalan Kebayoran Baru, tepat di daerah yang dahulu disebut Velbak, atau tempat sampah besar, belok kiri masuk jalan Pawubuwono IV. Tak ada sama sekali tanda-tanda dulu daerah itu pernah menjadi pusat pembuangan sampah.
Hanya beberapa jengkal dari sana melewati rumah jalan Pakubuwono VI No 76. Disitulah waktu SMA dan kuliah saya pernah tinggal . Dulu tiga blok dari dari rumah tempat tingga saya, ada rumah istimewa. Sebuah rumah saat itu super mewah dan pernah menjadi rumah paling mahal di Jakarta. Itulah rumah Hasyim Ning, pengusaha asal Palembang yang terkenal.
Parkir di basement rumah, yang terdapat di rumah Hasyim Ning kala itu, masih termasuk sangat langka. Kiwari bekas rumah tinggal saya dan rumah Hasyim Ning sudah tak ada, dan sudah berubah menyambung menjadi apartemen Pakubuwono.
Di jalan ini saya lihat ada benerapa orang membagi-bagikan boks atau plastik takjil untuk buka puasa ke pengendara motor yang lewat. Gratis. Beberapa pengendara menerima dengan suka cita. Setidaknya kalau waktu berbuka puasa masih di jalanan, sudah ada bahan untuk berbuka.
Saya menenggok jam tangan. Sepuluh menit lagi waktu berbuka puasa. Pastilah sampai tempat tujuan akan sedikit terlambat. Alokasi waktu dua jam dari rumah di bintaro ke Hotel Sahid yang saya pikir lebih dari cukup, nyatanya jelang buka puasa, masih kurang.
Sampai Hotel Sahid, parkir sudah penuh. Tak ada lagi yang tersisa. Ini lantaran ruang parkir yang ada, sekarang dipakai untuk valet parkir. Pengusaha gak mau rugi. Publik yang membayar sewa parkir lahannya dipersempit, lantaran lahan itu diberikan ke valet pakrkir. Maklumlah dari valet parkir pengusaha mendapat penghasilan tambahan lebih lagi. Soal hasilnya penyewa pada umum menjadi lebih susah, tidak menjadi pemikiran. Ini fenomena yang terjadi di tempat-tempat umum di Jakarta.
Dua kali saya memutar, tak dapat tempat perkir juga. Pada putaran ketiga bedug tanda berbuka berbunyi. Masjid yang ada di bagian belakang komplek Hotel Sahid mengumandangkan azan. Saya berhenti sebentar, membuka botol mineral yang sengaja saya bawa untuk membatalkan puasa.
Setelah itu saya makan satu butir kurma awja yang juga sengaja saya bawa. Memang di rumah saya, sudah dibuat SOP atau standar operasional prosedur, kapan pun waktunya , selama bulan puasa, harus bawa minum dan makanan secukupnya dalam mobil. Ini supaya kalau waktu berbuka tiba, kita dapat tenang sudah ada persediaan untuk buka.
Sesuai membatalkan puasa, saya keluar parkir area Hotel Sahid menunju ke parkiran gedung sebelahnya dan pakir di area gedung itu yang memang menyambung dengan Hotel Sahid.
Sekitar pukul 18.16 akhirnya saya tiba juga di Restoran Boshido. Di salah satu meja di sana, sudah berkumpul kawan-kawan mantan dari majalah ilmiah “Hukum & Pembangunan.” Acara hari itu memang buka bersama para mantan awak majalah ilmiah FHUI “Hukum & Pembangunan.”
Acara ini yang kami laksanakan tiap tahun. Sudah dalam enam tahun terakhir kami melaksanakannya. Disana sudah ada Yunus Huseien, mantan ketua PPATK priode 2002 -2022. Ada juga Prof. Insan Budi Maulana, pakar Hak Kekayaan Intelektual yang nyentrik dengan rambut gondrong diikat. Ada Erick Mar’uf yang waktu saya SMP saya sudah berlatih karate dan dia belum apa-apa, tapi kini dia malah sudah pemegang Dan VII. Ada juga Lukie Nugroho yang kini mengelola TV Notaris. Pandu, mantan komisioner KPK, yang semula sudah berencana datang, batal hadir lantaran terjebat macet.
Ada lain beberapa teman lain seperti Mariana, Azrinal Nasution dan sebagainya. Kami menyatap makanan Jepang dengan santai.
Tak terlalu mudah rupanya sampai kesini. Sebelum sampai sini, dalam perjalanan sekitar dua jam dari rumah ke restoran ini jelang buka puasa, lewat kaca mobil saya melihat berbagai kejadian menarik….
Tabik.*